Puspita duduk di depan meja rias, menyisir rambutnya perlahan. Lampu kamar yang remang membuat wajahnya tampak teduh, meski ada kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan.Seharian ini, tepatnya sejak menemui pamannya dan bicara padanya tadi, Pram tidak keluar lagi dari ruang kerja. Ia sempat ke sana untuk mengajaknya makan, tetapi suaminya itu menolak dengan alasan masih banyak pekerjaan. Sejak mobilnya terperosok, Regan memang membawakan berkas pekerjaannya ke rumah.Sungguh, Puspita ingin membantu meringankan beban yang mungkin sedang dipikul Pram, tetapi ia tidak tahu caranya. Ia bahkan tidak tahu apa yang sedang Pram pikirkan karena suaminya itu tidak pernah menyinggung apa pun.Derit pintu kamar yang terbuka membuat tangan Puspita berhenti bergerak dan menggantung di udara. Matanya awas memperhatikan cermin di depannya untuk melihat yang terjadi di belakang tubuhnya.Pintu kamar perlahan terbuka, dan menampilkan sosok yang tak lepas dari ingatannya melangkah masuk dan mendekat.
Pram menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan provokasi itu. Tatapan tajam Arya, ayahnya, yang berdiri di depan pintu masuk seolah menjadi ujian pertama di acara lelang tender ini. Pram mengangguk kecil, tanda bahwa ia memilih untuk tidak meladeni komentar pedas tersebut. Namun, tangannya yang sudah mengepal menunjukkan bahwa hatinya sedang bergejolak."Tenang, Mas," bisik Puspita menenangkan. "Ingat, kamu ke sini untuk membuktikan sesuatu, jangan terpancing," lanjutnya lembut sambil meremas lengannya. Tatapan penuh keyakinan dari istrinya membuat Pram merasa lebih tenang. Ia mengangguk tanpa menoleh, berusaha fokus pada tujuannya.Mereka melangkah masuk ke aula besar dengan suasana yang begitu megah. Lampu kristal bergantungan di langit-langit tinggi, sementara meja-meja bundar dengan hiasan bunga segar sudah tertata rapi di sekeliling ruangan. Para tamu berdatangan, mengenakan pakaian formal dengan pembawaan penuh wibawa."Regan, pastikan kita tahu setiap langkah para pesaing.
“Saya ingin proyek ini dijalankan bersama Adiguna Pramudya Global,” ujar Prabu seraya menunjuk Pram dengan kelima jari. “Perusahaan milik Pak Pramudya Adiguna.”Ruangan langsung bergemuruh. Semua orang saling pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.Arya membanting tangannya ke meja, wajahnya memerah menahan amarah.Sementara Pram hanya bisa tertegun, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Semua pasang mata kini tertuju padanya, termasuk tatapan sinis Arya yang perlahan berubah menjadi amarah. Tepukan kecil di punggung tangannya dari Puspita menyadarkan Pram yang sempat kehilangan kata-kata."Mas, ini kesempatanmu," bisik Puspita pelan, mencoba memberi semangat.Namun, benaknya masih kalut. Kenapa Prabu tiba-tiba menyeret nama perusahaannya? Apakah ini jebakan mengingat mereka tidak saling mengenal dan ini pertama kalinya bertemu? Dan yang lebih penting lagi, kenapa sepanjang acara tadi Prabu terlihat begitu terobsesi dengan Puspita?Ya, sepanjang acara Prabu terus me
Pramudya duduk di kursi kerjanya, tangan kanannya memijat pelipis sementara matanya menatap kosong ke layar komputer yang menampilkan grafik menurun. Otaknya penuh dengan beban yang sulit dia uraikan, pikirannya malah melayang ke berbagai masalah yang menghimpit.Di satu sisi, perusahaan sedang berada di ujung tanduk, di sisi lain tawaran Prabu tampak seperti tali penyelamat. Tapi, benarkah tali itu kokoh? Atau hanya akan membelit dan menenggelamkannya lebih dalam?Pintu ruangannya diketuk pelan, mengalihkan perhatiannya. “Masuk,” gumamnya lemah.Regan melangkah masuk dengan sikap penuh percaya diri. Pria seumuran dirinya itu membawa tablet di tangannya. Senyum kecil tersungging di bibirnya. “Bos, ada undangan makan siang dari Pak Prabu. Beliau ingin membahas kerja sama lebih lanjut,” ujarnya begitu duduk di hadapan Pram.Pram terdiam. Tawaran makan siang dari Prabu adalah peluang emas untuk membahas kerja sama yang bisa menyelamatkan perusahaannya. Namun, bayangan tentang cara Prabu
Pram merasa tubuhnya menegang seketika, darahnya makin mendidih. Teraplikasikan lewat wajahnya yang merah padam. Kedua tangannya mengepal kuat. Bagaimana bisa mereka dengan tidak tahu malu datang ke tempat umum dengan sesantai itu?“Ada apa, Pak Pram?” tanya Prabu heran, memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Pram.“Tidak, tidak ada apa-apa,” jawab Pram cepat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Namun, matanya tidak bisa lepas dari pemandangan itu. Imel tampak tersenyum santai dan bergelendot dengan manja, sementara Arya berjalan dengan sikap angkuh.Didorong rasa heran, Prabu mengikuti arah pandangan Pram. Keningnya berkerut. “Bukankah itu Pak Arya Adiguna?”Pram tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, berusaha kembali fokus pada percakapan mereka. Namun, pikirannya terus berputar. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa mereka berani menunjukkan diri di tempat umum seperti ini, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang telah mereka lakukan?“Pak Pram, apakah Anda baik-baik
“Pram!” Arya membentak dengan wajahnya bak terbakar.“Kenapa, Pak Arya? Bukankah itu benar? Kau pria pemuja nafsu, dan wanita ini ….” Telunjuk Pram mengarah lurus di wajah Imel. “Wanita yang aku yakin bukan hanya dipakai satu laki-laki saja.”“Cukup, Pram!” Arya semakin murka, tetapi tangannya gegas digamit Imel. Wanita yang tampak tidak terpengaruh sama sekali oleh ucapan Pram itu maju selangkah. Mengangkat dagunya penuh percaya diri.“Jangan pikir aku tidak tahu, Mas Pram. Kamu hanya marah karena aku memilih ayahmu daripada kamu! Kau cemburu, kan?”Pram tertegun sesaat. Sebuah tawa pendek dan penuh ejekan meluncur dari bibirnya. “Cemburu?” katanya, suaranya terdengar getir. “Imel, bahkan dalam mimpi terburukku sekalipun, aku tidak pernah tertarik padamu. Tidak pernah. Jadi buang jauh-jauh khayalan bodoh itu dari pikiranmu.”Imel tersenyum dingin, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Pram. “Oh, benar begitu? Lalu kenapa kamu terus saja mencari-cari alasan untuk menyerang kami? Seolah ka
“Bos yakin?” tanya Regan dari jok depan di samping sopir. Kepalanya memutar ke belakang ke arah Pram berada.“Ya,” Pram menjawab singkat tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke jalanan di depan mereka. “Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang mereka. Dan rumah orang tuaku pasti menyimpan banyak rahasia.”Regan mengangguk mengerti sebelum meminta Pak Min memutar arah menuju rumah orang tua Pram.Pram sendiri sudah bertekad mulai saat ini tidak akan kalah oleh mereka. Apa pun yang mereka lakukan atau katakan, tidak akan menghancurkannya. Karena ia tahu tujuan mereka memang menghancurkannya. Dan semakin ia hancur, semakin mereka tertawa senang.Fokus pada tujuan, itu yang harus dilakukannya saat ini. Olokan dari mereka tak akan membuatnya jatuh. Dan ia terlalu bodoh jika membiarkan mereka menang setelah apa yang mereka lakukan pada keluarganya. Pram tidak rela Arya menikmati harta ibunya setelah pengkhianatan menyakitkan itu. Terlebih wanita itu ikut juga menikmati.Mobil berbelok menuju
Puspita menggeleng. Hatinya sakit mendengar pertanyaan Pram. Benar, suaminya sangat rapuh. Tapi ia tidak akan membiarkan itu. Ia juga sama sekali tidak berniat memandang rendah.Puspita semakin merapatkan diri, lalu melingkarkan tangan di tubuh Pram. Kepalanya direbahkan di punggung sang suami.“Jangan menanyakan hal seperti itu, aku sakit mendengarnya,” ujarnya serak.“Tapi seseorang mengataiku seperti itu. Aku payah, aku menyedihkan, hanya bisa berlindung di bawah ketiak orang tua. Lebih parahnya, ia juga menyebutku kini hanya bisa mengemis belas kasih orang lain. Sayangnya itu memang benar, bukan?”Puspita menggeleng, masih dengan kepala yang rebah di punggung Pram. Ia memeluk suaminya itu dari samping.“Semua itu tidak benar, Mas. Mas Pramudya, suamiku, bukan laki-laki seperti itu.” Suara Puspita tertahan di kerongkongan hingga sangat pelan.“Mas Pram-ku pria hebat. Buktinya, punya perusahaan sendiri di usia yang relatif masih muda. Usia Mas baru menuju tiga puluh lima, tapi sudah
Puspita merasakan dadanya sesak seolah oksigen tidak mau masuk ke paru-parunya. Pandangannya berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Semua yang baru saja tersaji di depan matanya seolah cerita dongeng fantasi yang hanya ada dalam khayalan.Otaknya mendadak tidak bekerja hingga sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Suara melengking Tika yang memanggil namanya dan meminta tolong masih terngiang hingga memekakkan telinga. Tetapi, slide-slide nyata dalam kehidupan yang dijalaninya terus berputar di kepalanya.Tubuhnya nyaris terjengkang jika Pram tidak sigap menangkapnya. Pram sampai duduk bersimpuh untuk menahan tubuh Puspita yang tidak bertenaga sama sekali. Tubuh wanita itu ia sandarkan di pangkuannya. Sejatinya, ia pun terlalu kaget dengan semua ini hingga tak mampu melakukan apa pun selain ternganga.Nama Putra Pradipta ia sebut dua kali saat menikahi Puspita sebagai ayahnya, tetapi siapa sangka jika itu adalah Pradipta Putra Bimantara, anak tunggal Rangga Bimantara dan jug
Ruangan mendadak penuh dengan gemuruh para tamu yang saling berbicara heran, sebelum akhirnya pandangan mereka tertuju pada Puspita yang mulutnya menganga.Wanita itu sejak tadi sudah merasa lelembutnya tak lagi di sana. Bahkan suara Prabu bagai seorang pendongeng yang jauh dan hanya terdengar suaranya saja.Yang dirasakan Puspita adalah kembali ke masa lalu, masa-masa kecilnya yang penuh kebahagiaan bersama kedua orang tuanya. Sebelum akhirnya semua kebahagiaan itu direnggut paksa darinya bersamaan dengan meninggalnya orang tuanya.Puspita di sini, tapi hati dan pikirannya kembali ke masa-masa itu. Masa-masa yang diceritakan Prabu. Semua tergambar dengan jelas dalam ingatannya, seperti yang terjadi dalam semua slide foto itu.Puspita masih mematung. Ia tidak mengerti apa arti semua ini. Sementara mata semua orang kini tertuju padanya. Sebagian menatap iba, sebagian lagi meremehkan, dan sebagian lainnya tampak bingung. Semua orang di sana kembali berdengung, saling bicara sambil menat
“Ini adalah orang tua saya.”Prabu menunjuk layar besar yang kini menampilkan pasangan muda yang sangat serasi. Tampan dan cantik.“Pradipta Putra Bimantara dan Riyanti Rahman,” lanjut Prabu dengan bangga."Mereka pasangan yang bahagia dan saling mencintai. Sayangnya ….” Prabu menjeda kalimat, terlihat ada napas yang berat untuk diembuskan. Kilat luka berpendar di matanya.“Ibu saya harus meninggalkan kami semua saat menghadirkan saya ke dunia. Ibu saya berpulang dan meninggalkan luka yang mendalam untuk ayah saya.” Akhirnya, Prabu menarik napas meski terlihat sangat berat.Semua hadirin sepertinya ikut larut dengan apa yang Prabu rasakan. Terlebih ada getar dalam kalimat terakhir Prabu. Nyonya Rangga yang berdiri didampingi suaminya, juga Tika, bahkan sudah menghapus sudut matanya dengan tisu.“Ayah saya frustrasi berat atas meninggalnya wanita terkasih hingga akhirnya memutuskan menanggalkan semua yang sudah ia miliki sebagai satu-satunya penerus Bimantara Group. Ayah pergi jauh den
Puspita menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya kesal. Ternyata pria itu menunggunya. Hanya saja, saking tidak mau bicara, sang suami hanya menatapnya.Puspita mengerjap dan menunduk, lalu menghampiri Pram dan mengekorinya. Mereka bergabung dengan tetamu lain yang sudah menyimak Prabu di panggung sana.Baru saja beberapa detik mereka bergabung, seseorang datang dan berdiri di samping Pram. Lalu mengucapkan kalimat yang membuat mood Pram semakin buruk.“Halo, anak laki-lakiku, aku tidak menyangka akan bertemu di sini denganmu.”Pram menelan ludah tanpa melirik sama sekali. Ia mencoba fokus pada Prabu di depan sana.“Oh, ya, perkenalkan dulu, ibu barumu,” lanjut suara itu seraya menunjuk wanita muda yang bergelayut manja di lengannya.“Mungkin kamu belum tahu kalau kami sudah menikah secara resmi, Pram. Jadi mulai sekarang hormati Imel sebagai istriku, ya.”Pram sama sekali tidak peduli, mencoba mengabaikan apa pun yang Arya ucapkan. Jika pun ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, b
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu