Amel mendengar suara di luar yang memanggilnya, langsung membuka pintu. Ia baru saja mengganti pakaian, menjadi lebih santai. Setelan piyama bergaris berwarna marun. "Ada apa, Pak?" tanya Amel. "Di depan Ada tamu, Bapak minta tolong, apapun yang Bapak dan ibu katakan, Nak Amel cukup jawab iya. Apapun itu, jawab iya!" Amel mengangguk kaku. "Ayo, Nak, orangnya ada di depan!" Amel pun mengikuti langkah pak Mul. Menyadari kedatangan Amel, bu Ami langsung tersenyum dan menyambut Amel dengan pelukan, tapi tidak dengan wajah kaku Luna. Kakinya bahkan tidak bisa digerakkan karena sebuah kejutan yang tidak disangka-sangka. "Oh, iya, Nak Amel, kenalkan ini Luna. Luna, ini Amel, istri kedua Anton. Ya, kan, Amel?" Amel menatap suami istri itu bergantian, lalu mengangguk. "Bohong, gak mungkin Anton nikah lagi. Dia sibuk mulung sampah di sini. Pasti gak ada wanita yang mau nikah sama dia, kecuali aku!" "Mungkin saja karena poligami diperbolehkan. Ada masalah?" Pak Mul tersenyum dari balik tu
Aini sebenarnya malas pergi ke restoran karena ia ingin menghindari Alex, tetapi karena salah satu karyawan kepercayaaannya resign tiba-tiba, tentu saja di restoran tidak punya pasukan lain. Hingga ia pun harus turun tangan. Anak-anak masih menginap di rumah bu Asma. Wanita itu yang meminta karena ia rindu cucunya. Anak-anak pun sudah terbiasa dengan bu Asma dan Alex, serta beberapa orang keluarga Alex lainnya. Pagi ini, Aini makan tanpa semangat karena rumah sepi tanpa anak-anak. "Makanannya gak dihabiskan, Bu?" tanya bibik. "Nggak, Bi, lagi gak selera makan. Saya mau ke restoran ya.""Baik, Bu. Anak-anak hari ini pulang dari rumah omanya?" tanya bibik lagi. "Saya belum tahu, mungkin saja. Tapi pulang sekolah. Saya juga udah kabari jemputan sekolah untuk tidak perlu menjemput Izzam dan Intan. Ya sudah, saya naik ya, Bik. Mau siap-siap dulu." Aini pun naik ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tadi subuh ia sudah mandi dan sempat berolahraga sebentar sebelum mandi. Begitu tiba di
Dhuha mengusap wajahnya yang tampak lelah. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, namun pikirannya tak kunjung tenang. Sudah seminggu ini ia berusaha membujuk Aini, istrinya, untuk menerima permintaannya. Ia ingin bekerja di restoran milik Aini, namun istrinya selalu menolak dengan alasan yang sama: “Aku tidak ingin dekat denganmu, Mas, kita sudah berpisah, Mas."Dhuha menarik napas panjang. Ia tahu Aini tidak bermaksud buruk. Restoran yang dirintis Aini sejak empat tahun lalu itu telah menjadi kebanggaannya sebagai seorang wanita dan juga ibuSebagai seorang istri, Aini tidak hanya sukses mengelola restoran, tetapi juga mampu menjaga keharmonisan rumah tangga, meskipun tanpa hadirnya suami. Namun, Dhuha merasa perlu pendekatan lagi dengan Aini agar hubungan mereka kembali baik, meskipun semua berproses. “Aku tidak ingin hanya menjadi penonton saja, ” gumam Dhuha lirih sambil menatap kerja Aini. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki Aini terdengar. Wanita itu muncul denga
Langit sore menguning ketika Alex melangkah keluar dari mobilnya di depan sebuah restoran cukup besar bernama Cahaya Senja. Seminggu yang lalu ia berada di Malang dan belum sempat berkunjung ke restoran Aini. Masalah mereka harus segera diluruskan. Alex menarik napas dalam, mencoba meredam kekesalannya. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang Aini dan keputusan yang tak kunjung mereka buat. Kesalahan yang lalu membuat Aini benar-benar menjauh darinya. Bahkan menjawab telepon pun hanya sederhana saja. "Apa dia masih mencintainya?" gumam Alex pelan, suara hatinya dipenuhi keraguan.Ia mendorong pintu restoran, dan aroma masakan rumah yang hangat menyambutnya. Restoran itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan. Di meja kasir, seorang perempuan berkerudung sedang tersenyum ramah melayani pelanggan. Aini.Aini menoleh dan melihat Alex. "Alex? Kamu ke sini? Tumben banget," sapanya lembut, tetapi tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ada senyum
"Alex, apa masalahmu dengan Aini sudah selesai?" tanya Bu Asma sambil menata gelas teh di meja. Sorot matanya tajam namun penuh kasih, khas seorang ibu yang tak ingin melihat anaknya dirundung masalah. Sudah terlampau lama Alex dan Aini mengulur waktu. Seharusnya, kemarin putranya dan Aini menikah. Alex menghela napas panjang. Ia menatap ibunya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke jendela, di mana hujan rintik-rintik mulai membasahi kaca. "Belum, Ma," jawabnya pelan."Belum? Kamu sudah mendekati Aini? Kamu sudah membujuknya? Kamu sudah minta maaf padanya?! cecar bu Asma dengan satu kali tarikan napas. Nada suara Bu Asma meninggi, meski ia berusaha menahan emosinya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kamu tidak pernah cerita ada masalah apa sebenarnya kamu dengan Aini?"Alex terdiam, rahangnya mengeras. Ia memainkan cincin pertunangan yang melingkar di jarinya. "Pernikahan kami mungkin saja batal." Suara itu sangat pelan, terdengar seperti berbisik. Kata-kata itu jatuh seperti palu me
Aini duduk di samping tempat tidur bu Asma yang baru saja melewati masa kritis di rumah sakit. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi monitor medis dan sesekali napas berat wanita paruh baya itu. Wajah wanita berusia lima puluh sembilan tahun terlihat sedikit lebih segar, namun matanya tetap menyiratkan kelelahan. Ia memandang Aini dengan penuh kasih, merasa yakin bahwa Aini adalah calon menantu yang tepat untuk Alex."Aini," suaranya serak, tetapi penuh harapan. "Kamu tahu kan, aku ingin kamu dan Alex segera menikah. Aku ingin melihat kalian bahagia."Aini menggenggam tangan bu Asma berusaha menyampaikan kabar yang menggantung di hatinya selama ini. Ia telah menunda-nunda, berharap ada waktu yang lebih tepat. Namun, saat ini, ia tahu bahwa ia tak bisa menunggu lagi."Ma." Aini memulai dengan hati-hati. "Saya sangat menyayangi Mama seperti mama saya sendiri. Sudah banyak hal baik yang Mama lakukan untuk saya dan anak-anak, saya gak akan bisa membalasnya." Bu Asma semakin erat mengge
Maria berdiri di balkon kamarnya sambil menatap lalu-lalang kendaraan bermotor yang tidak terlalu banyak. Di ujung sebelah kanan, nampak bukit-bukit kecil yang terlihat samar karena tertutup kabut. Sebuah ponsel tergeletak di meja di depannya, layar menyala menunjukkan panggilan yang tak berjawab lagi. Ia menghela napas panjang, menggigit bibirnya untuk menahan rasa kecewa.“Dhuha, angkatlah sekali saja, Nak,” gumamnya pelan, seolah berharap anaknya itu bisa mendengar.Sudah tiga hari ini Maria mencoba kembali menelepon Dhuha, anak semata wayangnya yang sudah tidak pernah menerima telepon darinya. Terkadang nomornya diblokir, kadang tidak. Terdengar langkah mendekat. Viona, adik iparnya, muncul dari dalam kamar membawa dua cangkir kopi. Wajahnya tampak ceria seperti biasa, tapi Maria tahu, Viona selalu memperhatikannya dengan mata yang penuh pengertian.“Masih belum diangkat?” tanya Viona sambil meletakkan kopi di meja.Maria menggeleng pelan. “Dhuha seperti melupakan bahwa aku adal
Dhuha membalikkan badan untuk menutup pintu mobil, sebuah suara yang sangat dikenalnya membuat langkahnya terhenti."Dhuha?"Ia membeku. Suara itu—lembut tapi penuh kekuatan—adalah suara yang telah lama ia rindukan sekaligus hindari. Dengan perlahan, Dhuha berbalik dan melihat wanita yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu mengenakan baju sederhana berwarna biru, rambutnya tersisir rapi, tapi mata itu… mata yang penuh dengan air mata.“Mama?”Maria, ibunya, berdiri kaku di tempatnya. Matanya merah, bibirnya bergetar, dan air mata perlahan mengalir di pipinya. Langkah Maria cepat menghampiri putranya. "Kamu pulang ke Indonesia... dan tidak bilang sama Mama?"Dhuha tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya terasa kelu. “Ma, aku…”“Kamu bahkan tidak datang ke rumah! Kamu langsung ke sini, ke restoran ini?” Nada suara Maria meninggi, membuat beberapa orang di parkiran melirik mereka.“Ma, aku baru sampai. Aku mau…”Maria melangkah maju dengan amarah yang jelas terlihat di wajahnya. “Kamu b
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang
Alex menatap Zita dalam-dalam. Wanita itu terlihat tenang, tidak terpengaruh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan. Ia menghela napas panjang, merasa sedikit lega bahwa setidaknya ada seseorang yang akan menjaga anak-anaknya di rumah."Baiklah, kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu," ucap Alex sebelum melangkah pergi. Namun, sebelum ia benar-benar keluar dari kamar Izzam, ia menambahkan, "Kalau ada masalah atau sesuatu yang mencurigakan, segera beri tahu saya. Jangan sungkan untuk bertanya apapun itu tentang anak-anak dan semoga kamu pandai menempatkan diri sebagai baby sitter Intan dan Izzam."Zita mengangguk patuh. "Tentu, Pak. Pesan Bapak akan saya ingat."Alex berjalan menuju ruang kerjanya, menutup pintu, lalu melemparkan dirinya ke sofa. Pikirannya masih dipenuhi oleh pembicaraannya dengan Rio di kafe tadi. Ia mengeluarkan dokumen tes DNA yang diberikan oleh Rio, menatapnya dalam diam.Bagaimana bisa? Bagaimana Diana bisa melakukan ini? Selama ini, ia selalu berpikir bahwa
Alex mengeratkan genggaman pada ponselnya, napasnya memburu. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku sebagai kakak almarhum Erwin. Lebih dari itu, apa yang dikatakan pria bernama Rio barusan benar-benar membuatnya terpukul. Erwin sudah lama meninggal, begitu juga kakaknya dan ia sama sekali tidak tahu tentang Rio. "Dimana kita bisa bertemu?" tanya Alex cepat."Saya di kafe Sudut Senja. Saya tunggu Anda di sini," jawab Rio dengan suara datar."Izzam kembali ke kelas. Kita bicara nanti malam, setelah Papa pulang dari kantor. Tolong, jangan buat keributan lagi, paham!" Izzam mengangguk pelan. Tanpa berpikir panjang, Alex kembali masuk ke mobilnya dan melaju ke arah kafe yang disebutkan Rio. Pikirannya masih kalut. Bagaimana mungkin? Kenapa selama ini dia tidak tahu? BSaat tiba di kafe, Alex segera masuk dan melihat seorang pria yang langsung ia kenali lewat ciri-ciri yang dikirimkan sebagai Rio. Pria itu duduk di sudut ruangan dengan secangkir ko
“Alex, kamu lihat ini!” suara Asma meninggi, tangannya gemetar memegang ponselnya.Alex, yang baru saja selesai mandi dan hendak turun untuk sarapan, mengerutkan kening. “Apa, Ma?” tanyanya, sambil berjalan mendekati ibunya yang duduk di ruang tamu.Asma mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar yang menampilkan sebuah foto dari status WhatsApp temannya. Sebuah foto pernikahan. Aini, mantan istrinya, bersanding dengan pria lain di pelaminan. Namun yang membuat darah Alex mendidih adalah sosok pria itu—Dhuha.“Ini… ini nggak mungkin,” Alex meraih ponsel Asma dan menatap layar lebih lama. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. Berkali-kali ia memperbesar gambar agar bisa melihat dengan jelas dan benar saja, Aini bersanding dengan Dhuha. “Baru saja dia menerima akte cerai dan sekarang sudah menikah lagi?” suara Asma dipenuhi kejijikan. “Perempuan macam apa dia? Tak tahu malu! Mana mungkin secepat itu menikah lagi? Ini benar-benar keterlaluan! Jangan-jangan saat Aini masih istri kamu,
Hujan gerimis menyelimuti pagi yang sejuk. Rintik-rintik air turun dengan lembut, membasahi dedaunan dan jalanan di sekitar gedung pernikahan. Udara terasa segar dengan aroma tanah basah yang khas. Hari ini adalah hari yang istimewa. Hari di mana Dhuha dan Aini akhirnya kembali dipersatukan dalam ikatan suci, kali ini tidak hanya secara agama tetapi juga diakui oleh negara.Kini, mereka kembali, dengan hati yang lebih dewasa dan luka yang perlahan sembuh oleh waktu. Aini tampak anggun dalam balutan kebaya putih sederhana yang memperlihatkan kelembutan dirinya. Sementara Dhuha, dengan jas abu-abu yang pas di tubuhnya, tampak gagah namun tak bisa menyembunyikan gugupnya."Terima kasih Mama udah mau mendampingi Dhuha di sini." Maria hanya tersenyum samar. Pria itu tahu, mamanya belum sepenuhnya ikhlas, tetapi mau tidak mau, harus hadir dalam acara pernikahannya. Tamu undangan sudah mulai berdatangan. Kebanyakan dari pihak Dhuha, karena Aini hanyalah seorang anak panti yang tidak punya b