Semua Bab Malam Pertama dengan Janda Anak 2: Bab 141 - Bab 150

213 Bab

141. Malam Pengantin

Suara angin malam yang mendesir pelan menelusup ke sela-sela jendela kamar, membawa kesejukan yang memeluk lembut tubuh Aini yang duduk gelisah di ujung ranjang. Kamar itu, yang selama bertahun-tahun menjadi ruang pribadinya, kini terasa berbeda. Malam ini adalah malam yang istimewa. Malam yang menandai dimulainya babak baru dalam hidupnya.Aini sudah lebih dahulu masuk ke kamar, setelah acara resepsi selesai dan tamu-tamu semua pulang. Hanya tersisa beberapa orang saja di luar, petugas kebersihan, petugas catering, dan juga teman suaminya. Wanita itu tentu saja sudah menghapus riasannya, mandi, lalu mengenakan pakaian tidur yang dibelikan oleh mertuanya. Pakaian tipis dengan belahan dada terlalu rendah. Pakaian yang ia kenakan di balik selimut bed cover yang menghalau sedikit dingin dari AC kamarnya. Alex pun masuk. Ia tersenyum pada sang Istri, lalu mengunci pintu. Pria itu berjalan ke arah cermin untuk melepas jasnya. Malu-malu Aini memperhatikan suaminya yang berpostur tubuh ting
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-27
Baca selengkapnya

142. Malam Pengantin - Bagian 2

Cahaya pagi menembus tirai jendela kamar, membawa aroma mawar yang masih segar dari malam sebelumnya. Aini membuka matanya perlahan, merasa tubuhnya masih lelah setelah rangkaian acara resepsi kemarin. Di sampingnya, Alex masih terlelap, napasnya teratur dan wajahnya tampak damai. Baru kali ini ia melihat suaminya dalam keadaan seperti ini, tanpa jas rapi atau senyum sopan yang biasanya menghiasi wajahnya di hadapan orang lain.Aini mencoba bangkit perlahan menuju kamar mandi. Semalam ia tidak keramas karena terlalu dingin. Maka, pagi ini ia putuskan keramas saja. Selesai mandi, suaminya belum juga bangun. Aini lekas memakai pakaian ganti. Berupa dress panjang selutut berbahan kaus. Tok! TokAini menoleh saat pintu kamarnya diketuk. “Aini, Alex! Sudah bangun, kan?” suara Bu Asma, ibu mertua mereka, terdengar dari balik pintu.Aini melirik Alex yang mulai bergerak, setengah terjaga. Ia buru-buru menuju pintu dan membukanya sedikit.“Selamat pagi, Ma,” sapanya pelan.“Oh, rambutmu ba
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-27
Baca selengkapnya

143. Kutunggu Jandamu

Di ujung balkon kamar yang menghadap ke halaman belakang, Dhuha berdiri termenung. Angin malam yang lembut menyapu wajahnya, namun tak sedikit pun membawa kesejukan ke dalam hatinya. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Aini dan Alex, dua orang yang kini terikat dalam ikatan suci. Bayangan itu terus menghantuinya sejak pagi. Ia tak lagi bisa tidur nyenyak setelah menyadari takdir pernikahan Aini dengan Alex. Ia kembali tak bersemangat melakukan kegiatan apapun. Padahal, hari ini harusnya ia pergi ke kantor. Om Fauzan ingin Dhuha kembali berkarir di perusahaan keluarga mereka. Namun, sejak pulang dari pernikahan Aini, isi kepalanya hanya tentang Aini dan takdir mereka yang tidak berjalan dengan baik. Telepon genggamnya bergetar. Sebuah panggilan masuk, dan nama yang muncul di layar membuat bibirnya sedikit melengkung. Izzam. Dhuha segera mengangkat panggilan itu. Tentu ia senang dengan panggilan dari putranya. “Assalamu’alaikum, Ayah!” suara ceria Izzam menyapa dari seberang telepon.“
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-27
Baca selengkapnya

144. Kehadiran Marsha

"Pak Dhuha, ini draf terakhir untuk presentasi laporan pembangunan hotel Surabaya,” kata Marsha dengan suara tenang, sambil menyerahkan tablet ke hadapan pria itu. Matanya yang indah terfokus pada layar, meskipun pikirannya sedikit mengembara.Dhuha, yang duduk di belakang meja besar di ruangannya, mengalihkan pandangannya dari tumpukan dokumen yang sedang ia telaah. Wajahnya tetap serius seperti biasa. “Bagian anggaran sudah diperiksa? Pastikan tidak ada angka yang meleset. Investor kita tidak akan mentoleransi kesalahan sekecil apa pun.”Marsha mengangguk. “Sudah saya pastikan, Pak. Semua data telah saya verifikasi dua kali, bahkan saya konsultasikan juga dengan tim keuangan untuk menghindari kekeliruan.”Dhuha menatap layar tablet yang disodorkan Marsha, jarinya menggulirkan halaman demi halaman dokumen presentasi itu. Tak ada komentar keluar dari mulutnya, hanya sesekali alisnya mengernyit, tanda ia menganalisis dengan cermat. Marsha berdiri di dekat meja, menunggu instruksi lebih
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-27
Baca selengkapnya

145. Kunjungan Rina

Rina berdiri di depan pagar rumah Aini, mengamati dengan cermat bangunan yang terlihat asri dan nyaman. Suasana sore itu tenang, angin sepoi-sepoi membelai dedaunan di halaman. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Sudah cukup lama ia tak bertemu dengan Aini sejak berhenti bekerja di restoran miliknya karena kebakaran.Hari ini, ia datang untuk menjalin kembali hubungan baik, sekaligus atas permintaan Dhuha. Rina mengetuk pintu pelan. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan wajah ramah Aini muncul di baliknya.“Rina! Lama sekali tidak ketemu!” seru Aini dengan senyum lebar. Wanita itu setengah berlari untuk membuka pintu pagar rumahnya. Aini memeluk mantan karyawannya itu dengan hangat."Maaf baru bisa main ke sini, Bu Aini. Saya kangen," jawab Rina sambil tersenyum malu."Ya ampun, aku kangen sama Santi, sama yang lainnya." Keduanya berpelukan untuk beberapa saat. "Kebetulan banget kamu datang. Masuk, masuk! Kita ngobrol di dalam. Aku lagi enggak ada kerjaan, jadi
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-28
Baca selengkapnya

146. Alex Berubah

Pagi itu terasa berat bagi Aini. Sejak matahari baru saja terbit, suasana rumah sudah diwarnai dengan tangisan Intan dan penolakan Izzam untuk pergi ke sekolah. Aini berusaha tetap tenang, meski hatinya mulai terasa kacau. Belum lagi drama sang Ibu mertua lupa mematikan kompor saat memanaskan lauk. “Ayo, Izzam, kamu harus sekolah. Kamu tidak sakit, kan? Jadi tidak ada alasan untuk bolos,” bujuk Aini, duduk di pinggir ranjang Izzam. Anak laki-laki berusia delapan tahun itu hanya memalingkan wajah, menutupi tubuhnya dengan selimut.“Aku enggak mau, Bu. Aku capek,” jawab Izzam pelan, tapi tegas.Aini menarik napas dalam, mencoba menahan kesabaran. “Capek? Kamu kan libur kemarin. Ibu yakin kamu baik-baik saja. Nanti di sekolah juga ada teman-temanmu.”“Aku tetap enggak mau,” jawab Izzam keras kepala, tanpa sedikit pun melirik ke arah Aini.Sementara itu, dari ruang tamu terdengar suara tangisan Intan yang semakin keras. Gadis kecil itu menangis sambil memegang botol minumnya yang kosong.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-28
Baca selengkapnya

147. Aku Bukan Budak, Mas!

Alex melempar dasi yang sejak tadi melilit lehernya ke atas sofa ruang tamu. Tubuhnya yang letih setelah seharian bekerja di kantor membutuhkan segelas teh hangat dan senyuman lembut istrinya. Namun, hari ini rumah terasa dingin meski pendingin ruangan sudah dimatikan. Tak ada suara langkah Aini menyambutnya, apalagi tawa kecilnya yang biasanya menggema. Biasanya, begitu turun dari mobil, istrinya sudah mengintip dari jendela kamar, lalu tersenyum padanya. "Ini kenapa sepi banget?" gumam Alex, berjalan menuju dapur.Pintu dapur setengah terbuka, dan dari sela-sela celah itu, Alex bisa melihat punggung Aini yang tegak, membelakanginya. Kedua tangan istrinya sibuk merapikan kue-kue yang tampak baru saja selesai dipanggang. Tapi ekspresi di wajahnya—ketika akhirnya Alex mendekat dan melihat dengan jelas—sama sekali bukan ekspresi bahagia."Aini," panggil Alex lembut, mencoba menarik perhatian. Namun, Aini tak menoleh.Dia tahu ada yang salah. Biasanya, Aini akan melompat kecil, mengha
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-28
Baca selengkapnya

