Aku tertegun saat melihat siapa yang mengetuk pintu rumah Ibu. Kak Dirfan berdiri di sana, menyapaku dengan senyum yang tak pernah berubah.Aku segera mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk memerhatikan hal lain. Tatapanku tertuju pada kontainer plastik besar yang tergeletak di dekat kaki Kak Dirfan. "Apa itu?" pikirku."Ayo, sini masuk, Dirfan," kata Ibu sambil menuntunnya ke dalam.Kak Dirfan menyeret kontainer itu masuk, meskipun tampak kesusahan. Aku hanya diam, enggan menunjukkan simpati apa pun.Rasa tidak nyaman menguasaiku. Lebih baik aku pulang saja."Bu, kita bicara lain kali saja. Aku pamit dulu," ucapku sambil berbalik hendak keluar, tetapi Ibu mencengkeram lenganku, menghentikan langkahku."Zoya, diam dulu di sini. Temani Dirfan," katanya dengan nada yang lebih mirip perintah daripada permintaan."Tapi, Bu, aku—""Kamu mau Ibu maafkan atau tidak?" potong Ibu yang sukses membuatku terdiam."Tentu, Bu. Aku ingin Ibu memaafkanku," jawabku pelan."Kalau begitu, temani Dir
Baca selengkapnya