Rhea menoleh ke belakang, menatap Bayuni dan berpura-pura bingung. "Maksudmu?""Aku tau kamu cerdas, Rhe. Tenang aja. Aku memang kagum sama Naren, dia mungkin salah satu laki-laki yang bisa membuat aku menoleh dua kali.""Hah? Kenapa bawa-bawa aku?" sela Naren. Sejujurnya ia tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan dua wanita di dalam mobilnya itu."Aku lagi muji kamu loh, Ren. Jujur aja, cewek mana yang nggak menghayal jadi pasanganmu waktu pertama kali ketemu.""Aku nggak!" jawab Rhea cepat. "Dia nih, bikin aku nggak bisa jajan tiga hari gara-gara mesti gantiin baju seragamnya yang kena tumpahan es jeruk. Gimana aku bisa menghayal dia jadi pasanganku."Naren terbahak. "Ya kamu nggak hati-hati jalannya. Tapi akhirnya kamu tetep nembak aku duluan kan," goda Naren."Mas! Itu dulu ya, waktu aku masih belum bisa mikir bener." Rhea mengerucutkan bibir karena kesal. Perdebatan mereka membuat Rhea lupa apa yang baru saja disampaikan Bayuni.Helaan napas Bayuni dari kursi belakang bisa di
"Dia masih suka hubungi kamu atau minta ketemu kamu?" tanya Naren tiba-tiba di suatu sore saat menjemput Rhea dari Bintaro.Naren melajukan mobilnya menuju Kelapa Gading, rumah di mana keluarganya malam ini akan berkumpul untuk menyambut kepulangan keluarga tantenya dari Singapura. Padahal tantenya itu baru akan tiba esok hari, tetap saja kakeknya yang rela meninggalkan dinginnya udara Dieng itu, ingin mereka berkumpul sejak malam."Dia siapa?" tanya Rhea polos. "Ega?""Kenapa bawa-bawa Ega?" Sontak Naren menaikkan nadanya beberapa oktaf saat Rhea mambawa nama Ega dalam percakapan mereka."Loh terus maksudnya siapa?""Mantan istri Papa.""Ooh, mamamu?"Naren menahan kesalnya setiap ada orang yang menyebut wanita yang sedang mereka bicarakan itu sebagai mamanya. Tapi tentu saja di depan Rhea ia tidak bisa mengamuk seperti biasanya. "Kenapa sih semua orang nyebut dia 'mamaku'?""Mau kamu bantah kayak apa pun, dia tetep mamamu, Mas. Gimana lagi dong. Kan nggak bisa tuker mama di dunia i
"Ini calon istri kamu, Ren?" tanya Adila, anak kedua Aditama yang memilih tinggal di Singapura dengan keluarganya.Setelah Adila dan keluarganya menyapa Aditama dan Adityo, perhatian mereka teralihkan oleh keberadaan wanita yang menempel di samping Naren."Iya. Mi. Kenalin, Rhea." Naren memang memanggil tantenya dengan panggilan 'Mami' sejak kecil.Rhea mengangguk sopan sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Rhea, Tante."Wanita itu manatap Rhea dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tangan Naren yang melingkari pinggang Rhea pun tidak luput dari perhatiannya."Udah lah, Mi, jangan ngerjain calon istrinya Naren, nanti dia takut sama kamu," ucap suami Adila yang menyeret koper di tangan kirinya.Naren beranjak untuk memeluk lelaki itu sambil menanyakan kabarnya. "Udah sehat, Om?"Lelaki itu mengangguk, juga memperkenalkan dirinya pada Rhea.Tersisa seseorang lelaki seumuran Naren yang menyeret dua koper, tersenyum lebar karena kejahilannya yang sudah dipersiapkan. Bukannya menyapa
Usai makan siang bersama dan mengobrol hingga sore, mereka semua kembali ke kamar masing-masing, bersiap untuk makan malam di luar, atas permintaan Adila yang sudah kangen dengan salah satu restoran favorit keluarga besar mereka sejak bertahun-tahun silam.Karena Naren merasa masih banyak waktu buat bersiap dan ia tidak tahu mau melakukan apa di kamarnya, Naren pikir ia bisa mengobrol dan berduaan dengan Rhea.Tapi saat Naren mengetuk beberapa kali pintu kamar yang ditempati Rhea, Rhea tidak kunjung menyahutinya."Tidur apa ya?" gumam Naren. Kemudian tangannya bergerak memegang handle pintu dan membukanya.Naren menghela napas ketika melihat pintu di depannya langsung terbuka. "Kenapa nggak dikunci sih? Udah tau ada Endra di sini."Naren masuk lebih jauh setelah menutup pintu. Terdengar suara air dari kamar mandi, jadi Naren menunggu saja di atas kasur sambil memainkan ponselnya. Saking asiknya Naren membalas chat di whatsapp group The Troublemakers, ia tidak menyadari kalau suara gem
"Tante tadi dari arisan, kebetulan anak temen Tante pengen ikut Tante ke sini. Nggak apa-apa kan, Rhe? Maaf ya, Tante ganggu kamu terus."'Lagi?' Rhea tersenyum sambil mengangguk. "Nggak apa-apa dong, Tante. Bahkan Tante lebih aktif daripada tim pemasaranku. Hampir setiap minggu kan Tante bawa anak temen Tante ke sini. Siapa tau pada cocok sama makanan dan minuman di sini, biar bisa jadi pelanggan tetap."Tim pemasaran apa? Tidak ada tim pemasaran yang dibentuknya. Semua pemasaran dilakukan Amee karena dia yang ahli di bidang branding produk. Tapi memang apa yang dilakukan Ajeng sedikit banyak membawa tambahan pelanggan buatnya. Buktinya Bayuni sudah berkali-kali mengajak teman-temannya mampir. Di antara semua wanita yang pernah diperkenalkan Ajeng padanya, Bayuni mungkin salah satu yang paling membuat Rhea nyaman, karena Bayuni terang-terangan mengakui perasaannya pada Naren dan terang-terangan juga mengundurkan diri dari jabatan baru yang hampir disandangnya—calon pelakor.Ajeng sem
"Ciyeee ... Mbak Rhea! Duh kita harus manggil ‘Nyonya’ apa gimana nih abis ini?" ledek Nuning yang melihat Rhea menyeduh kopi sendiri untuk Naren yang sedang menunggunya di ruangan."Apa sih, Ning! Kamu aja yang nggak tau kalo selama ini dia udah bos." Rhea menggeleng-gelengkan kepala. Para pegawainya memang belum tahu jabatan Naren selama ini, dan Rhea juga tidak pernah berniat memberi tahu karena menurutnya tidak ada hubungannya dengan bisnisnya."Udah bos tapi masih bisa naik jabatan lagi." Decakan kagum keluar dari Nuning. "Ini udah jabatan tertinggi, Mbak?""Ya ... nggak juga. Jabatan tertinggi itu kayak kakeknya, tinggal ungkang-ungkang kaki sambil makan mie ongklok, tapi duit masuk terus," jawab Rhea sambil terbahak dan meninggalkan Nuning.Rhea masuk ke dalam ruang kerjanya sambil membawa segelas kopi hasil filter V60. Melihat betapa tegangnya Naren, Rhea tahu kalau lelaki itu sebenarnya sedang menanggung beban berat."Diminum dulu, Mas.""Makasih." Naren mengangguk tapi tak j
"Mainin gitar, lagunya 'You are The Reason', bisa kan?""Mas, aku—""Apa? Kamu kan kalo ngerayu perempuan pake gitar," sela Naren sebelum Endra menolak.Endra menghela napas. Bukannya ia tidak bisa melakukan apa yang diminta Naren, tapi ia tidak ingin mencuri perhatian dalam pesta semacam itu, yang berpotensi membuat orang-orang mengenalinya. Ia tidak ingin ada yang mendekatinya dengan tendensi urusan bisnis Candra Group. Ia ingin hidup tenang, menghabiskan waktunya dengan melukis dan merayu wanita dengan kemampuannya bermain gitar."Buat apa sih?""Ada lah, bilang aja aku mau ngomong. Dan inget, jangan terlalu bagus juga! Jangan sampe Rhea terpesona sama kamu.""Dih, kalo itu ya ... gimana ya, pesonaku nggak kalah sama kamu, Mas."Ingin rasanya Naren menoyor kepala Endra, andai saja ia tidak membutuhkan batuan adik sepupunya itu."Ya udah, mau kapan? Jangan kemaleman, cewek yang tadi udah ngasih nomernya ke aku soalnya," balas Endra sambil menyeringai.Naren berdecak. "Buruan tobat.
"Hmm ... Mas, kalo ... ngundang orang lain lagi, boleh nggak?""Kan acara keluarga kita, mau ngundang siapa lagi emangnya? Mau ngundang temen deket?""Tante Ajeng sama Om Wira. Boleh?"Naren terdiam mendengar permintaan Rhea."Tante Ajeng datang ke Amigos beberapa hari lalu.""Bawa siapa lagi dia?" tanya Naren sambil menghela napas.***-Beberapa hari sebelumnya-"Mbak Rhea, ibu-ibu yang biasa nyari Mbak Rhea dateng lagi, mau ketemu Mbak Rhea katanya," ucap Nuning setelah mengetuk pintu ruang kerja Rhea dan melongokkan kepala melalui celahnya.Rhea mengangguk. "Bentar."Setelah Nuning tidak tampak lagi di depannya, Rhea menarik napas dan menghembuskannya perlahan, mencoba mengatur emosinya. "Santai, Rhe. inget, mamanya Naren," gumamnya pada diri sendiri agar selalu mengingat satu kenyataan yang tidak mungkin bisa ia elakkan, wanita yang mengajaknya bertemu adalah seorang ibu yang melahirkan laki-laki yang ia cinta. Anehnya, setiap ia mengingatkan hal itu pada dirinya sendiri, langkahn
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n