148. Terserah Kamu Saja

“Jadi, konsep pembangunan hotel ini mengutamakan efisiensi energi dan arsitektur berkelanjutan,” ujar Dhuha tegas sambil mengarahkan telunjuknya ke layar proyektor. Di hadapannya, beberapa vendor dari perusahaan konstruksi terkenal menyimak dengan saksama. “Kami ingin memastikan bahwa setiap elemen, mulai dari struktur bangunan hingga sistem pengelolaannya, mendukung prinsip ramah lingkungan.”Seorang pria dari pihak vendor, berkacamata dengan jas abu-abu, mengangkat tangan. “Tuan Dhuha, untuk sistem pengelolaan limbah, apakah Anda sudah memiliki mitra spesifik atau kami yang harus menyediakan rekomendasi?”Dhuha mengangguk pelan. “Kami sudah berdiskusi dengan beberapa pihak, tapi tentu saja, masukan dari Anda akan sangat membantu. Saya ingin hasil akhir yang tidak hanya memuaskan dari segi estetika, tetapi juga fungsional.”Hakim, yang duduk di sisi kanan Dhuha, memperhatikan suasana dengan wajah tenang. Sebagai sepupu sekaligus partner bisnis, ia kerap menjadi penyeimbang ketika D
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-29
Baca selengkapnya

149. Tak Tahan Lagi

Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar. Aini duduk di tepi ranjang, termenung. Pikirannya melayang jauh, memikirkan situasi rumah tangganya yang semakin rumit. Alex, suaminya, masuk ke kamar sambil melonggarkan dasi yang belum rapi sepenuhnya. Pria itu sudah rapi akan berangkat bekerja, tetapi balik lagi ke kamar hingga membuat Aini terheran-heran. “Aini, aku butuh bicara denganmu,” katanya dengan nada dingin.Aini mendongak, tetapi raut wajahnya tetap datar. “Apa lagi, Mas? Soal HP aku atau tab Izzam?"Alex mendekat dan duduk di sebelahnya. Tangannya meraih tangan Aini, tetapi wanita itu dengan halus menariknya. “Aku ini suamimu. Aku punya hak atasmu, atas perhatianmu, atas cintamu.”Aini menghela napas. “Mas, aku sedang tidak ingin membicarakan ini sekarang. Memangnya aku pernah gak perhatiin kamu? Kamu nya aja yang sibuk. Sibuk berpikiran buruk sama istri sendiri!"“Apa maksudmu, Sayang? Kamu selalu menghindar dariku!” Alex menaikkan nada suaranya, w
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-30
Baca selengkapnya

150. Kepergok

“Pak Alex, saya rasa ini tidak benar…” Suci, seorang OB wanita berusia akhir dua puluhan, mencoba melontarkan penolakan yang terdengar setengah hati. Ia berdiri memunggungi Alex, tubuhnya kaku, tetapi getaran suaranya menunjukkan ada rasa ragu di sana.Alex mendekatinya dari belakang, suaranya rendah namun tegas. “Suci, aku tahu kamu butuh uang. Gaji ini takkan cukup kalau hanya untuk biaya sekolah adik-adikmu, bukan?”Suci terdiam sejenak, seolah memikirkan tawaran itu. Alex melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih persuasif, “Mulai bulan ini, aku akan menaikkan gajimu. Anggap saja ini bentuk apresiasiku atas kerja kerasmu.”Suci berpaling, matanya beradu dengan Alex. “Tapi, Pak… saya takut…” katanya pelan.“Tak perlu takut. Tidak ada yang akan tahu,” balas Alex dengan nada meyakinkan."S-saya belum pernah melakukannya, Pak." Alex menelan ludahnya. Adakah di jaman sekarang, wanita masih orisinil? "Pelan-pelan. Saya akan pelan-pelan. Kita gak punya banyak waktu. Aku sudah tak bis
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-30
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
22
DMCA.com Protection Status