All Chapters of Dibalik Seragam dan Surat Nikah: Chapter 1 - Chapter 10

23 Chapters

Hari Pertama Bertemu

"Alya! Fokus dong, sebentar lagi kita mau pentas!" seru Seira sambil tersenyum lebar, matanya berkilat penuh semangat. Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali memetik senar gitar, mencoba menemukan melodi yang pas untuk lagu kami. Ruang musik yang sudah akrab dengan kehadiran kami dipenuhi oleh gema suara instrumen, tempat di mana tawa, obrolan serius, dan musik selalu menyatu. Seira berdiri di depan mikrofon, sementara Dino sibuk memukul snare drumnya, pemanasan sebelum latihan dimulai. Di pojokan, Rakha duduk dengan tenang, jari-jarinya gesit di atas senar bass, ekspresinya selalu fokus, meski tak pernah menunjukkan emosi berlebih. "Serius, Alya. Pentas kali ini harus keren! Ini kesempatan besar buat kita.", tambah Seira, kini dengan nada yang lebih mendesak. Aku tersenyum tipis, mengangguk. "Iya, iya. aku cuma merasa perlu menambah sesuatu di intro tadi biar lebih terasa feel-nya." Rakha yang biasanya pendiam, tiba-tiba menimpali, "Sesuatu yang beda, tapi nggak perlu ribet. Ka
last updateLast Updated : 2024-09-21
Read more

Harmoni dalam Kekacauan

Saat aku berdiri di luar kelas, pikiranku penuh dengan rasa frustrasi dan bersalah. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara guru baru yang tegas itu, melanjutkan pelajaran seperti tak peduli dengan keberadaanku di luar. Tatapannya yang tadi dingin seolah masih terasa, seperti dia puas karena berhasil 'mengusir' ku. Aku menunduk, bermain dengan ujung seragamku, merenung, "Kenapa aku harus terlambat di hari pertama dia mengajar?" Tentu saja, dengan gaya khasku, aku selalu berhasil menciptakan kesan pertama yang... unik. Tiba-tiba, pintu kelas terbuka perlahan, membuatku hampir terkejut. Dino, teman sekelasku yang selalu santai—bahkan mungkin terlalu santai—muncul dengan senyum lemah, seolah dipaksakan. "Aku temani kamu di sini, Al.", ucapnya ringan, meski aku tahu dia sedang menahan tawa. "Aku lupa bawa buku kimia." Aku menatapnya, setengah tidak percaya. "Serius? Jadi kamu lebih memilih berdiri di luar daripada kembali mengambil buku?" Dino mengangkat bahu, seolah keputusan i
last updateLast Updated : 2024-09-21
Read more

Melodi Kesedihan

Aku mengetuk pintu rumah dengan cemas, berharap apa pun yang ingin dibicarakan Ibu tidak seburuk yang aku bayangkan. "Aku pulang!" seruku, suaraku sedikit bergetar. Saat pintu terbuka, aku melihat Ibu sudah duduk di sofa depan televisi, wajahnya terlihat serius meski TV menyala dengan volume rendah. Hawa tegang menyelimuti ruang tamu, membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku melangkah mendekat, mencoba tersenyum meski hati ini penuh tanya. "Ada apa, Bu? Kenapa mendadak sekali?" Ibu menoleh pelan dan menatapku sejenak sebelum menghela napas. "Sebelum ibu menceritakannya, kamu ganti baju dulu," katanya dengan nada tenang tapi tegas. Aku mengangguk, meski rasa penasaran makin menggelayut. Dengan langkah cepat, aku menuju kamar, berganti pakaian, dan mencoba menenangkan diri. Pikiran-pikiran acak terus berputar di kepala. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ibu terlihat begitu serius? Setelah berganti baju, aku kembali ke ruang tamu, duduk di sebelah Ibu yang kini mematikan televis
last updateLast Updated : 2024-09-22
Read more

Ritme Perjodohan

Hari yang ditunggu pun tiba. Aku berdiri di depan cermin, mengamati diriku dalam gaun putih kebiruan yang melengkung indah di tubuhku. Gaun itu menambah kilau pada mataku yang cerah. Rambutku disanggul rapi, dengan sedikit aksesori, membuatku merasa seperti karakter dalam dongeng. Namun, di balik kecantikan itu, ada ketegangan yang menyelimuti hatiku. Dapatkah aku menjalani hari ini tanpa memikirkan semua yang terjadi? Janji yang membebani, harapan yang terasa berat. Dengan napas dalam-dalam, aku berusaha mengusir keraguan. Hari ini harus sempurna, meskipun di dalam diriku berperang perasaan yang saling bertentangan. "Alya, kamu sudah siap?" tanya Ibu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. "Ya, Bu," jawabku, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatiku berdebar. Hari ini adalah hari untuk bertemu dengan keluarga konglomerat, keluarga yang terikat dengan janji yang dibuat kakekku. Ibu melangkah masuk, menatapku dengan penuh kasih. "Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu, matanya
last updateLast Updated : 2024-09-22
Read more

Perjodohan yang Tak Diinginkan

Tante Mery melangkah anggun menuju Revan, dan mengajaknya duduk di sofa dengan gaya yang sangat percaya diri. Saat mata Revan menangkap sosokku, ekspresinya seketika berubah, seakan dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini. "Oh, dia muridku!” sepertinya dia ingin berteriak, sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangan, seakan-akan aku adalah hantu dari masa lalu. Jelas sekali, dia berpura-pura tidak mengenalku, seperti aku hanya sekadar ornamen tak diinginkan di ruang tamu, barangkali satu-satunya barang yang tidak pernah diharapkan muncul dalam acara ini. Aku ingin tertawa, tetapi rasanya lebih baik menjaga wajahku tetap serius, mengingat aku sedang berada di rumah orang. Aku menatapnya dengan tajam, sementara dia membalas dengan senyuman sinis yang seolah mengejekku, seperti dia baru saja menangkapku dalam permainan yang tidak aku ketahui aturannya. "Alya, ini Revan Permana, cucu kakek," kata Kakek Robert dengan nada bangga. "Revan, ini Alya, yang akan menjadi istrimu na
last updateLast Updated : 2024-09-25
Read more

Kimia yang Mengguncang Hati

Aku berada di kantin, terasing di tengah hiruk-pikuk teman-teman yang berebut makanan. Suara tawa dan obrolan mereka teredam bagai gemuruh ombak yang jauh, sementara aku memilih duduk diam, wajah tertunduk di atas meja. Mataku tertuju pada kalender di ponsel, jari-jariku menggeser layar hingga angka tujuh muncul di layar. Tiga hari lagi aku akan menikah dengan Revan. Permintaan kakek Robert agar kami menikah secepatnya kembali terngiang di kepalaku. "Alya, aku ingin melihat cucu kesayanganku menikah sebelum aku pergi.", katanya dengan nada penuh harap. Perasaan tak menentu menyelimuti pikiranku. Dalam tiga hari, aku akan terikat dalam sebuah janji, tapi bukan janji yang kuinginkan. Kepingan-kepingan ketidakpastian mengisi dadaku, seolah ada beban berat yang membuatku sulit bernafas. Semua ini terasa seperti badai yang akan datang, siap menghancurkan segala harapan yang kuimpikan. Suara sendok dan garpu berdenting membuatku tersadar dari lamunan. Teman-temanku sibuk menyiapkan maka
last updateLast Updated : 2024-10-01
Read more

Harga Sebuah Janji

Aku berjalan tanpa semangat, hari ini benar-benar buruk. Sepanjang pelajaran, aku merasakan tatapan Revan yang tajam, seolah mencari celah untuk mengejekku. Setiap kali aku melirik ke arahnya, dia sudah menatapku lebih dulu, senyumannya membuatku semakin kesal. "Bagaimana bisa cowok sekejam itu akan menjadi suamiku nanti?" Ucapku dalam hati, sambil memukul lembut kepalaku. "Tenanglah! Kamu kan biasanya malu-maluin, kenapa kali ini kamu begitu frustrasi?" ucap Seira, setengah meledek sambil memakan es krim di tangannya, menikmati momen ini tanpa beban. "Ini semua salahmu, Seira!" Aku mendengus kesal, memikirkan betapa kacau hari ini. "Kenapa nyalahin aku?" tanyanya polos, mengangkat sebelah alis. "Karena kamu nggak ngasih tahu aku tentang ujian kimia!" Aku berusaha menjambak rambutnya dengan kesal, tapi dia segera mengelak sambil tertawa kecil. "Aku kira kamu udah tahu," katanya dengan nada tak bersalah. "Ayo ngaku sekarang, cowok mana yang bikin kamu jadi kayak gini?" "Aku bilan
last updateLast Updated : 2024-10-02
Read more

Kehidupan Setelah Menikah (1)

"Alya, kamu cantik sekali tadi, Nak. Ibu sangat bangga padamu," ucap Ibu sambil melepas hiasan yang ada di kepalaku dengan hati-hati. Aku berada di rumah keluarga Revan, kamar yang luas ini bahkan tidak bisa menghentikan kekalutan dihatiku. Aku hanya tersenyum kecil. Rasanya masih seperti mimpi. Aku sudah menikah, tapi aku tahu di luar kamar ini, suamiku—Revan—mungkin sama tidak senangnya dengan pernikahan ini. "Ibu yakin semuanya akan baik-baik saja dan kamu akan terbiasa menjalani kehidupan ini." lanjut Ibu sambil memegang tanganku. Aku mengangguk, meski hatiku berkata lain. "Semoga saja, Bu." Mendadak, pintu kamar terbuka, dan Revan muncul dari balik pintu. Wajahnya terlihat sedikit terkejut melihat kami masih di sini. "Oh, Nak Revan," sapa Ibu dengan ramah. "Maaf, Tante. Saya kira tidak ada orang di sini," ucap Revan sambil melirik sekilas ke arahku, lalu kembali menatap Ibu. "Tidak apa-apa, masuklah," kata ibuku dengan ramah, mencoba menciptakan suasana yang lebih nyaman.
last updateLast Updated : 2024-10-03
Read more

Kehidupan Setelah Menikah (2)

Aku memijat kakiku yang pegal karena di hukum berdiri tadi, merasakan sakitnya setiap kali jari-jari ini menekan area yang tegang. Dengan langkah pelan, aku menuju ke lapangan sekolah. Begitu aku melangkah ke lapangan sekolah, suasana semangat langsung menyambutku. Teman-temanku tampak energik, sibuk menghias stan dengan tawa dan canda. Suara mereka melambung tinggi, menciptakan melodi ceria yang menambah kehangatan di udara, sementara dekorasi berwarna-warni menggantung dengan anggun, seolah-olah siap menari menyambut hari yang ditunggu-tunggu. "Alya, cepat sini!" Seira berteriak, melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Senyum lebar di wajahnya membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak bergegas menghampiri. Aku bergegas mendekat, mencoba mengabaikan rasa pegal di kaki. "Kita butuh bantuanmu untuk menghias backdrop! Ayo, kita buat yang terbaik untuk pentas seni besok!", ucapnya. Di belakang stan, tumpukan kain berwarna cerah tergeletak, dan beberapa teman sudah mulai menggan
last updateLast Updated : 2024-10-04
Read more

Pentas Seni

Pagi hari di sekolah, suasana terasa sangat berbeda. Perasaan senang dan bersemangat menguasai diriku sejak aku melangkahkan kaki di gerbang sekolah. Ini adalah hari yang sudah lama kutunggu-tunggu. Aku, Seira, Rakha, dan Dino akan tampil membawakan lagu yang aku ciptakan, sebuah karya yang telah kami latih dengan penuh dedikasi selama berminggu-minggu. Langit cerah dan angin sepoi-sepoi menambah kesegaran pagi itu. Di sekitar sekolah, orang-orang sudah mulai berdatangan. Tidak hanya siswa dari sekolahku, tapi juga dari sekolah-sekolah lain. Ada yang datang untuk menonton teman-teman mereka tampil, ada juga yang penasaran dengan acara tahunan ini. Lapangan sekolah yang biasanya lengang di pagi hari, kini sudah dipenuhi tenda-tenda dan panggung utama yang berdiri megah di tengah-tengah. Suara-suara ceria, tawa, dan obrolan ramai menyatu menjadi satu harmoni yang khas pada hari seperti ini. Aku bisa melihat wajah-wajah penuh antusias, bahkan beberapa orang sudah mulai mencari tempat du
last updateLast Updated : 2024-10-04
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status