Puspita mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya pucat, matanya tak lepas dari ponselnya yang sejak tadi ia genggam erat. Berkali-kali ia mencoba menelepon dan mengirim pesan pada Pram, namun hasilnya nihil.“Kenapa tidak diangkat juga?” gumamnya panik. Tangannya gemetar, membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.Ia bahkan sudah menghubungi kantor Pram. Namun, jawaban dari resepsionis semakin membuatnya cemas.“Pak Pramudya sudah pulang sejak sore, Bu,” kata resepsionis dengan nada sopan, namun itu tidak membantu mengurangi rasa khawatir Puspita.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya terasa seperti diaduk-aduk. Ia tak bisa duduk tenang. Bayangan Pram yang mungkin terluka atau terjebak dalam bahaya terus menghantui pikirannya. Entah kenapa pikiran buruk selalu menghantui. Mungkin efek banyak kejadian buruk menghampirinya.“Mas, di mana kamu?” bisiknya pelan, suara itu terdengar lebih seperti doa. Ponsel digenggam di dadanya. Harusnya Pram memberi kabar jika ak
“Diminum, Mas. Biar badannya anget.”Puspita menyerahkan secangkir jahe hangat yang masih mengepulkan sedikit asap. Lalu duduk di tepi ranjang, menatap wajah sang suami yang selain diwarnai beberapa memar dan luka, juga tersirat menyimpan sesuatu. Setidaknya itu yang Puspita pikirkan.Malam ini Pram memaksa tetap pulang karena ia merasa hanya mengalami luka ringan. Pun dengan Pak Min.Pram menerima cangkir dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya meraih tangan Puspita, menggenggamnya meski tidak terlalu kuat karena terluka.“Terima kasih, Sayang,” ujarnya, memberikan senyum meski kondisinya tidak sepenuhnya baik.“Mas, boleh aku minta tolong?” tanya Puspita dengan lembut dan tatapan penuh harap.“Apa pun itu. Katakanlah.”Puspita memejam sebentar. “Tolong jangan membuatku khawatir lagi seperti ini. Tolong beri aku kabar jika akan pulang terlambat. Aku hampir gila, Mas.”Pram menarik tangan Puspita dalam genggamannya, kemudian diciumnya punggung tangan itu dengan penuh perasaan.“
“Lho, bukannya dia yang menghancurkan hidupnya sendiri dengan meniduri laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya? Kenapa jadi aku yang salah?”“Pram! Hentikan! Ayah tidak mau tahu, kamu klarifikasi sama keluarga Imel. Kamu minta maaf dan katakan itu hanya sebuah kesalahan. Ini soal nama baik keluarga kita. Katakan pada semua orang bahwa video itu tidak benar. Katakan bahwa aku tidak ada hubungan dengan Imel, dan katakan bahwa yang akan menikah dengan Imel adalah Sakti!”“Maaf, kesalahan apa kalau boleh tahu? Karena aku merasa justru sudah menyampaikan kebenaran.”“Katakan ini kesalahan, video itu hanya rekayasa. Imel sebenarnya akan menikah dengan Sakti.”“Oh, maaf, Pak. Dengan berat hati saya tidak bisa melakukannya. Itu bukan rekayasa, bukan kesalahan. Saya justru melakukan kesalahan jika mengatakan Imel akan menikah dengan Sakti. Karena itu suatu kebohongan.”“Kebohongan apa, Pram? Itu memang benar, bukan? Imel akan menikah dengan Sakti?”“Tidak akan pernah, Pak Arya Adiguna. Adi
Puspita menutup buku paket yang baru saja ia baca. Tangannya memijat lehernya yang terasa kaku. Ia bertekad untuk melanjutkan mengambil paket kesetaraan meski sudah menikah.Sudah menjadi istri seorang pria mapan tidak menjadikannya melupakan mimpinya yang sempat tertunda. Justru itu semakin memacunya untuk bisa menjadi seseorang bisa yang dibanggakan. Ia tetap ingin punya nilai plus sebagai seorang wanita. Dan pendidikan tinggi baginya adalah nilai plus itu.Untunglah sejak awal Pram tidak melarangnya untuk melanjutkan cita-citanya itu. Pram bahkan menyatakan diri akan mendukung sepenuhnya.Meski selama pemulihan ini suaminya itu lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya, tetapi perhatian dan kasih sayangnya tetap dirasakan sangat besar. Terkadang menemaninya belajar dan membantu mengoreksi latihan soal yang sudah dikerjakan Puspita.Untunglah Sakti juga semakin tenang dan terkendali setelah bicara beberapa kali dengan psikiater. Bahkan Pram berencana minggu depan akan mengan
Puspita mengintip dari tirai jendela untuk melihat kondisi di luar. Tapi jarak gerbang yang jauh dari rumah membuatnya tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan sana. Yang tertangkap indera penglihatannya hanya beberapa pria berpakaian serba gelap yang berjaga di beberapa titik.Tika dan ayahnya katanya berada di luar gerbang. Karena rasa penasaran, akhirnya ia meraih gagang pintu, lalu keluar dari sana. Namun, saat baru saja kakinya melewati teras, suara seseorang yang sangat ia kenal menegurnya.“Mau ke mana?” tanyanya datar, namun sukses membuat Puspita terlonjak kaget.Wanita itu berbalik dengan degup jantung yang menggila.“Mau menemui pamanmu dan anaknya?” lanjut Pram yang berdiri dengan kedua tangan berada di kantong celana. Tatapannya lurus dan wajahnya tanpa ekspresi.“Mas … aku ….” Puspita tergagap. Ia memilin jemarinya, gestur biasa jika gugup.“Masuk!” Perintah Pram tegas walaupun tidak keras. Tatapannya lurus di wajah Puspita yang menunduk.“Tika ….”“Masuk, Pita. Aku
Pram menutup pintu ruang kerja dengan perlahan, lalu bersandar di baliknya. Napasnya terasa berat, seperti menanggung beban berton-ton di dadanya. Ia meremas rambutnya dengan kasar, melampiaskan sedikit dari kekalutannya.“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Tatapan matanya kosong, menatap lantai keramik yang dingin.Bayangan wajah Puspita tadi saat ia mengatakan akan tetap di sisinya memenuhi benaknya. Betapa tulus tatapan wanita itu. Namun, bukannya membalas keyakinan itu, Pram malah mempertanyakan kesetiaannya. Mengapa ia bertanya hal bodoh seperti itu? Kenapa ia seolah membiarkan kemungkinan Puspita pergi menjadi sebuah opsi? Hatinya meradang sendiri.“Maafkan aku, Pita,” desahnya, melontarkan kata-kata yang tadi tak sempat diucapkan di depan istrinya.Namun, persoalan yang dihadapinya tidak sesederhana itu. Bukan hanya soal Tika dan pamannya yang menyebut hidup Puspita akan lebih baik jika ikut mereka. Entah apa maksudnya. Pram tidak yakin kalau Pus
Puspita duduk di depan meja rias, menyisir rambutnya perlahan. Lampu kamar yang remang membuat wajahnya tampak teduh, meski ada kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan.Seharian ini, tepatnya sejak menemui pamannya dan bicara padanya tadi, Pram tidak keluar lagi dari ruang kerja. Ia sempat ke sana untuk mengajaknya makan, tetapi suaminya itu menolak dengan alasan masih banyak pekerjaan. Sejak mobilnya terperosok, Regan memang membawakan berkas pekerjaannya ke rumah.Sungguh, Puspita ingin membantu meringankan beban yang mungkin sedang dipikul Pram, tetapi ia tidak tahu caranya. Ia bahkan tidak tahu apa yang sedang Pram pikirkan karena suaminya itu tidak pernah menyinggung apa pun.Derit pintu kamar yang terbuka membuat tangan Puspita berhenti bergerak dan menggantung di udara. Matanya awas memperhatikan cermin di depannya untuk melihat yang terjadi di belakang tubuhnya.Pintu kamar perlahan terbuka, dan menampilkan sosok yang tak lepas dari ingatannya melangkah masuk dan mendekat.
Pram menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan provokasi itu. Tatapan tajam Arya, ayahnya, yang berdiri di depan pintu masuk seolah menjadi ujian pertama di acara lelang tender ini. Pram mengangguk kecil, tanda bahwa ia memilih untuk tidak meladeni komentar pedas tersebut. Namun, tangannya yang sudah mengepal menunjukkan bahwa hatinya sedang bergejolak."Tenang, Mas," bisik Puspita menenangkan. "Ingat, kamu ke sini untuk membuktikan sesuatu, jangan terpancing," lanjutnya lembut sambil meremas lengannya. Tatapan penuh keyakinan dari istrinya membuat Pram merasa lebih tenang. Ia mengangguk tanpa menoleh, berusaha fokus pada tujuannya.Mereka melangkah masuk ke aula besar dengan suasana yang begitu megah. Lampu kristal bergantungan di langit-langit tinggi, sementara meja-meja bundar dengan hiasan bunga segar sudah tertata rapi di sekeliling ruangan. Para tamu berdatangan, mengenakan pakaian formal dengan pembawaan penuh wibawa."Regan, pastikan kita tahu setiap langkah para pesaing.
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p
“Din … kamu lihat dasiku yang navy ada titik kecil putih, tidak?” Suara Prabu terdengar dari kamar, sedikit meninggi karena jarak kamar tidur dan dapur lumayan jauh.Andini sedang berkutat di dapur. Tangannya sibuk mengaduk telur orak-arik sambil sesekali melirik roti yang mulai kecokelatan di toaster. Aroma kopi menguar dari cangkir di sebelahnya. Pagi ini seperti medan perang baginya. Mbak Sri—ART mereka—kebetulan sedang cuti.Kompor menyala, toaster bunyi klik, air galon tinggal sedikit, dan... kakinya hampir terpeleset karena butter yang tadi tumpah dari spatula.Sebagai ibu rumah tangga baru yang belum berpengalaman—karena tiba-tiba menjadi seorang istri dan ibu—tentu saja ini perjuangan tersendiri bagi Andini. Ia yang terbiasa hanya mengurus dirinya sendiri, kini harus membagi tenaga untuk mengurus dan menyiapkan keperluan orang lain.Keadaan jadi sangat riweuh karena Prabu yang sudah terbiasa segala dilayani, dan juga Chiara yang belum bisa mengurus dirinya sendiri—minta dilaya