“Diminum, Mas. Biar badannya anget.”Puspita menyerahkan secangkir jahe hangat yang masih mengepulkan sedikit asap. Lalu duduk di tepi ranjang, menatap wajah sang suami yang selain diwarnai beberapa memar dan luka, juga tersirat menyimpan sesuatu. Setidaknya itu yang Puspita pikirkan.Malam ini Pram memaksa tetap pulang karena ia merasa hanya mengalami luka ringan. Pun dengan Pak Min.Pram menerima cangkir dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya meraih tangan Puspita, menggenggamnya meski tidak terlalu kuat karena terluka.“Terima kasih, Sayang,” ujarnya, memberikan senyum meski kondisinya tidak sepenuhnya baik.“Mas, boleh aku minta tolong?” tanya Puspita dengan lembut dan tatapan penuh harap.“Apa pun itu. Katakanlah.”Puspita memejam sebentar. “Tolong jangan membuatku khawatir lagi seperti ini. Tolong beri aku kabar jika akan pulang terlambat. Aku hampir gila, Mas.”Pram menarik tangan Puspita dalam genggamannya, kemudian diciumnya punggung tangan itu dengan penuh perasaan.“
“Lho, bukannya dia yang menghancurkan hidupnya sendiri dengan meniduri laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya? Kenapa jadi aku yang salah?”“Pram! Hentikan! Ayah tidak mau tahu, kamu klarifikasi sama keluarga Imel. Kamu minta maaf dan katakan itu hanya sebuah kesalahan. Ini soal nama baik keluarga kita. Katakan pada semua orang bahwa video itu tidak benar. Katakan bahwa aku tidak ada hubungan dengan Imel, dan katakan bahwa yang akan menikah dengan Imel adalah Sakti!”“Maaf, kesalahan apa kalau boleh tahu? Karena aku merasa justru sudah menyampaikan kebenaran.”“Katakan ini kesalahan, video itu hanya rekayasa. Imel sebenarnya akan menikah dengan Sakti.”“Oh, maaf, Pak. Dengan berat hati saya tidak bisa melakukannya. Itu bukan rekayasa, bukan kesalahan. Saya justru melakukan kesalahan jika mengatakan Imel akan menikah dengan Sakti. Karena itu suatu kebohongan.”“Kebohongan apa, Pram? Itu memang benar, bukan? Imel akan menikah dengan Sakti?”“Tidak akan pernah, Pak Arya Adiguna. Adi
Puspita menutup buku paket yang baru saja ia baca. Tangannya memijat lehernya yang terasa kaku. Ia bertekad untuk melanjutkan mengambil paket kesetaraan meski sudah menikah.Sudah menjadi istri seorang pria mapan tidak menjadikannya melupakan mimpinya yang sempat tertunda. Justru itu semakin memacunya untuk bisa menjadi seseorang bisa yang dibanggakan. Ia tetap ingin punya nilai plus sebagai seorang wanita. Dan pendidikan tinggi baginya adalah nilai plus itu.Untunglah sejak awal Pram tidak melarangnya untuk melanjutkan cita-citanya itu. Pram bahkan menyatakan diri akan mendukung sepenuhnya.Meski selama pemulihan ini suaminya itu lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya, tetapi perhatian dan kasih sayangnya tetap dirasakan sangat besar. Terkadang menemaninya belajar dan membantu mengoreksi latihan soal yang sudah dikerjakan Puspita.Untunglah Sakti juga semakin tenang dan terkendali setelah bicara beberapa kali dengan psikiater. Bahkan Pram berencana minggu depan akan mengan
Puspita mengintip dari tirai jendela untuk melihat kondisi di luar. Tapi jarak gerbang yang jauh dari rumah membuatnya tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan sana. Yang tertangkap indera penglihatannya hanya beberapa pria berpakaian serba gelap yang berjaga di beberapa titik.Tika dan ayahnya katanya berada di luar gerbang. Karena rasa penasaran, akhirnya ia meraih gagang pintu, lalu keluar dari sana. Namun, saat baru saja kakinya melewati teras, suara seseorang yang sangat ia kenal menegurnya.“Mau ke mana?” tanyanya datar, namun sukses membuat Puspita terlonjak kaget.Wanita itu berbalik dengan degup jantung yang menggila.“Mau menemui pamanmu dan anaknya?” lanjut Pram yang berdiri dengan kedua tangan berada di kantong celana. Tatapannya lurus dan wajahnya tanpa ekspresi.“Mas … aku ….” Puspita tergagap. Ia memilin jemarinya, gestur biasa jika gugup.“Masuk!” Perintah Pram tegas walaupun tidak keras. Tatapannya lurus di wajah Puspita yang menunduk.“Tika ….”“Masuk, Pita. Aku
Pram menutup pintu ruang kerja dengan perlahan, lalu bersandar di baliknya. Napasnya terasa berat, seperti menanggung beban berton-ton di dadanya. Ia meremas rambutnya dengan kasar, melampiaskan sedikit dari kekalutannya.“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Tatapan matanya kosong, menatap lantai keramik yang dingin.Bayangan wajah Puspita tadi saat ia mengatakan akan tetap di sisinya memenuhi benaknya. Betapa tulus tatapan wanita itu. Namun, bukannya membalas keyakinan itu, Pram malah mempertanyakan kesetiaannya. Mengapa ia bertanya hal bodoh seperti itu? Kenapa ia seolah membiarkan kemungkinan Puspita pergi menjadi sebuah opsi? Hatinya meradang sendiri.“Maafkan aku, Pita,” desahnya, melontarkan kata-kata yang tadi tak sempat diucapkan di depan istrinya.Namun, persoalan yang dihadapinya tidak sesederhana itu. Bukan hanya soal Tika dan pamannya yang menyebut hidup Puspita akan lebih baik jika ikut mereka. Entah apa maksudnya. Pram tidak yakin kalau Pus
Puspita duduk di depan meja rias, menyisir rambutnya perlahan. Lampu kamar yang remang membuat wajahnya tampak teduh, meski ada kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan.Seharian ini, tepatnya sejak menemui pamannya dan bicara padanya tadi, Pram tidak keluar lagi dari ruang kerja. Ia sempat ke sana untuk mengajaknya makan, tetapi suaminya itu menolak dengan alasan masih banyak pekerjaan. Sejak mobilnya terperosok, Regan memang membawakan berkas pekerjaannya ke rumah.Sungguh, Puspita ingin membantu meringankan beban yang mungkin sedang dipikul Pram, tetapi ia tidak tahu caranya. Ia bahkan tidak tahu apa yang sedang Pram pikirkan karena suaminya itu tidak pernah menyinggung apa pun.Derit pintu kamar yang terbuka membuat tangan Puspita berhenti bergerak dan menggantung di udara. Matanya awas memperhatikan cermin di depannya untuk melihat yang terjadi di belakang tubuhnya.Pintu kamar perlahan terbuka, dan menampilkan sosok yang tak lepas dari ingatannya melangkah masuk dan mendekat.
Pram menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan provokasi itu. Tatapan tajam Arya, ayahnya, yang berdiri di depan pintu masuk seolah menjadi ujian pertama di acara lelang tender ini. Pram mengangguk kecil, tanda bahwa ia memilih untuk tidak meladeni komentar pedas tersebut. Namun, tangannya yang sudah mengepal menunjukkan bahwa hatinya sedang bergejolak."Tenang, Mas," bisik Puspita menenangkan. "Ingat, kamu ke sini untuk membuktikan sesuatu, jangan terpancing," lanjutnya lembut sambil meremas lengannya. Tatapan penuh keyakinan dari istrinya membuat Pram merasa lebih tenang. Ia mengangguk tanpa menoleh, berusaha fokus pada tujuannya.Mereka melangkah masuk ke aula besar dengan suasana yang begitu megah. Lampu kristal bergantungan di langit-langit tinggi, sementara meja-meja bundar dengan hiasan bunga segar sudah tertata rapi di sekeliling ruangan. Para tamu berdatangan, mengenakan pakaian formal dengan pembawaan penuh wibawa."Regan, pastikan kita tahu setiap langkah para pesaing.
“Saya ingin proyek ini dijalankan bersama Adiguna Pramudya Global,” ujar Prabu seraya menunjuk Pram dengan kelima jari. “Perusahaan milik Pak Pramudya Adiguna.”Ruangan langsung bergemuruh. Semua orang saling pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.Arya membanting tangannya ke meja, wajahnya memerah menahan amarah.Sementara Pram hanya bisa tertegun, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Semua pasang mata kini tertuju padanya, termasuk tatapan sinis Arya yang perlahan berubah menjadi amarah. Tepukan kecil di punggung tangannya dari Puspita menyadarkan Pram yang sempat kehilangan kata-kata."Mas, ini kesempatanmu," bisik Puspita pelan, mencoba memberi semangat.Namun, benaknya masih kalut. Kenapa Prabu tiba-tiba menyeret nama perusahaannya? Apakah ini jebakan mengingat mereka tidak saling mengenal dan ini pertama kalinya bertemu? Dan yang lebih penting lagi, kenapa sepanjang acara tadi Prabu terlihat begitu terobsesi dengan Puspita?Ya, sepanjang acara Prabu terus me
Puspita merasakan dadanya sesak seolah oksigen tidak mau masuk ke paru-parunya. Pandangannya berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Semua yang baru saja tersaji di depan matanya seolah cerita dongeng fantasi yang hanya ada dalam khayalan.Otaknya mendadak tidak bekerja hingga sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Suara melengking Tika yang memanggil namanya dan meminta tolong masih terngiang hingga memekakkan telinga. Tetapi, slide-slide nyata dalam kehidupan yang dijalaninya terus berputar di kepalanya.Tubuhnya nyaris terjengkang jika Pram tidak sigap menangkapnya. Pram sampai duduk bersimpuh untuk menahan tubuh Puspita yang tidak bertenaga sama sekali. Tubuh wanita itu ia sandarkan di pangkuannya. Sejatinya, ia pun terlalu kaget dengan semua ini hingga tak mampu melakukan apa pun selain ternganga.Nama Putra Pradipta ia sebut dua kali saat menikahi Puspita sebagai ayahnya, tetapi siapa sangka jika itu adalah Pradipta Putra Bimantara, anak tunggal Rangga Bimantara dan jug
Ruangan mendadak penuh dengan gemuruh para tamu yang saling berbicara heran, sebelum akhirnya pandangan mereka tertuju pada Puspita yang mulutnya menganga.Wanita itu sejak tadi sudah merasa lelembutnya tak lagi di sana. Bahkan suara Prabu bagai seorang pendongeng yang jauh dan hanya terdengar suaranya saja.Yang dirasakan Puspita adalah kembali ke masa lalu, masa-masa kecilnya yang penuh kebahagiaan bersama kedua orang tuanya. Sebelum akhirnya semua kebahagiaan itu direnggut paksa darinya bersamaan dengan meninggalnya orang tuanya.Puspita di sini, tapi hati dan pikirannya kembali ke masa-masa itu. Masa-masa yang diceritakan Prabu. Semua tergambar dengan jelas dalam ingatannya, seperti yang terjadi dalam semua slide foto itu.Puspita masih mematung. Ia tidak mengerti apa arti semua ini. Sementara mata semua orang kini tertuju padanya. Sebagian menatap iba, sebagian lagi meremehkan, dan sebagian lainnya tampak bingung. Semua orang di sana kembali berdengung, saling bicara sambil menat
“Ini adalah orang tua saya.”Prabu menunjuk layar besar yang kini menampilkan pasangan muda yang sangat serasi. Tampan dan cantik.“Pradipta Putra Bimantara dan Riyanti Rahman,” lanjut Prabu dengan bangga."Mereka pasangan yang bahagia dan saling mencintai. Sayangnya ….” Prabu menjeda kalimat, terlihat ada napas yang berat untuk diembuskan. Kilat luka berpendar di matanya.“Ibu saya harus meninggalkan kami semua saat menghadirkan saya ke dunia. Ibu saya berpulang dan meninggalkan luka yang mendalam untuk ayah saya.” Akhirnya, Prabu menarik napas meski terlihat sangat berat.Semua hadirin sepertinya ikut larut dengan apa yang Prabu rasakan. Terlebih ada getar dalam kalimat terakhir Prabu. Nyonya Rangga yang berdiri didampingi suaminya, juga Tika, bahkan sudah menghapus sudut matanya dengan tisu.“Ayah saya frustrasi berat atas meninggalnya wanita terkasih hingga akhirnya memutuskan menanggalkan semua yang sudah ia miliki sebagai satu-satunya penerus Bimantara Group. Ayah pergi jauh den
Puspita menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya kesal. Ternyata pria itu menunggunya. Hanya saja, saking tidak mau bicara, sang suami hanya menatapnya.Puspita mengerjap dan menunduk, lalu menghampiri Pram dan mengekorinya. Mereka bergabung dengan tetamu lain yang sudah menyimak Prabu di panggung sana.Baru saja beberapa detik mereka bergabung, seseorang datang dan berdiri di samping Pram. Lalu mengucapkan kalimat yang membuat mood Pram semakin buruk.“Halo, anak laki-lakiku, aku tidak menyangka akan bertemu di sini denganmu.”Pram menelan ludah tanpa melirik sama sekali. Ia mencoba fokus pada Prabu di depan sana.“Oh, ya, perkenalkan dulu, ibu barumu,” lanjut suara itu seraya menunjuk wanita muda yang bergelayut manja di lengannya.“Mungkin kamu belum tahu kalau kami sudah menikah secara resmi, Pram. Jadi mulai sekarang hormati Imel sebagai istriku, ya.”Pram sama sekali tidak peduli, mencoba mengabaikan apa pun yang Arya ucapkan. Jika pun ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, b
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu