All Chapters of Malam Pertama dengan Janda Anak 2: Chapter 121 - Chapter 130

213 Chapters

121. Sebuah Ide dari Hakim

"Bagaimana bisa mami Maria ke sini? Ah, itu maksudnya, pasti mamaku yang membawa mami ke restoran Aini. Mami suka kulineran. Tapi.... ck, semua jadi rumit gini ya. Terus gimana?"Dhuha mengangguk pelan, tatapannya kosong menatap gelas teh di depannya yang belum tersentuh sejak tiba di kafe ini. "Aku bahkan sempat berdebat dengan mama dan kami menjadi pusat perhatian, meskipun...” Ia menggantungkan kalimatnya, menelan kekesalan yang tertahan di tenggorokannya.“Meskipun apa?” desak Hakim.“Meskipun hasilnya tetap sama,” jawab Dhuha, suaranya lirih namun sarat frustrasi. “Dia tidak akan pernah merestui hubungan kami. Dia bahkan bilang, aku lebih baik melupakan Aini kalau ingin hidup tenang dan hidup penuh berkah dari restu orang tua."Hakim mengangkat alis. “Dan lo diam aja saat mami ngomong gitu? Lo tetap tidak bisa membela Aini di depan mami! Ini udah empat tahun Dhuha. Lo ganti aja baju pake daster! Jangan cemen lah!"“Itu bukan masalah percaya atau tidak, Hakim,” sahut Dhuha cepat,
last updateLast Updated : 2024-11-21
Read more

122. Jangan Gantung Hubungan

"Aini, aku mohon, jangan terus seperti ini," suara Alex menggema lembut di restoran yang masih sepi. Meja-meja kayu yang tertata rapi, aroma kopi hangat, dan wangi rempah dari dapur tidak cukup untuk menenangkan ketegangan di udara. Pria itu duduk di depan Aini, matanya penuh harap, namun juga lelah.Di depannya aroma secangkir kopi begitu menggoda, tetapi wanita yang kini duduk di depannya mengambil semua perhatiannya. Aini menghela napas panjang, tangannya sibuk membersihkan meja meskipun meja itu sudah bersih. "Alex, berapa kali harus aku bilang? Aku tidak bisa.""Kamu bisa kalau kamu mau, Aini. Ini bukan soal kamu tidak mampu, ini soal kamu tidak mau mengambil langkah untuk kebahagiaanmu sendiri. Sudah empat tahun Aini. Awalnya kamu sudah setuju dan sempat menerima lamaranku'kan?""Sudah cukup, Mas. Masih terlalu pagi membicarakan masalah hati," balas Aini, kali ini dengan nada tegas. Ia menatap Alex, wajahnya yang cantik memancarkan kesedihan yang dalam."Aku sudah lelah dengan
last updateLast Updated : 2024-11-21
Read more

123. Bukan Kamu, juga Kamu

Hujan gerimis menemani gerakan Aini yang tergesa. Masih pagi dan semua sedang bersiap memulai hari. Meskipun dalam keadaan cuaca hujan seperti ini, biasanya pengunjung restoran lebih sepi, tetapi tidak menyurutkan semangat Aini dan tim yang siap memanjakan lidah pelanggan."Ibu mau keluar?" tanya Rina yang sedang mengepel ruangan Aini. "Iya, saya keluar sebentar. Ada keperluan. Nanti saya balik lagi kok. Mudah-mudahan cepat selesai." Aini melirik jam di tangannya. Masih jam delapan tiga puluh pagi. Masih ada waktu dua jam lagi untuk menuntaskan rasa penasarannya. Perasaan cemas menggelayuti hati sejak Alex meninggalkan restorannya dengan wajah merah padam dan langkah penuh amarah. Dia tahu betul sifat Alex yang impulsif, dan pikirannya langsung melayang kepada satu orang: Dhuha.Aini meraih ponselnya, menekan nomor Hakim—sepupu Dhuha yang kebetulan tinggal tak jauh dari apartemen sepupunya."Ri, bisa keluar sebentar?""Oh, bisa, Bu. Udah selesai semua." Aini mengangguk. Begitu pintu
last updateLast Updated : 2024-11-22
Read more

124. Apa Ada Orang yang Sengaja?

Kilatan lampu biru dan merah dari dua mobil pemadam kebakaran memantul di jalan basah yang diterpa gerimis. Di depan restoran yang kini hanya menyisakan dinding yang menghitam, Aini berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Asap tebal masih mengepul dari dalam, dan aroma hangus yang menyengat menusuk hidungnya.“Aku tidak percaya...,” gumam Aini dengan suara parau. Tatapannya kosong menatap reruntuhan mimpinya. Tapi perlahan, rasa tidak percaya itu berubah menjadi jeritan yang meledak dari dadanya.“Tidak!” teriak Aini histeris, lututnya hampir goyah. Hakim dengan sigap memegang bahunya, tapi Aini meronta. “Biarkan aku masuk! Aku harus memastikan semuanya! Kim, restoranku. Ya Allah, ya Allah!"“Mbak, tidak bisa! Itu berbahaya!” seru Hakim, mencoba menahan gerakan liar Aini.“Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?!” tangisnya semakin menjadi.Di dekat mereka, dua karyawan Aini, Rina dan Ani, menangis sambil memeluk satu sama lain. Begitu melihat Aini, keduanya berlari menghampiri, lalu
last updateLast Updated : 2024-11-22
Read more

125. Kamu Gak Takut Sama Saya?

Anton memandangi jalanan yang meluncur cepat dari balik kaca mobil. Hembusan angin dari AC yang menyentuh kulitnya terasa dingin, sama seperti perasaan yang masih membeku di hatinya. Ia baru saja pulang dari rumah sakit setelah beberapa minggu berjuang melawan amnesia ringan yang membuat sebagian ingatannya kabur. Hari ini, ia dijemput oleh keluarganya—ibu, bapak, dan putranya yang berumur empat tahun, Aris.Aris duduk di kursi belakang, sibuk mengaduk-aduk sekantong kecil keripik yang tadi dibelikan neneknya di rumah sakit. Bocah itu tak henti-hentinya berbicara, meskipun sebagian besar ceritanya hanya berupa ocehan polos khas anak kecil. Sesekali, Anton tersenyum samar dan mengacak rambut Aris."Bapak, itu helikoptel, ya?" tanya Aris sambil menunjuk ke langit biru di luar jendela."Helikopter atau capung, tuh?" balas Anton dengan suara yang lemah namun mencoba bercanda."Helikopteo, lah! Masa capung segede itu, Pak!" jawab Aris sambil tertawa kecil, membuat semua orang di mobil ikut
last updateLast Updated : 2024-11-23
Read more

126. Gak Mungkin Cemburu'kan?

Luna duduk di sebuah kedai kopi kecil yang ramai, menatap layar laptop yang menampilkan daftar panjang lamaran pekerjaan yang belum mendapatkan balasan. Telapak tangan yang tadinya mulus, kuku jari tangan yang mengkilap dan lentik dengan sederet perawatan, kini sudah tidak ada lagi. Kulit wajahnya pun sedikit kusam. Perawatan wajah yang dahulu masih bisa ia dapatkan dari Anton, kini sudah tidak ada lagi. Tangan itu menggenggam cangkir teh hangat yang sudah hampir dingin, sementara pikirannya melayang-layang di antara rasa frustrasi dan keputusasaan. Sudah dua bulan berlalu dari ia memutuskan pergi dari rumah suaminya dan sampai detik ini ia mencoba peruntungan untuk mendapatkan kembali pekerjaan, tetapi tidaklah mudah. Bahkan ia hampir putus asa. Ia memandangi notifikasi emailnya yang kosong, seperti mengharapkan ada keajaiban. Setiap perusahaan besar yang ia lamar seolah tak tertarik pada namanya. Ia tahu, nilai akademisnya tak buruk, bahkan cukup gemilang. Pengalaman magangnya di
last updateLast Updated : 2024-11-23
Read more

127. Suami Orang Lebih Menggoda

Amel tersenyum puas sambil melangkah keluar dari toko kue, menggandeng tangan Anton dengan erat. Di balik kaca etalase, ia sempat melirik Luna yang berdiri terpaku di belakang kasir, wajahnya pias seperti kehilangan warna.Ia tahu Luna bekerja di toko itu. Amel sengaja memilih tempat ini untuk "kebetulan" bertemu dengannya. Tak ada yang lebih memuaskan daripada menyaksikan ekspresi Luna yang penuh keterkejutan dan rasa sakit."Amel, tadi kenapa kamu tiba-tiba menggandeng tanganku?" tanya Anton saat mereka keluar dari toko, suaranya terdengar bingung namun tetap lembut.Amel melirik pria di sampingnya. Wajah Anton tampak tenang, seperti biasa, tetapi ia tahu bahwa Anton belum pulih, terbukti Anton masih terlihat tak begitu semangat dan sangat irit sekali senyum. Memang sudah lebih baik dari pada awal pria itu pulang ke rumah, tetapi masih saja begitu kaku. "Ah, iseng saja. Kamu kelihatan lelah, jadi aku pikir nggak apa-apa menggandeng kamu sebentar. Gak papa'kan? Anggap saja pemanasan
last updateLast Updated : 2024-11-23
Read more

128. Aku Bukan Pelakor, Pa

Ruang tamu itu terasa lebih sempit dari biasanya. Amel duduk di sofa paling ujung, jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuannya. Di hadapannya, duduk kedua orang tuanya, Viona dan Darma dengan raut wajah tegang. Sementara itu, Hakim, kakak laki-lakinya, berdiri bersandar di dinding dengan tatapan tajam yang membuat Amel tak nyaman. Atmosfer ruangan dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan.Sepertinya momen aku mengucapkan tadi tidak tepat. Batin Amel. "Amel," suara Viona, pecah dalam keheningan. Ada nada gemetar di balik tegasnya. "Jawab dengan jujur. Kamu pernah bermalam dengan lelaki itu atau belum?"Amel menelan ludah. Pertanyaan itu seperti tamparan yang sudah ia duga akan datang. Tapi kali ini ia tak bisa menghindar. Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian."Iya," jawabnya, suaranya nyaris berbisik. Memang setiap malam ia tidur di rumah Anton, karena ia ngekos. Bukan karena hal-hal tabu lainnya. Namun, ia tidak mengatakan yang sebenarnya pada kedua orang
last updateLast Updated : 2024-11-24
Read more

129. Meminta Bantuan Dhuha

Hening malam seperti menertawakan Aini yang duduk termenung di sudut kamarnya. Ia memandangi dinding kosong, pikirannya dipenuhi rasa bersalah yang berat. Setiap kedipan mata seolah memutar ulang kejadian hari itu, ketika api melahap semua restoran miliknya. Tiga karyawannya—Pak Agung, Majid, dan Sinta—terluka. Dua di antaranya harus menjalani operasi. Tangisan dan teriakan mereka masih terngiang di telinganya.Hanya Ani dan Rina yang luka ringan, tetapi keduanya tetap perlu perawatan oleh dokter di rumah sakit. Aini menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi sia-sia. Sejak kejadian itu, tidur menjadi barang langka baginya. Pikirannya terus melompat-lompat antara rasa bersalah, khawatir, dan rasa putus asa. Apalagi, BPJS tidak sepenuhnya mengcover biaya rumah sakit. Pak Agung bahkan tak memiliki BPJS, meskipun Aini selalu mengalokasikan dana untuk itu. Kesalahan sistem atau kelalaian? Ia tak tahu lagi.“Apa aku telah gagal menjadi pemilik yang bertanggung jawab?” batinny
last updateLast Updated : 2024-11-24
Read more

130. Pilihan Buruk untuk Aini

“Alex, Mama sudah bilang,” suara Bu Asma terdengar dingin, serasi dengan tatapan tegas yang dilemparkannya ke arah putranya. Ia duduk di ruang tamu rumahnya, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini terasa hambar. “Mama tidak akan membantu Aini. Wanita itu sudah menghancurkan terlalu banyak hal, termasuk masa depanmu. Apa kau pikir aku akan membiarkannya terus bertingkah seperti ini? Mama malu bertemu dengan teman-teman yang sudah tahu kamu batal nikah. Belum lagi modal yang sudah Mama keluarkan untuk DP WO ternama di kota Bandung ini. Souvenir dan banyak barang yang dibeli, tetapi sia-sia. Seserahan yang jauh-jauh hari sudah kamu beli pun, berakhir di dalam lemari. Mama tidak terima, lelaki sulung Mama diperlakukan seperti ini. Ini martabat keluarga." “Mama,” Alex mencoba meredam emosi, mendekati ibunya dengan nada bicara yang lebih lembut. “Dia sedang menghadapi masalah besar. Restorannya nyaris bangkrut, dan karyawan-karyawannya terluka. Dia tidak punya siapa-siapa lagi. Kal
last updateLast Updated : 2024-11-24
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
22
DMCA.com Protection Status