"Alex, apa masalahmu dengan Aini sudah selesai?" tanya Bu Asma sambil menata gelas teh di meja. Sorot matanya tajam namun penuh kasih, khas seorang ibu yang tak ingin melihat anaknya dirundung masalah. Sudah terlampau lama Alex dan Aini mengulur waktu. Seharusnya, kemarin putranya dan Aini menikah. Alex menghela napas panjang. Ia menatap ibunya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke jendela, di mana hujan rintik-rintik mulai membasahi kaca. "Belum, Ma," jawabnya pelan."Belum? Kamu sudah mendekati Aini? Kamu sudah membujuknya? Kamu sudah minta maaf padanya?! cecar bu Asma dengan satu kali tarikan napas. Nada suara Bu Asma meninggi, meski ia berusaha menahan emosinya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kamu tidak pernah cerita ada masalah apa sebenarnya kamu dengan Aini?"Alex terdiam, rahangnya mengeras. Ia memainkan cincin pertunangan yang melingkar di jarinya. "Pernikahan kami mungkin saja batal." Suara itu sangat pelan, terdengar seperti berbisik. Kata-kata itu jatuh seperti palu me
Aini duduk di samping tempat tidur bu Asma yang baru saja melewati masa kritis di rumah sakit. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi monitor medis dan sesekali napas berat wanita paruh baya itu. Wajah wanita berusia lima puluh sembilan tahun terlihat sedikit lebih segar, namun matanya tetap menyiratkan kelelahan. Ia memandang Aini dengan penuh kasih, merasa yakin bahwa Aini adalah calon menantu yang tepat untuk Alex."Aini," suaranya serak, tetapi penuh harapan. "Kamu tahu kan, aku ingin kamu dan Alex segera menikah. Aku ingin melihat kalian bahagia."Aini menggenggam tangan bu Asma berusaha menyampaikan kabar yang menggantung di hatinya selama ini. Ia telah menunda-nunda, berharap ada waktu yang lebih tepat. Namun, saat ini, ia tahu bahwa ia tak bisa menunggu lagi."Ma." Aini memulai dengan hati-hati. "Saya sangat menyayangi Mama seperti mama saya sendiri. Sudah banyak hal baik yang Mama lakukan untuk saya dan anak-anak, saya gak akan bisa membalasnya." Bu Asma semakin erat mengge
Maria berdiri di balkon kamarnya sambil menatap lalu-lalang kendaraan bermotor yang tidak terlalu banyak. Di ujung sebelah kanan, nampak bukit-bukit kecil yang terlihat samar karena tertutup kabut. Sebuah ponsel tergeletak di meja di depannya, layar menyala menunjukkan panggilan yang tak berjawab lagi. Ia menghela napas panjang, menggigit bibirnya untuk menahan rasa kecewa.“Dhuha, angkatlah sekali saja, Nak,” gumamnya pelan, seolah berharap anaknya itu bisa mendengar.Sudah tiga hari ini Maria mencoba kembali menelepon Dhuha, anak semata wayangnya yang sudah tidak pernah menerima telepon darinya. Terkadang nomornya diblokir, kadang tidak. Terdengar langkah mendekat. Viona, adik iparnya, muncul dari dalam kamar membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tampak ceria seperti biasa, tapi Maria tahu, Viona selalu memperhatikannya dengan mata yang penuh pengertian.“Masih belum diangkat?” tanya Viona sambil meletakkan kopi di meja.Maria menggeleng pelan. “Dhuha seperti melupakan bahwa aku adal
Dhuha membalikkan badan untuk menutup pintu mobil, sebuah suara yang sangat dikenalnya membuat langkahnya terhenti."Dhuha?"Ia membeku. Suara itu—lembut tapi penuh kekuatan—adalah suara yang telah lama ia rindukan sekaligus hindari. Dengan perlahan, Dhuha berbalik dan melihat wanita yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu mengenakan baju sederhana berwarna biru, rambutnya tersisir rapi, tapi mata itu… mata yang penuh dengan air mata.“Mama?”Maria, ibunya, berdiri kaku di tempatnya. Matanya merah, bibirnya bergetar, dan air mata perlahan mengalir di pipinya. Langkah Maria cepat menghampiri putranya. "Kamu pulang ke Indonesia... dan tidak bilang sama Mama?"Dhuha tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya terasa kelu. “Ma, aku…”“Kamu bahkan tidak datang ke rumah! Kamu langsung ke sini, ke restoran ini?” Nada suara Maria meninggi, membuat beberapa orang di parkiran melirik mereka.“Ma, aku baru sampai. Aku mau…”Maria melangkah maju dengan amarah yang jelas terlihat di wajahnya. “Kamu b
"Bagaimana bisa mami Maria ke sini? Ah, itu maksudnya, pasti mamaku yang membawa mami ke restoran Aini. Mami suka kulineran. Tapi.... ck, semua jadi rumit gini ya. Terus gimana?"Dhuha mengangguk pelan, tatapannya kosong menatap gelas teh di depannya yang belum tersentuh sejak tiba di kafe ini. "Aku bahkan sempat berdebat dengan mama dan kami menjadi pusat perhatian, meskipun...” Ia menggantungkan kalimatnya, menelan kekesalan yang tertahan di tenggorokannya.“Meskipun apa?” desak Hakim.“Meskipun hasilnya tetap sama,” jawab Dhuha, suaranya lirih namun sarat frustrasi. “Dia tidak akan pernah merestui hubungan kami. Dia bahkan bilang, aku lebih baik melupakan Aini kalau ingin hidup tenang dan hidup penuh berkah dari restu orang tua."Hakim mengangkat alis. “Dan lo diam aja saat mami ngomong gitu? Lo tetap tidak bisa membela Aini di depan mami! Ini udah empat tahun Dhuha. Lo ganti aja baju pake daster! Jangan cemen lah!"“Itu bukan masalah percaya atau tidak, Hakim,” sahut Dhuha cepat,
"Aini, aku mohon, jangan terus seperti ini," suara Alex menggema lembut di restoran yang masih sepi. Meja-meja kayu yang tertata rapi, aroma kopi hangat, dan wangi rempah dari dapur tidak cukup untuk menenangkan ketegangan di udara. Pria itu duduk di depan Aini, matanya penuh harap, namun juga lelah.Di depannya aroma secangkir kopi begitu menggoda, tetapi wanita yang kini duduk di depannya mengambil semua perhatiannya. Aini menghela napas panjang, tangannya sibuk membersihkan meja meskipun meja itu sudah bersih. "Alex, berapa kali harus aku bilang? Aku tidak bisa.""Kamu bisa kalau kamu mau, Aini. Ini bukan soal kamu tidak mampu, ini soal kamu tidak mau mengambil langkah untuk kebahagiaanmu sendiri. Sudah empat tahun Aini. Awalnya kamu sudah setuju dan sempat menerima lamaranku'kan?""Sudah cukup, Mas. Masih terlalu pagi membicarakan masalah hati," balas Aini, kali ini dengan nada tegas. Ia menatap Alex, wajahnya yang cantik memancarkan kesedihan yang dalam."Aku sudah lelah dengan
Hujan gerimis menemani gerakan Aini yang tergesa. Masih pagi dan semua sedang bersiap memulai hari. Meskipun dalam keadaan cuaca hujan seperti ini, biasanya pengunjung restoran lebih sepi, tetapi tidak menyurutkan semangat Aini dan tim yang siap memanjakan lidah pelanggan."Ibu mau keluar?" tanya Rina yang sedang mengepel ruangan Aini. "Iya, saya keluar sebentar. Ada keperluan. Nanti saya balik lagi kok. Mudah-mudahan cepat selesai." Aini melirik jam di tangannya. Masih jam delapan tiga puluh pagi. Masih ada waktu dua jam lagi untuk menuntaskan rasa penasarannya. Perasaan cemas menggelayuti hati sejak Alex meninggalkan restorannya dengan wajah merah padam dan langkah penuh amarah. Dia tahu betul sifat Alex yang impulsif, dan pikirannya langsung melayang kepada satu orang: Dhuha.Aini meraih ponselnya, menekan nomor Hakim—sepupu Dhuha yang kebetulan tinggal tak jauh dari apartemen sepupunya."Ri, bisa keluar sebentar?""Oh, bisa, Bu. Udah selesai semua." Aini mengangguk. Begitu pintu
Kilatan lampu biru dan merah dari dua mobil pemadam kebakaran memantul di jalan basah yang diterpa gerimis. Di depan restoran yang kini hanya menyisakan dinding yang menghitam, Aini berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Asap tebal masih mengepul dari dalam, dan aroma hangus yang menyengat menusuk hidungnya.“Aku tidak percaya...,” gumam Aini dengan suara parau. Tatapannya kosong menatap reruntuhan mimpinya. Tapi perlahan, rasa tidak percaya itu berubah menjadi jeritan yang meledak dari dadanya.“Tidak!” teriak Aini histeris, lututnya hampir goyah. Hakim dengan sigap memegang bahunya, tapi Aini meronta. “Biarkan aku masuk! Aku harus memastikan semuanya! Kim, restoranku. Ya Allah, ya Allah!"“Mbak, tidak bisa! Itu berbahaya!” seru Hakim, mencoba menahan gerakan liar Aini.“Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?!” tangisnya semakin menjadi.Di dekat mereka, dua karyawan Aini, Rina dan Ani, menangis sambil memeluk satu sama lain. Begitu melihat Aini, keduanya berlari menghampiri, lalu
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang