Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar. Aini duduk di tepi ranjang, termenung. Pikirannya melayang jauh, memikirkan situasi rumah tangganya yang semakin rumit. Alex, suaminya, masuk ke kamar sambil melonggarkan dasi yang belum rapi sepenuhnya. Pria itu sudah rapi akan berangkat bekerja, tetapi balik lagi ke kamar hingga membuat Aini terheran-heran. “Aini, aku butuh bicara denganmu,” katanya dengan nada dingin.Aini mendongak, tetapi raut wajahnya tetap datar. “Apa lagi, Mas? Soal HP aku atau tab Izzam?"Alex mendekat dan duduk di sebelahnya. Tangannya meraih tangan Aini, tetapi wanita itu dengan halus menariknya. “Aku ini suamimu. Aku punya hak atasmu, atas perhatianmu, atas cintamu.”Aini menghela napas. “Mas, aku sedang tidak ingin membicarakan ini sekarang. Memangnya aku pernah gak perhatiin kamu? Kamu nya aja yang sibuk. Sibuk berpikiran buruk sama istri sendiri!"“Apa maksudmu, Sayang? Kamu selalu menghindar dariku!” Alex menaikkan nada suaranya, w
“Pak Alex, saya rasa ini tidak benar…” Suci, seorang OB wanita berusia akhir dua puluhan, mencoba melontarkan penolakan yang terdengar setengah hati. Ia berdiri memunggungi Alex, tubuhnya kaku, tetapi getaran suaranya menunjukkan ada rasa ragu di sana.Alex mendekatinya dari belakang, suaranya rendah namun tegas. “Suci, aku tahu kamu butuh uang. Gaji ini takkan cukup kalau hanya untuk biaya sekolah adik-adikmu, bukan?”Suci terdiam sejenak, seolah memikirkan tawaran itu. Alex melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih persuasif, “Mulai bulan ini, aku akan menaikkan gajimu. Anggap saja ini bentuk apresiasiku atas kerja kerasmu.”Suci berpaling, matanya beradu dengan Alex. “Tapi, Pak… saya takut…” katanya pelan.“Tak perlu takut. Tidak ada yang akan tahu,” balas Alex dengan nada meyakinkan."S-saya belum pernah melakukannya, Pak." Alex menelan ludahnya. Adakah di jaman sekarang, wanita masih orisinil? "Pelan-pelan. Saya akan pelan-pelan. Kita gak punya banyak waktu. Aku sudah tak bis
"Pak Heri, saya pinjem motor!"Satpam bernama Heri itu mengangguk kaku. "B-boleh, Pak." Heri segera turun dari motor, membiarkan Alex duduk di depan. Alex juga mengambil helm yang masih menempel di kepala Heri. "Saya buru-buru, saya pinjam dulu." "Baik, Pak, hati-hati di jalan." Alex melaju cepat di atas motor matic lama milik Heri. Satpam kantor yang sudah lama mengabdi di perusahaannya. Lelaki itu melaju kencang, hingga motor yang ia kendarai bergetar setiap kali melewati jalan berlubang. Matanya terus bergerak, menatap setiap mobil yang lewat. Setiap sudut jalan yang mungkin menjadi tempat Aini berada. Kecemasan menyelimutinya sejak ia tiba di rumah hanya untuk mendapati bahwa istrinya yang ternyata tidak ada di rumah. Bu Asma muncul dari ruang tengah, masih dengan kerudung yang belum rapi. “Alex? Tumben pulang pagi-pagi. Ada yang ketinggalan?” tanyanya heran.Alex menggeleng. "Nggak, Ma. Aini mana?" Alex membuka pintu kamar dengan kasar. Namun, tidak ada istrinya di dalam.
“Dhuha, Aini ada menghubungi kamu?” tanya Alex tanpa basa-basi. Nada suaranya tajam, hampir seperti desis ular."Aini menghubungi aku? Yang benar saja! Aini bukan tipe wanita seperti itu. Tidak ada kontak apapun antara aku dan Aini sejak kalian menikah. Kenapa? Mau ngabarin kalau Aini hamil? Mau pamer?"Alex tidak langsung menjawab. Nafasnya terdengar berat di ujung telepon, seperti menahan emosi. “Kalau sampai ternyata dia ada sama kamu, atau menghubungi kamu, aku enggak akan tinggal diam, Dhuha!"Dhuha mengernyitkan dahi. “Hei, pelan-pelan dulu, Lex. Kenapa lo bawa-bawa nama gue? Kalau ada masalah sama Aini, itu urusan kalian berdua. Jangan sembarangan nuduh! Tunggu, Aini ada sama gue? Waw--- apa Aini pergi gak bilang-bilang suaminya yang tampan?"“Gue enggak nuduh,” potong Alex. “Gue cuma ngingetin. Kalau gue sampai tahu lo ada hubungannya sama ini, urusannya bakal panjang.”Sambungan telepon terputus sebelum Dhuha sempat merespons. Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur
“Suci, kenapa kamu nggak berangkat kerja hari ini?” suara Bu Rahmi terdengar dari dapur, sedikit meninggi karena ia menduga putrinya masih berada di kamar.Suci yang tengah duduk di atas ranjang dengan wajah pucat langsung menoleh ke arah pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku nggak enak badan, Bu. Sudah ijin hari ini." Ibunya jangan sampai tahu jika ia berhenti kerja di kantor yang sekarang. Bisa-bisa ibunya terkena serangan jantung. Bu Rahmi melangkah masuk ke kamar dengan tangan yang masih memegang kain pel basah. “Nggak enak badan? Kok nggak bilang dari tadi? Kemarin baik-baik saja, kan?” wanita itu menatap wajah sang Putri dengan seksama. Suci hanya menunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tubuhnya memang terasa berat, tetapi bukan karena sakit fisik. Pikiran dan hatinya yang terluka membuat ia merasa lemah. Ia tidak bisa tidur semalam, terus memikirkan ancaman Alex, bosnya di kantor.Huk! Suci berpura-pura batuk dan men
"Katakan ini tidak benar, Lex! Wanita ini hanya ingin fitnah kamu'kan?" Bu Suci masih menunggu putranya bersuara. “Pak Alex, saya minta pertanggungjawaban, Pak,” suara Suci bergetar, tapi tegas. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat memerah menahan emosi.Alex memijat pelipisnya, berusaha menahan kesal yang sudah mendidih. “Suci, kamu nggak bisa ngomong sembarangan begini. Apa yang terjadi kemarin itu... cuma kesalahan. Aku nggak punya niat apa-apa sama kamu. Aku khilaf. Lagian kamu juga menikmati. Kamu malah mendesah nakal." Alex mencibir. “Khilaf? Itu alasan Bapak?” Suci menatapnya tajam. Ia berdiri di tengah ruang tamu mewah rumah Alex, seperti seorang hakim yang mengadili terdakwa. “Pak Alex sudah menghancurkan hidup saya, dan sekarang bilang itu cuma khilaf? Saya nggak peduli! Saya mau Bapak menikahi saya. Keperawanan saya tidak akan bisa kembali lagi, meskipun Bapak keluarkan uang ratusan juta. Bapak sendiri yang bilang , bahwa semua baik-baik saja dan saya jangan taku
"Mas Dhuha, aku nggak tahu lagi harus gimana. Mbak Aini nggak mau makan sama sekali. Sejak kemarin cuma tiduran aja di kamar," keluh Amel sambil menyandarkan kepala di meja makan. "Matanya sembap karena menangis semalaman. Aku udah coba bujuk dia, tapi dia cuma geleng kepala. Kadang juga diem aja. Cuma bengong sambil netesin air mata."Dhuha menatap Amel dengan serius. "Amel, kamu nggak boleh menyerah. Kalau dia nggak makan, nanti malah sakit. Kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi biar aku coba bicara sama dia. Mungkin sama aku mau." Amel menyeringai. "Mas Dhuha, kalau Mbak Aini seandainya janda lagi, masih mau gak?" Dhuha menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Aini yang belum tentu mau sama aku lagi, Mel. Dia pasti trauma. Entah apa yang dibuat suaminya itu sampai Aini kabur kayak gini." Amel mengangguk setuju. “Aku takut dia makin marah, Mas. Dia kayaknya nggak mau ketemu siapa-siapa, " kata Dhuha saat akan mengetuk pintu kamar Amel. “Aini butuh waktu, tapi dia jug
Rendy memandang pria paruh baya berseragam cleaning service yang sedang membersihkan meja di sudut lobi kantor Alex. Dengan sikap ramah, ia mendekat, membawa segelas kopi dari mesin otomatis.“Pak, boleh ngobrol sebentar? Saya lagi nyari info soal lowongan kerja di sini. Adik saya pengin coba daftar jadi OB,” kata Rendy, mencoba mencairkan suasana.Cleaning service itu menoleh, menatap Rendy dengan rasa ingin tahu. “Lowongan OB ya? Kayaknya ada sih, tapi baru satu. Itu juga karena ada yang dipecat minggu lalu.”“Oh, dipecat ya? Kenapa, Pak? Masalah apa?” tanya Rendy, berpura-pura penasaran.Pria itu menggeleng sambil berbisik, “Nggak tahu pasti, Mas. Tapi denger-denger sih ada masalah besar di ruangan direktur. Security yang lebih tahu, tapi mereka nggak bakal ngomong ke orang luar.”Rendy mengangguk sambil tersenyum, meski dalam hati ia mulai curiga. “Oke, Pak. Terima kasih infonya. Saya nanti tinggal kirim email ke kantor ini ya, Pak? Apa Bapak tahu emailnya?""Iya, benar, sebentar
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang