Pagi di rumah keluarga Dimas berjalan dengan ritme yang biasa. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyinari ruang tamu yang telah diisi dengan aroma teh hangat dan roti panggang. Wulan, dengan senyum tipis di wajahnya, sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk semua orang. Ibu mertuanya, Bu Ratna, duduk di meja makan, menatap Wulan dengan pandangan yang sulit diartikan."Roti panggangnya sudah matang, Bu," ujar Wulan sambil meletakkan piring berisi roti di meja."Terima kasih, Wulan," jawab Bu Ratna dengan nada datar. Meski kata-katanya terdengar sopan, Wulan dapat merasakan jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Ketegangan ini hampir tak terlihat, namun cukup terasa bagi Wulan, yang sudah terbiasa mengamati perilaku keluarganya. Ana, yang baru saja turun dari lantai atas, duduk di meja dengan langkah ringan. “Pagi, semua,” sapanya dengan ceria. “Pagi, Ana. Mau kopi?” tanya Wulan deng
Baca selengkapnya