Rhea membuka pagar rumahnya dengan was-was. Ia mencoba mengabaikan omongan pemilik salon tentang orang yang menguntit rumahnya beberapa tahun silam, namun ternyata tidaklah mudah. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mencurigakan di sekitarnya, Rhea membuka pintu pagar dan segera menguncinya dengan gembok.
Setelah membuka pintu rumah pun, Rhea kembali melakukan pengamanan lebih, dengan kunci ditambah dengan slot pintu yang selama ini jarang digunakannya.
‘Kayaknya harus install CCTV,’ batinnya.
Rhea masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Ingin rasanya Rhea menelepon orang tuanya, namun ia tidak ingin orang tuanya khawatir.
Tanpa membuang waktu, Rhea mulai membuka ponselnya dan mencari jasa pemasangan CCTV. Belum juga ia menemukan penyedia jasa yang menurutnya cocok, sebuah pesan sukses menyela kegiatannya.
Ega: Udah pulang Rhe?
Rhea: Udah Ga
Ega: Weekend bisa ketemu?
Rhea: Kamu mau ke Jakarta?
Ega: Iya, aku ada seminar di Jakarta
Ega: Seminarnya cuma sampe sabtu pagi
Ega: Jadi dari sore sampe hari minggu kita bisa jalan-jalan
Rhea: Boleh boleh kabarin aku lagi aja ya nanti
Rhea meletakkan ponselnya, kemudian memutuskan mandi untuk menghilangkan penat dan pikirannya yang bercabang.
Tanpa Rhea tahu, saat ia menikmati waktunya dengan mandi air hangat, sebuah mobil beberapa kali terlihat bolak-balik di depan rumahnya.
***
Dengan kewaspadaan tinggi, sebelum berangkat kerja, Rhea memastikan pintu rumahnya telah terkunci dan pagarnya telah tergembok sempurna. Ia berjalan menuju gerbang komplek perumahan untuk menunggu ojek online yang telah dipesannya. Sebenarnya, ia bisa saja menunggu di depan rumah, tapi lebih cepat rasanya bila ia menunggu di depan gerbang perumahan, daripada driver ojeknya harus mencari-cari lagi alamat rumahnya.
Saat Rhea mengamati ponselnya untuk melihat di mana posisi driver ojek yang dipesannya, sebuah mobil berhenti di depannya. Mobil yang sempat dia naiki dalam perjalanannya setelah perjamuan makan siang dengan Presiden Direktur menuju kantornya.
Rhea memejamkan mata dan menghela napas.
Benar sangkanya, wajah Naren muncul setelah kaca mobil di sisi kiri terbuka.
“Kamu stafnya Dio kan?”
“Pagi, Pak.
“Kamu potong rambut?”
“Eh, iya Pak.”
“Kamu naik apa? Bareng saya aja.”
“Makasih Pak, saya udah pesen ojek online.”
“Cancel aja.”
“Jangan Pak, kasihan pagi-pagi mutus rezeki orang.”
Rhea menghela napas lega ketika driver yang dipesannya berhenti di depan mobil Naren.
“Ojek saya udah datang, makasih tawarannya. Permisi Pak.”
Sepanjang jalan, Rhea berpikir apa yang baru saja terjadi dan kenapa Naren berada di depan perumahannya?
“Udah lama, Kai?” Rhea yang sudah berjanji untuk sarapan bersama dengan Kaira langsung menghampiri Kaira yang sudah memesankannya semangkuk bubur.
“Sepuluh menitan lah.”
“Sorry ya.”
“Iya, santai aja, udah kupesenin tuh.”
“Makasih ya.”
“Kursinya kosong? Boleh duduk di sini?” Dio yang sudah tidak mendapati ada kursi kosong, meminta persetujuan kedua wanita itu.
“Oh boleh, Pak. Silakan,” jawab Rhea.
Kaira hanya mengangguk dan melemparkan senyumnya.
“Kalian ngobrol aja loh, abaikan aja saya.” Dio membuka ponselnya dan fokus kepada benda persegi panjang itu agar kedua wanita di sebelahnya tidak merasa sungkan.
“Astaga, aku baru nyadar, kamu potong rambut?”
“Iya, semalem.”
“Ekstrim juga, dari sepinggang jadi sebahu gitu, kayak lagi stres. Tapi tetep cantik kok.” ledek Kaira.
Dio tidak sanggup untuk tidak melirik. “Rhe, kamu nggak terlalu stres sama kerjaan yang saya kasih kan?”
“Hah? Nggak kok Pak. Cuma biar nggak gerah aja. Panas Pak di Jakarta.” jawabnya.
Padahal di dalam hatinya berkata, ‘Biar temenmu nggak ngenalin aku.’
“Hei, Bro, sini.” panggil Dio yang baru memasuki warung bubur. “Di sini aja ya, nggak ada tempat lagi.”
Gayung bersambut, tentu saja Naren tersenyum sumringah dengan ajakan Dio.
“Duluan kamu ya nyampenya.”
Dio dan Kaira menatap Naren bersamaan dengan ekepresi bingung. Sementara Rhea yang tahu pernyataan itu ditujukan untuknya hanya bisa menjawab, “Motor kan nggak kena macet, Pak.”
“Hah, apa maksudnya nih?” Dio terlihat semakin penasaran.
“Tadi gue ketemu dia lagi nunggu ojek, gue tawarin bareng gue, tapi nggak mau.”
“Emang rumahmu di mana, Rhe?”
“Di Cempaka Putih Pak.”
“Sejak kapan lo berangkat lewat Cempaka Putih?” tanya Dio yang jelas-jelas menyindir Naren.
“Gue kan sering nyari jalan-jalan dalem gitu, biar nggak kena macet.” Naren menjawab sindiran Dio dengan santai.
“Rhea, saya bilang ini sebagai atasan kamu dan sebagai orang yang tau sepak terjang si playboy kardus ini ya. Tolong kamu jaga jarak dari dia, jangan terjerat pesonanya meskipun itu memang hal yang sulit. Itu kalo kamu nggak mau berujung sakit hati seperti mantan-mantannya yang jumlahnya ... nggak tau deh siapa yang mampu ngitung jumlah mantannya.”
“Apaan sih lo, ngerusak reputasi gue aja.”
“Reputasi lo emang udah rusak.”
“Iya Pak, saya juga udah punya pacar kok,” ucap Rhea.
‘Nice try, Rhe. Berapa kebohongan lagi yang bakal lo ucapin hari ini?’ Rhea merutuki ucapannya dua hari belakangan yang dipenuhi kebohongan.
Naren menatap Rhea tanpa berkedip. “Gue nggak ngedeketin dia kok, kan lo tau gue juga punya pacar.”
Tanpa sadar, Rhea melemparkan senyum penuh ejekannya. ‘Iya lah, punya pacar, nggak usah diomongin juga semua orang udah tau.’
“Eh Rhe, tadi pagi aku sempet nanya ke ibu kostku, dia ada kontak orang yang masang CCTV buat kostan, kamu masih butuh? Nanti aku mintain.” Kaira memang sempat bertukar pesan dengan Rhea malam sebelumnya, dan Rhea menceritakan kegelisahannya.
“Boleh, boleh. Kirimin ya nanti kontaknya.”
“Rhea mau masang CCTV?” tanya Dio.
“Iya Pak, buat di rumah.”
“Ooooh iya bagus itu, buat keamanan. Sebelumnya pernah ada kejadian? Maling atau apa gitu?”
“Nggak sih Pak, cuma kata tetangga, dulu ada mobil yang sering bolak balik depan rumah.”
Rhea menutup mulutnya, hampir saja ia menceritakan hal-hal yang harusnya tidak ia ceritakan di depan Naren. Kalau mulut dan tingkahnya seperti ini, lama-lama Naren akan sadar siapa dirinya.
Usai sarapan, Dio tidak langsung menuju ruangannya. Ia mengikuti Naren dalam diam.
“Ngapain lo? Nggak kerja?” tanya Naren heran.
“Ada yang mau gue omongin sama lo.” Dio lebih dulu memasuki ruangan Naren dan menjatuhkan badannya di sofa single seater.
“Apa?”
“Jujur ke gue, ada apa antara lo sama Rhea?”
“Nggak ada apa-apa.”
“Nggak usah bohong. Tingkah lo beda banget. Lo naksir sama dia?”
“Berapa kali sih gue harus bilang, sejak kapan seorang Narendra naksir cewek duluan?” kilahnya.
“Dan berapa hari gue harus bilang, kalau suatu saat lo bakal kena karma, ya mungkin ini saatnya.” balas Dio.
Melihat Naren yang hanya terdiam, membuat Dio mengutarakan apa yang ada di otaknya, “Ok, ok, kalo lo emang nggak ada apa-apa, nggak naksir dia, bagus lah. Gue mau deketin dia. Boleh kan.”
Lagi-lagi Naren terdiam, Dio meninggalkan ruangan Naren dengan mengulum senyumnya.
“Shit! Shit! Aaarrggh ... apa-apaan sih Dio.” Naren menyugar rambutnya dengan frustrasi.
“Halo, Ga.”Sesuai janjinya dengan Ega beberapa hari sebelumnya, sabtu siang itu Ega menghubungi Rhea untuk mengatur janji bertemunya.“Halo, Rhe. Acara seminarku udah kelar nih. Jadi ketemu kan?”“Jadi dong. Mau ketemu di mana?” tanya Rhea.“Share loc aja alamat rumahmu, Rhe. Aku jemput kamu,” jawab Ega.“Eh? Nggak ketemuan di mana gitu, biar kamunya gampang.”“Aku bawa mobil kok, Rhe. Dipinjemin sepupuku yang tinggal di sini.”“Oh gitu? Ya udah abis ini aku share loc, kalo nyasar atau ada apa-apa langsung kabarin aku ya.”“Iya, santai, Rhe. Kayak aku baru pertama kali ke Jakarta aja.”Rhea hanya terkekeh mendapati kenyataan itu. Ega bukanlah anak daerah yang baru pertama kali ke Jakarta. Bahkan ia mengenyam pendidikan S1 kedokterannya di salah satu universitas negeri di Jakarta.Suara klakson mobil terdengar samar dari dalam kamarnya tidak lama setelah Rhea selesai bersiap dengan mengenakan celana white jeans dan crop over top berwarna peach.“Hai, Pak Dokter.”Ega menatap Rhea dala
Amee. Ya, Rhea masih mengingat wanita dengan perawakan kurus di depannya itu. Bagaimana tidak, mereka pernah duduk bersebelahan saat kelas X SMA.Dengan panik, Rhea menarik lengan Amee hingga wanita itu terduduk di sebelahnya sambil membekap mulutnya. “Amee ....”Belum sempat Rhea berbicara, Amee langsung memotong ucapan Rhea, “Ya ampun Jingga ... kangen banget tau nggak sih? Kayak ilang ditelan bumi aja lo.”Rhea tersenyum kaku, sambil melirik ke arah Naren yang kini menatapnya semakin tajam.“Panggil gue Rhea ya, Mee.”“Hah, kenapa? Dulu kan gue manggil lo Jingga. Aneh ah rasanya.”“Eh lo apa kabar?” tanya Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.“Baik. Lo gimana? Kok tiba-tiba ada di Jakarta lagi? Katanya lo pindah ke Batam.”“Iya, gue kerja di sini sekarang.”Ega tampak kebingungan ketika melihat Rhea mengobrol akrab bersama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ia memilih meletakkan nampan berisi dua mangkuk soto dan sepiring nasi di atas meja dan mengangguk ramah ke arah wanita y
Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ah, entahlah istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.Seperti biasa, Rhea berjalan keluar rumah, mengunci pintu pagar dan langsung membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Namun sapaan dari seseorang yang berasal dari seberang rumahnya membuat jantungnya berdegup dengan kencang.“Rhea.”Rhea hanya bisa terpaku menatap lelaki di depannya yang sedang membuka pagar rumah untuk mengeluarkan mobilnya yang sudah dalam kondisi menyala.Dengan gesit, lelaki itu menghampiri Rhea dan merampas ponsel yang ada di tangan Rhea (mungkin terdengar sedikit kasar, tapi memang itu yang benar-benar terjadi). “Bareng aja lah. Lumayan menghemat kan kalo kamu bareng saya.”Rhea menggeleng cepat.Lelaki itu berjalan kembali ke arah mobilnya.“Loh hp saya?”“Nanti saya balikin di parkiran kantor,” ucap Naren sambil membuka pintu mobil dan mengeluarkan mobilnya.‘Shit! Ini gimana sih maksudnya? Kenapa ada dia di rumah Bu Laras?’“Ayo!”
Naren masuk ke dalam ruangannya dengan senyum mengembang. Bersama Rhea (masih) menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya.Beda rasanya saat ia bersama dengan pacar tiga puluh harinya yang lain. Bukan berarti ia tidak senang menjalani hubungannya dengan wanita-wanita itu. Hanya saja ... rasanya berbeda. Dan ia sendiri masih kebingungan untuk mendefinisikannya.Ia tersenyum geli saat mengingat bagaimana ia bisa bersinggungan takdir dengan Jingga (yang sekarang mengganti nama panggilannya menjadi Rhea).***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Jingga menarik Amee dan Leny menuju kantin yang mulai dipenuhi murid-murid kelaparan.“Buruan sih. Nanti kantinnya penuh, nggak dapet tempat duduk kita.” ucap Jingga dengan tangan kanan menggenggam pergelangan tangan Amee dan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan Leny.“Lo laper banget apa gimana sih, Ngga? Ganas amat nariknya.” Leny mendengkus kesal mengikuti langkah tergesa Jingga.Jingga sama sekali tidak mengacuhkan ocehan Leny
“Bapak bilang apa barusan?” tanya Rhea yang baru saja menjatuhkan ayamnya di atas piring karena terlalu kaget.Naren ingin merutuki mulutnya yang kelepasan memanggil Rhea dengan nama panggilannya semasa SMA. “Makasih, nggaaak sia-sia saya nunggu kamu nggoreng ayam. Enak.” Untung ia bisa merangkai kata-kata untuk mencoba mengaburkan ucapannya yang sebelumnya.Walau masih dipenuhi rasa ragu dan penasaran, Rhea memilih menghabiskan makanannya. Ia tidak ingin berlama-lama dengan Naren di satu ruangan yang sama.“Pak Naren sama Pak Dio katanya temen kuliah, tapi kan kalian beda jurusan, kok bisa?” Otaknya memerintahkannya untuk diam, tapi hatinya tidak tahan lagi dengan keterdiaman di antara mereka.“Dio sempet masuk fakultas hukum setahun. Tapi katanya bukan passion-nya. Tahun berikutnya dia ambil ujian masuk lagi, dan keterima di accounting.”“Pinter dong berarti Pak Dio.”“Itu namanya dia plin plan, atau otaknya nggak cukup mampu menelaah tentang hukum.”Rhea menggeleng melihat sifat Na
"Kenapa sih? Biasa aja ngelihatnya. Saya cuma minta dianterin ke dokter, bukan minta kamu jadi pacar saya.""Bapak minta anterin pacar Bapak aja ya.""Saya udah putus, kemarin.""Oooh udah tiga puluh hari ya?" Rhea berdecak pelan. "Jadi Bapak sakit gara-gara putus sama pacar?""Ya nggak lah, capek banget saya kalo gitu." Naren terdiam begitu menyadari sesuatu. "Tunggu! Kamu tau dari mana saya cuma pacaran tiga puluh hari?" pancingnya."Eh! Pak Dio kayaknya pernah cerita," kilahnya.“Dio nggak mungkin ngebuka aib saya sampe sebegitunya, mentok-mentok dia cuma bilang saya playboy kardus.”Rhea tidak menanggapi ucapan Naren. Mau cari alasan apa? Memang mulutnya saja yang kadang tidak bisa diajak kompromi.“Jadi, kamu mau nganterin saya ke dokter nggak?”“Saya nggak enak, Pak. Kan bukan siapa-siapanya Pak Naren.”Naren mengulum senyumnya, sebenarnya memang ia tidak berniat sama sekali untuk ke dokter. Ia hanya suka melihat reaksi dari Rhea.Rhea memarkirkan mobil Naren di area parkir dire
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Yang namanya Jingga, ikut gue!” Seorang kakak kelas dengan garangnya memberi perintah di depan kelas Jingga.Sudah menjadi rahasia umum, ketika ada kakak kelas, berjenis kelamin wanita, datang ke kelas bawahnya dan meminta salah seorang dari mereka keluar, artinya orang yang dipanggil itu akan dilabrak. Seringnya hal ini terjadi karena kakak kelas yang merasa sirik karena kalah pamor. Ada memang beberapa kasus karena adik kelas yang terlalu genit, tapi itu perbandingannya hanya 1:10.Jingga menatap Amee dan Leny, bukan untuk minta pertolongan, cuma penasaran apa kira-kira tingkahnya yang membuat kakak kelas melabraknya.“Mau gue laporin ke guru?” tanya Amee berbisik agar tidak ketahuan kakak kelas yang berdiri di depan pintu menunggu Jingga.“Jangan, iya hari ini bisa selamat, besok-besok makin parah mereka nge-bully gue.”“Lama banget sih!” teriak kakak kelas itu lagi.Jingga berjalan sambil mengikat rambutnya, jaga-jaga kalau nanti terjadi a
“Rhea sekantor sama Naren?” tanya Brian penuh selidik.Dengan terpaksa Rhea mengikuti ajakan ketiga lelaki yang ada di ruangan itu. Pras, Brian, dan Rama memaksa Rhea untuk ikut makan malam bersama mereka, dengan dalih menemani Naren yang sejak siang tidak mau makan, padahal Naren menghabiskan garlic bread yang dibawa mereka saat makan siang.Samar-samar Rhea mengingat para lelaki yang ada di depannya adalah kakak kelasnya saat SMA dulu, tapi ia tak ingat pasti siapa nama mereka, sampai akhirnya ketiganya memperkenalkan diri.“Iya ... Pak.” Rhea tersenyum kaku. Harus seperti apa Rhea memanggil mereka. Hanya nama? Dengan panggilan ‘Kak’? atau analogi dengan panggilannya sekarang untuk Naren, yakni ‘Pak’?“Jangan panggil Pak dong, tua amat, orang kita cuma beda beberapa tahun, kan?”Naren menatap Brian dengan frustasi. Bagaimana bisa dia segampang itu mengatakannya.Rhea hanya mengangguk, tidak ada niatan banyak berkomunikasi dengan keempat lelaki di depannya.“Kamu nggak suka pedes, Rh