Semua Bab Malam Pertama dengan Janda Anak 2: Bab 111 - Bab 120

213 Bab

111. Memulai dari Awal Lagi

"Halo, Dhu, lo udah sampe Bandung?""Iya, udah. Kenapa, Kim?""Lo sekarang di mana?" "Di apartemen. Kenapa?""Ada nyokap lo nginep di rumah kakek yang di Margahayu. Lo bilang gak, kalau udah pulang ke Indo?""Nggak, nanti aja. Gue gak mau bertemu mama kalau yang diperdebatkan masalah Aini terus. Tapi dalam beberapa hari ini, gue bakalan balik ke Jakarta.""Oh, gitu, iya, gimana juga Mami Maria, ibu yang udah lahirin lo, Dhu. Lo jangan makin membangkang. Pendekatan lo sama mami harus benar-benar lembut biar lo bisa diterima kalau kembali sama Aini.""Gue juga mikirnya gitu, cuma untuk sekarang belom ada niat. Tiga harian lagi mungkin dan kayaknya gue mau menetap di sini saja. Gue mau kerja di sini sambil liat-liatin Aini dari jauh.""Lo gak mau balik ke perusahaan?""Nggak untuk sekarang. Lo bantu urus dulu dah. Katanya Fani mau balik dari Kanada. Lo gak jemput?""Nggak, besok mama yang jemput Fani. Lagian adek gue itu mandiri. Ketemu gue yang ada ribut mulu." "Lu enak ada sodara bia
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-14
Baca selengkapnya

112. Istri Muda

"Nenek, Bapak sakit ya? Kapan Bapak sembuh?" tanya Aris pada neneknya; ibu dari Anton. Wanita itu dan suaminya tinggal di rumah yang pernah dikontrak Aini untuk sementara waktu, sampai Anton benar-benar pulih. Lagian, Aris adalah cucu lelaki pertama mereka, sedangkan adik dari Anton anaknya perempuan tiga orang. "Doakan bapak lekas sembuh ya. Aris tinggal sama nenek dan mbah kung dulu sampai bapak sembuh." Aris mengangguk paham. Anak kecil itu kembali menyeruput susu kotak yang baru dibelikan neneknya. "Ibu ke mana?" tanya Aris lagi. Bu Ami dan suaminya saling pandang. "Ibu lagi pergi, gak tahu ke mana. Kata ibu, Aris sama Mbahkung dan nenek saja dulu.""Iya, makasih ya Nek. Alis mau sama nenek saja. Kalau sama ibu nanti Alis dimalahin. Sama gak dimasakin. Alis juga gak papa kalau di kampung.""Tapi nanti bapak gak ada temennya kalau Aris ikut Nenek di kampung.""Ya sudah, di sini saja sama bapak deh." Aris pun berjalan masuk ke kamar untuk mengambil mainan. Bu Ami menghela napas.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-16
Baca selengkapnya

113. Kehadiran Amel

Amel mendengar suara di luar yang memanggilnya, langsung membuka pintu. Ia baru saja mengganti pakaian, menjadi lebih santai. Setelan piyama bergaris berwarna marun. "Ada apa, Pak?" tanya Amel. "Di depan Ada tamu, Bapak minta tolong, apapun yang Bapak dan ibu katakan, Nak Amel cukup jawab iya. Apapun itu, jawab iya!" Amel mengangguk kaku. "Ayo, Nak, orangnya ada di depan!" Amel pun mengikuti langkah pak Mul. Menyadari kedatangan Amel, bu Ami langsung tersenyum dan menyambut Amel dengan pelukan, tapi tidak dengan wajah kaku Luna. Kakinya bahkan tidak bisa digerakkan karena sebuah kejutan yang tidak disangka-sangka. "Oh, iya, Nak Amel, kenalkan ini Luna. Luna, ini Amel, istri kedua Anton. Ya, kan, Amel?" Amel menatap suami istri itu bergantian, lalu mengangguk. "Bohong, gak mungkin Anton nikah lagi. Dia sibuk mulung sampah di sini. Pasti gak ada wanita yang mau nikah sama dia, kecuali aku!" "Mungkin saja karena poligami diperbolehkan. Ada masalah?" Pak Mul tersenyum dari balik tu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-16
Baca selengkapnya

114. Butuh Kerjaan

Aini sebenarnya malas pergi ke restoran karena ia ingin menghindari Alex, tetapi karena salah satu karyawan kepercayaaannya resign tiba-tiba, tentu saja di restoran tidak punya pasukan lain. Hingga ia pun harus turun tangan. Anak-anak masih menginap di rumah bu Asma. Wanita itu yang meminta karena ia rindu cucunya. Anak-anak pun sudah terbiasa dengan bu Asma dan Alex, serta beberapa orang keluarga Alex lainnya. Pagi ini, Aini makan tanpa semangat karena rumah sepi tanpa anak-anak. "Makanannya gak dihabiskan, Bu?" tanya bibik. "Nggak, Bi, lagi gak selera makan. Saya mau ke restoran ya.""Baik, Bu. Anak-anak hari ini pulang dari rumah omanya?" tanya bibik lagi. "Saya belum tahu, mungkin saja. Tapi pulang sekolah. Saya juga udah kabari jemputan sekolah untuk tidak perlu menjemput Izzam dan Intan. Ya sudah, saya naik ya, Bik. Mau siap-siap dulu." Aini pun naik ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tadi subuh ia sudah mandi dan sempat berolahraga sebentar sebelum mandi. Begitu tiba di
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-17
Baca selengkapnya

115. Staf Tampan Restoran

Dhuha mengusap wajahnya yang tampak lelah. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, namun pikirannya tak kunjung tenang. Sudah seminggu ini ia berusaha membujuk Aini, istrinya, untuk menerima permintaannya. Ia ingin bekerja di restoran milik Aini, namun istrinya selalu menolak dengan alasan yang sama: “Aku tidak ingin dekat denganmu, Mas, kita sudah berpisah, Mas."Dhuha menarik napas panjang. Ia tahu Aini tidak bermaksud buruk. Restoran yang dirintis Aini sejak empat tahun lalu itu telah menjadi kebanggaannya sebagai seorang wanita dan juga ibuSebagai seorang istri, Aini tidak hanya sukses mengelola restoran, tetapi juga mampu menjaga keharmonisan rumah tangga, meskipun tanpa hadirnya suami. Namun, Dhuha merasa perlu pendekatan lagi dengan Aini agar hubungan mereka kembali baik, meskipun semua berproses. “Aku tidak ingin hanya menjadi penonton saja, ” gumam Dhuha lirih sambil menatap kerja Aini. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki Aini terdengar. Wanita itu muncul denga
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-18
Baca selengkapnya

116. Dhuha dan Alex Bertengkar

Langit sore menguning ketika Alex melangkah keluar dari mobilnya di depan sebuah restoran cukup besar bernama Cahaya Senja. Seminggu yang lalu ia berada di Malang dan belum sempat berkunjung ke restoran Aini. Masalah mereka harus segera diluruskan. Alex menarik napas dalam, mencoba meredam kekesalannya. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang Aini dan keputusan yang tak kunjung mereka buat. Kesalahan yang lalu membuat Aini benar-benar menjauh darinya. Bahkan menjawab telepon pun hanya sederhana saja. "Apa dia masih mencintainya?" gumam Alex pelan, suara hatinya dipenuhi keraguan.Ia mendorong pintu restoran, dan aroma masakan rumah yang hangat menyambutnya. Restoran itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan. Di meja kasir, seorang perempuan berkerudung sedang tersenyum ramah melayani pelanggan. Aini.Aini menoleh dan melihat Alex. "Alex? Kamu ke sini? Tumben banget," sapanya lembut, tetapi tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ada senyum
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-18
Baca selengkapnya

117. Pengakuan Alex

"Alex, apa masalahmu dengan Aini sudah selesai?" tanya Bu Asma sambil menata gelas teh di meja. Sorot matanya tajam namun penuh kasih, khas seorang ibu yang tak ingin melihat anaknya dirundung masalah. Sudah terlampau lama Alex dan Aini mengulur waktu. Seharusnya, kemarin putranya dan Aini menikah. Alex menghela napas panjang. Ia menatap ibunya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke jendela, di mana hujan rintik-rintik mulai membasahi kaca. "Belum, Ma," jawabnya pelan."Belum? Kamu sudah mendekati Aini? Kamu sudah membujuknya? Kamu sudah minta maaf padanya?! cecar bu Asma dengan satu kali tarikan napas. Nada suara Bu Asma meninggi, meski ia berusaha menahan emosinya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kamu tidak pernah cerita ada masalah apa sebenarnya kamu dengan Aini?"Alex terdiam, rahangnya mengeras. Ia memainkan cincin pertunangan yang melingkar di jarinya. "Pernikahan kami mungkin saja batal." Suara itu sangat pelan, terdengar seperti berbisik. Kata-kata itu jatuh seperti palu me
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-18
Baca selengkapnya

118. Aini Diusir

Aini duduk di samping tempat tidur bu Asma yang baru saja melewati masa kritis di rumah sakit. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi monitor medis dan sesekali napas berat wanita paruh baya itu. Wajah wanita berusia lima puluh sembilan tahun terlihat sedikit lebih segar, namun matanya tetap menyiratkan kelelahan. Ia memandang Aini dengan penuh kasih, merasa yakin bahwa Aini adalah calon menantu yang tepat untuk Alex."Aini," suaranya serak, tetapi penuh harapan. "Kamu tahu kan, aku ingin kamu dan Alex segera menikah. Aku ingin melihat kalian bahagia."Aini menggenggam tangan bu Asma berusaha menyampaikan kabar yang menggantung di hatinya selama ini. Ia telah menunda-nunda, berharap ada waktu yang lebih tepat. Namun, saat ini, ia tahu bahwa ia tak bisa menunggu lagi."Ma." Aini memulai dengan hati-hati. "Saya sangat menyayangi Mama seperti mama saya sendiri. Sudah banyak hal baik yang Mama lakukan untuk saya dan anak-anak, saya gak akan bisa membalasnya." Bu Asma semakin erat mengge
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-19
Baca selengkapnya

119. Diam-diam Rujuk

Maria berdiri di balkon kamarnya sambil menatap lalu-lalang kendaraan bermotor yang tidak terlalu banyak. Di ujung sebelah kanan, nampak bukit-bukit kecil yang terlihat samar karena tertutup kabut. Sebuah ponsel tergeletak di meja di depannya, layar menyala menunjukkan panggilan yang tak berjawab lagi. Ia menghela napas panjang, menggigit bibirnya untuk menahan rasa kecewa.“Dhuha, angkatlah sekali saja, Nak,” gumamnya pelan, seolah berharap anaknya itu bisa mendengar.Sudah tiga hari ini Maria mencoba kembali menelepon Dhuha, anak semata wayangnya yang sudah tidak pernah menerima telepon darinya. Terkadang nomornya diblokir, kadang tidak. Terdengar langkah mendekat. Viona, adik iparnya, muncul dari dalam kamar membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tampak ceria seperti biasa, tapi Maria tahu, Viona selalu memperhatikannya dengan mata yang penuh pengertian.“Masih belum diangkat?” tanya Viona sambil meletakkan kopi di meja.Maria menggeleng pelan. “Dhuha seperti melupakan bahwa aku adal
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-19
Baca selengkapnya

120. Kesalahan Dhuha

Dhuha membalikkan badan untuk menutup pintu mobil, sebuah suara yang sangat dikenalnya membuat langkahnya terhenti."Dhuha?"Ia membeku. Suara itu—lembut tapi penuh kekuatan—adalah suara yang telah lama ia rindukan sekaligus hindari. Dengan perlahan, Dhuha berbalik dan melihat wanita yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu mengenakan baju sederhana berwarna biru, rambutnya tersisir rapi, tapi mata itu… mata yang penuh dengan air mata.“Mama?”Maria, ibunya, berdiri kaku di tempatnya. Matanya merah, bibirnya bergetar, dan air mata perlahan mengalir di pipinya. Langkah Maria cepat menghampiri putranya. "Kamu pulang ke Indonesia... dan tidak bilang sama Mama?"Dhuha tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya terasa kelu. “Ma, aku…”“Kamu bahkan tidak datang ke rumah! Kamu langsung ke sini, ke restoran ini?” Nada suara Maria meninggi, membuat beberapa orang di parkiran melirik mereka.“Ma, aku baru sampai. Aku mau…”Maria melangkah maju dengan amarah yang jelas terlihat di wajahnya. “Kamu b
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-20
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1011121314
...
22
DMCA.com Protection Status