Semua Bab NYONYA MUDA, TUAN INGIN ANDA KEMBALI!: Bab 101 - Bab 110

280 Bab

101. KENYATAAN

Langit senja mulai berubah menjadi gelap ketika Pram akhirnya tiba di pemakaman. Napasnya masih memburu, pikirannya kacau balau. Di hadapannya, makam sang ibu berdiri diam, seperti saksi bisu atas segala kemunafikan dan kebusukan yang baru saja ia temukan.Pram berlutut di atas tanah basah, kebetulan baru saja hujan reda. Udara dingin terasa menyusup hingga ke tulang. Jemarinya yang bergetar menyentuh nisan sederhana itu. Mata yang sebelumnya dipenuhi amarah kini memerah, basah oleh air mata.“Ibu...,” bisiknya serak, hampir tidak terdengar. “Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak pernah cerita apa-apa padaku? Kenapa harus menyimpan semuanya sendiri?”Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Pram merasa seolah-olah sang ibu masih ada di sana, mendengarkan keluhannya.“Aku yakin, Ibu tahu semuanya. Tentang Ayah, tentang ….” Ah, Pram menggeleng. Rasanya terlalu jijik menyebut nama perempuan itu. Perempuan yang bagi Pram sangat rendah dan menjijikkan. Bagaimana bisa perempuan itu berhubungan badan de
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

102. KHAWATIR

Puspita mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya pucat, matanya tak lepas dari ponselnya yang sejak tadi ia genggam erat. Berkali-kali ia mencoba menelepon dan mengirim pesan pada Pram, namun hasilnya nihil.“Kenapa tidak diangkat juga?” gumamnya panik. Tangannya gemetar, membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.Ia bahkan sudah menghubungi kantor Pram. Namun, jawaban dari resepsionis semakin membuatnya cemas.“Pak Pramudya sudah pulang sejak sore, Bu,” kata resepsionis dengan nada sopan, namun itu tidak membantu mengurangi rasa khawatir Puspita.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya terasa seperti diaduk-aduk. Ia tak bisa duduk tenang. Bayangan Pram yang mungkin terluka atau terjebak dalam bahaya terus menghantui pikirannya. Entah kenapa pikiran buruk selalu menghantui. Mungkin efek banyak kejadian buruk menghampirinya.“Mas, di mana kamu?” bisiknya pelan, suara itu terdengar lebih seperti doa. Ponsel digenggam di dadanya. Harusnya Pram memberi kabar jika ak
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-04
Baca selengkapnya

103. SABAR

“Diminum, Mas. Biar badannya anget.”Puspita menyerahkan secangkir jahe hangat yang masih mengepulkan sedikit asap. Lalu duduk di tepi ranjang, menatap wajah sang suami yang selain diwarnai beberapa memar dan luka, juga tersirat menyimpan sesuatu. Setidaknya itu yang Puspita pikirkan.Malam ini Pram memaksa tetap pulang karena ia merasa hanya mengalami luka ringan. Pun dengan Pak Min.Pram menerima cangkir dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya meraih tangan Puspita, menggenggamnya meski tidak terlalu kuat karena terluka.“Terima kasih, Sayang,” ujarnya, memberikan senyum meski kondisinya tidak sepenuhnya baik.“Mas, boleh aku minta tolong?” tanya Puspita dengan lembut dan tatapan penuh harap.“Apa pun itu. Katakanlah.”Puspita memejam sebentar. “Tolong jangan membuatku khawatir lagi seperti ini. Tolong beri aku kabar jika akan pulang terlambat. Aku hampir gila, Mas.”Pram menarik tangan Puspita dalam genggamannya, kemudian diciumnya punggung tangan itu dengan penuh perasaan.“
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-05
Baca selengkapnya

104. GENDERANG PERANG

“Lho, bukannya dia yang menghancurkan hidupnya sendiri dengan meniduri laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya? Kenapa jadi aku yang salah?”“Pram! Hentikan! Ayah tidak mau tahu, kamu klarifikasi sama keluarga Imel. Kamu minta maaf dan katakan itu hanya sebuah kesalahan. Ini soal nama baik keluarga kita. Katakan pada semua orang bahwa video itu tidak benar. Katakan bahwa aku tidak ada hubungan dengan Imel, dan katakan bahwa yang akan menikah dengan Imel adalah Sakti!”“Maaf, kesalahan apa kalau boleh tahu? Karena aku merasa justru sudah menyampaikan kebenaran.”“Katakan ini kesalahan, video itu hanya rekayasa. Imel sebenarnya akan menikah dengan Sakti.”“Oh, maaf, Pak. Dengan berat hati saya tidak bisa melakukannya. Itu bukan rekayasa, bukan kesalahan. Saya justru melakukan kesalahan jika mengatakan Imel akan menikah dengan Sakti. Karena itu suatu kebohongan.”“Kebohongan apa, Pram? Itu memang benar, bukan? Imel akan menikah dengan Sakti?”“Tidak akan pernah, Pak Arya Adiguna. Adi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-06
Baca selengkapnya

105. SURAT

Puspita menutup buku paket yang baru saja ia baca. Tangannya memijat lehernya yang terasa kaku. Ia bertekad untuk melanjutkan mengambil paket kesetaraan meski sudah menikah.Sudah menjadi istri seorang pria mapan tidak menjadikannya melupakan mimpinya yang sempat tertunda. Justru itu semakin memacunya untuk bisa menjadi seseorang bisa yang dibanggakan. Ia tetap ingin punya nilai plus sebagai seorang wanita. Dan pendidikan tinggi baginya adalah nilai plus itu.Untunglah sejak awal Pram tidak melarangnya untuk melanjutkan cita-citanya itu. Pram bahkan menyatakan diri akan mendukung sepenuhnya.Meski selama pemulihan ini suaminya itu lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya, tetapi perhatian dan kasih sayangnya tetap dirasakan sangat besar. Terkadang menemaninya belajar dan membantu mengoreksi latihan soal yang sudah dikerjakan Puspita.Untunglah Sakti juga semakin tenang dan terkendali setelah bicara beberapa kali dengan psikiater. Bahkan Pram berencana minggu depan akan mengan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-06
Baca selengkapnya

106. MAU KE MANA?

Puspita mengintip dari tirai jendela untuk melihat kondisi di luar. Tapi jarak gerbang yang jauh dari rumah membuatnya tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan sana. Yang tertangkap indera penglihatannya hanya beberapa pria berpakaian serba gelap yang berjaga di beberapa titik.Tika dan ayahnya katanya berada di luar gerbang. Karena rasa penasaran, akhirnya ia meraih gagang pintu, lalu keluar dari sana. Namun, saat baru saja kakinya melewati teras, suara seseorang yang sangat ia kenal menegurnya.“Mau ke mana?” tanyanya datar, namun sukses membuat Puspita terlonjak kaget.Wanita itu berbalik dengan degup jantung yang menggila.“Mau menemui pamanmu dan anaknya?” lanjut Pram yang berdiri dengan kedua tangan berada di kantong celana. Tatapannya lurus dan wajahnya tanpa ekspresi.“Mas … aku ….” Puspita tergagap. Ia memilin jemarinya, gestur biasa jika gugup.“Masuk!” Perintah Pram tegas walaupun tidak keras. Tatapannya lurus di wajah Puspita yang menunduk.“Tika ….”“Masuk, Pita. Aku
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-07
Baca selengkapnya

107. KEGUNDAHAN PRAM

Pram menutup pintu ruang kerja dengan perlahan, lalu bersandar di baliknya. Napasnya terasa berat, seperti menanggung beban berton-ton di dadanya. Ia meremas rambutnya dengan kasar, melampiaskan sedikit dari kekalutannya.“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Tatapan matanya kosong, menatap lantai keramik yang dingin.Bayangan wajah Puspita tadi saat ia mengatakan akan tetap di sisinya memenuhi benaknya. Betapa tulus tatapan wanita itu. Namun, bukannya membalas keyakinan itu, Pram malah mempertanyakan kesetiaannya. Mengapa ia bertanya hal bodoh seperti itu? Kenapa ia seolah membiarkan kemungkinan Puspita pergi menjadi sebuah opsi? Hatinya meradang sendiri.“Maafkan aku, Pita,” desahnya, melontarkan kata-kata yang tadi tak sempat diucapkan di depan istrinya.Namun, persoalan yang dihadapinya tidak sesederhana itu. Bukan hanya soal Tika dan pamannya yang menyebut hidup Puspita akan lebih baik jika ikut mereka. Entah apa maksudnya. Pram tidak yakin kalau Pus
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-07
Baca selengkapnya

108. MAAF

Puspita duduk di depan meja rias, menyisir rambutnya perlahan. Lampu kamar yang remang membuat wajahnya tampak teduh, meski ada kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan.Seharian ini, tepatnya sejak menemui pamannya dan bicara padanya tadi, Pram tidak keluar lagi dari ruang kerja. Ia sempat ke sana untuk mengajaknya makan, tetapi suaminya itu menolak dengan alasan masih banyak pekerjaan. Sejak mobilnya terperosok, Regan memang membawakan berkas pekerjaannya ke rumah.Sungguh, Puspita ingin membantu meringankan beban yang mungkin sedang dipikul Pram, tetapi ia tidak tahu caranya. Ia bahkan tidak tahu apa yang sedang Pram pikirkan karena suaminya itu tidak pernah menyinggung apa pun.Derit pintu kamar yang terbuka membuat tangan Puspita berhenti bergerak dan menggantung di udara. Matanya awas memperhatikan cermin di depannya untuk melihat yang terjadi di belakang tubuhnya.Pintu kamar perlahan terbuka, dan menampilkan sosok yang tak lepas dari ingatannya melangkah masuk dan mendekat.
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-08
Baca selengkapnya

109. LELANG

Pram menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan provokasi itu. Tatapan tajam Arya, ayahnya, yang berdiri di depan pintu masuk seolah menjadi ujian pertama di acara lelang tender ini. Pram mengangguk kecil, tanda bahwa ia memilih untuk tidak meladeni komentar pedas tersebut. Namun, tangannya yang sudah mengepal menunjukkan bahwa hatinya sedang bergejolak."Tenang, Mas," bisik Puspita menenangkan. "Ingat, kamu ke sini untuk membuktikan sesuatu, jangan terpancing," lanjutnya lembut sambil meremas lengannya. Tatapan penuh keyakinan dari istrinya membuat Pram merasa lebih tenang. Ia mengangguk tanpa menoleh, berusaha fokus pada tujuannya.Mereka melangkah masuk ke aula besar dengan suasana yang begitu megah. Lampu kristal bergantungan di langit-langit tinggi, sementara meja-meja bundar dengan hiasan bunga segar sudah tertata rapi di sekeliling ruangan. Para tamu berdatangan, mengenakan pakaian formal dengan pembawaan penuh wibawa."Regan, pastikan kita tahu setiap langkah para pesaing.
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-09
Baca selengkapnya

110. SENSITIF

“Saya ingin proyek ini dijalankan bersama Adiguna Pramudya Global,” ujar Prabu seraya menunjuk Pram dengan kelima jari. “Perusahaan milik Pak Pramudya Adiguna.”Ruangan langsung bergemuruh. Semua orang saling pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.Arya membanting tangannya ke meja, wajahnya memerah menahan amarah.Sementara Pram hanya bisa tertegun, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Semua pasang mata kini tertuju padanya, termasuk tatapan sinis Arya yang perlahan berubah menjadi amarah. Tepukan kecil di punggung tangannya dari Puspita menyadarkan Pram yang sempat kehilangan kata-kata."Mas, ini kesempatanmu," bisik Puspita pelan, mencoba memberi semangat.Namun, benaknya masih kalut. Kenapa Prabu tiba-tiba menyeret nama perusahaannya? Apakah ini jebakan mengingat mereka tidak saling mengenal dan ini pertama kalinya bertemu? Dan yang lebih penting lagi, kenapa sepanjang acara tadi Prabu terlihat begitu terobsesi dengan Puspita?Ya, sepanjang acara Prabu terus me
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-10
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
910111213
...
28
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status