All Chapters of Suami Tukang Parkirku Ternyata Tajir Melintir: Chapter 61 - Chapter 67

67 Chapters

Penawar Luka di Tengah Duka

Dengan langkah pelan, aku berjalan ke arah jendela. Aku menutup mata sejenak, membiarkan kesunyian meresap dalam pikiranku."Ayo, kita lanjutkan hidup, Zoya," bisikku dalam hati, berusaha menyemangati diri sendiri.Belum lama aku berdiri di sana, tiba-tiba ada sentuhan lembut di tanganku. Refleks aku membuka mata dan menoleh. Abiyan berdiri di sampingku dengan ekspresi khawatir yang terpancar dari wajah mungilnya. Sontak, aku menyunggingkan senyum, berusaha terlihat baik-baik saja di depannya."Mama baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan nada polos yang begitu menenangkan. Suaranya seakan menjadi pengingat bahwa aku tidak sendirian."Iya, Abiyan," jawabku pelan, meski jauh di dalam hati aku tahu jawabanku adalah sebuah kebohongan. Namun, aku tak ingin membuatnya khawatir.Abiyan lalu menarik tanganku, membimbingku ke ranjang berukuran king yang ada di kamar hotel. Dia menyuruhku duduk di tepi ranjang, dan tanpa ragu, dia memelukku erat. Rangkulan tangan kecilnya seakan menghangatkan
Read more

Selamat Datang!

Mobil perlahan melaju keluar dari kota yang penuh kenangan ini. Aku memandang keluar jendela, mencoba meresapi setiap sudut yang mungkin tak akan kulihat lagi. Kota tempat aku lahir dan tumbuh, kini kutinggalkan bersama segala ingatan dan cerita yang terukir di dalamnya.Ini adalah perjalanan menuju awal yang baru, sebuah hidup yang entah akan seperti apa nanti.Di depan, pak sopir fokus mengendalikan mobil, sementara Alvin duduk di sampingnya dengan santai. Di kursi tengah, aku bersama Mas Dewangga, dan Abiyan, sedangkan bagasi dan kursi belakang penuh dengan barang-barang bawaan.Sebenarnya di tengah perjalanan ini, hatiku diliputi kecemasan. Bukan soal meninggalkan kota ini, tetapi karena perasaan gugup yang tak terbendung membayangkan pertemuan dengan mertuaku nanti. Entah mengapa, bayangan itu membuatku ingin menciut. Apa yang harus aku katakan nanti?Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Namun, tentu saja, suamiku menyadari keresahan yang tak bisa kusamarkan."Kamu k
Read more

Cerita Baru yang Dimulai

Dengan dorongan kecil itu, Abiyan yang tadinya hanya diam pun langsung mendekat ke neneknya, meskipun masih tersipu. Ibu tertawa kecil dan dengan lembut membelai rambut Abiyan."Wah, Nenek senang sekali bisa bertemu Abiyan. Di sini, kamu bisa main sepuasnya." Kemudian Ibu menggendong Abiyan dengan penuh kasih sayang, membuat hatiku tersentuh melihat kehangatan yang terpancar.Ayah pun tak mau kalah, beliau juga bergantian menggendong Abiyan. Aku bisa melihat anakku hanya tersipu malu di gendongan nenek dan kakeknya, meski bibirnya mengulum senyum kecil.Aku terhanyut dalam momen itu hingga tersentak saat Mas Dewangga merangkul pundakku."Bagaimana kalau kita masuk? Aku merindukan kamarku, Bu," katanya, nadanya setengah manja. Aku bisa melihat wajah memelas suamiku saat mengatakannya."Astaga, Ibu terlalu asyik dengan cucu sampai melupakan bahwa kalian pasti lelah. Ayo, masuk," ajak Ibu sembari melambaikan tangan dan berbalik melangkah ke dalam.Ayah pun ikut berbalik, masih menggendon
Read more

Kehangatan dalam Balutan Kemewahan

Saat aku, Abiyan, dan Mas Dewangga sudah rapi berpakaian, kami bertiga keluar dari kamar menuju ruang makan. Abiyan terlihat bersemangat, matanya berbinar-binar seperti hendak bertualang di tempat baru. Mas Dewangga menggandeng tanganku dengan erat, sementara Abiyan berlari kecil di depan kami, sesekali menoleh untuk memastikan kami mengikutinya.Sesampainya di ruang makan, aku terpana melihat meja panjang yang sudah tertata rapi dengan piring, gelas kristal, dan serbet putih berlipat anggun. Namun, belum ada makanan yang tersaji di atasnya."Zoya, duduklah," ucap Mas Dewangga sambil menarik kursi untukku. Dia pun menyuruh Abiyan duduk di kursi sebelahku, lalu mengambil tempat di sampingku hingga aku berada di tengah-tengah mereka.Kami mengobrol ringan untuk mengisi waktu, mendengarkan celoteh Abiyan yang menceritakan betapa empuknya tempat tidur tadi. Tawanya yang polos membuat suasana menjadi hangat.Tak lama kemudian, suara langkah lembut mendekat. Aku menoleh dan melihat Ibu da
Read more

Pagi yang Baru

Pagi itu, aku terbangun. Langit di luar masih remang-remang, cahaya matahari belum sepenuhnya menguasai ruangan. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Dengan perlahan aku mendudukkan diri, merasa bingung harus melakukan apa.Suara lembut Mas Dewangga terdengar di sampingku, membuatku sedikit tersentak. "Kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Mas Dewangga dengan nada serak khas orang yang baru saja bangun tidur.Aku langsung menoleh. "Kamu terbangun, Mas? Maafkan aku."Suamiku tersenyum tipis, lalu mengusap wajahnya sebelum duduk di sampingku. "Kenapa bangun sepagi ini?"Aku menghela napas pelan, mencoba menjelaskan. "Biasanya jam segini aku sudah mulai menyiapkan sarapan atau bersih-bersih di rumah. Rasanya aneh kalau hanya duduk diam saja."Mas Dewangga terkekeh mendengar jawabanku. "Sayang, sudah ada pelayan yang akan melakukannya. Jadi kamu tidak perlu repot-repot seperti dulu. Sekarang kembali tidur saja, ya.""Aku tidak mengantuk, Mas," kataku lirih, meski tetap membiarkan Mas Dewangga
Read more

Tamu Istimewa Pagi Ini

Setelah kami bertiga siap, kami segera turun ke ruang makan. Di sana, Ayah dan Ibu sudah lebih dulu datang. Begitu melihat kedatangan kami, Ibu berdiri dengan senyum lebar, lalu berjongkok sambil merentangkan tangannya."Cucu kesayangan nenek, sini peluk nenek dulu," serunya dengan nada penuh kehangatan.Abiyan langsung berlari kecil dan memeluk neneknya dengan antusias. Ayah yang duduk di samping ibu tampak tidak mau kalah. Dia ikut berjongkok dan mengulurkan tangannya sambil berkata, "Apa nenek saja yang kamu peluk? Kakek tidak, hm?"Abiyan tertawa kecil lalu berpaling ke arah Ayah, melingkarkan tangannya ke tubuh kakeknya juga. Melihat pemandangan itu, aku tak bisa menahan senyum. Setelahnya, Ayah memberi isyarat kepada pelayan untuk mulai menghidangkan makanan. Aku dan Mas Dewangga duduk bersebelahan, sementara Abiyan sudah mengisi tempat di antara kakek dan neneknya.Tak butuh waktu lama, makanan mulai dihidangkan di atas meja. Aku tertegun melihat menu yang disajikan. Croissan
Read more

Sekolah Baru Abiyan

Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk utama. Sopir kami segera turun dan membuka pintu dengan sigap.Dia memberikan sedikit anggukan hormat kepada Mas Dewangga sebelum berkata, "Silakan, Pak."Aku melirik sekilas ke arah pintu utama bangunan megah itu, terpana oleh kemegahannya.Seorang pria berseragam rapi yang sepertinya sudah menunggu kehadiran kami segera memberi salam kepada Mas Dewangga.Aku sempat melirik logo kecil di dada seragam pria itu yang berbentuk seperti buku terbuka. Namun, pandanganku segera teralih ke tulisan besar yang terpampang di atas bangunan megah itu: Elite School.Hatiku seketika berdebar. Aku mengenali nama itu, meski sebelumnya hanya dari cerita-cerita dan berita. Tempat ini adalah salah satu sekolah terbaik dan termahal di kota ini."Ayo," ajak Mas Dewangga, memotong lamunanku.Aku mengikuti langkahnya dengan hati yang makin berdebar. "Apakah Abiyan akan di sekolahkan di sini?" batinku menerka-nerka.Kami pun melangkah masuk ke dalam bangunan megah i
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status