"Katakan ini tidak benar, Lex! Wanita ini hanya ingin fitnah kamu'kan?" Bu Suci masih menunggu putranya bersuara. “Pak Alex, saya minta pertanggungjawaban, Pak,” suara Suci bergetar, tapi tegas. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat memerah menahan emosi.Alex memijat pelipisnya, berusaha menahan kesal yang sudah mendidih. “Suci, kamu nggak bisa ngomong sembarangan begini. Apa yang terjadi kemarin itu... cuma kesalahan. Aku nggak punya niat apa-apa sama kamu. Aku khilaf. Lagian kamu juga menikmati. Kamu malah mendesah nakal." Alex mencibir. “Khilaf? Itu alasan Bapak?” Suci menatapnya tajam. Ia berdiri di tengah ruang tamu mewah rumah Alex, seperti seorang hakim yang mengadili terdakwa. “Pak Alex sudah menghancurkan hidup saya, dan sekarang bilang itu cuma khilaf? Saya nggak peduli! Saya mau Bapak menikahi saya. Keperawanan saya tidak akan bisa kembali lagi, meskipun Bapak keluarkan uang ratusan juta. Bapak sendiri yang bilang , bahwa semua baik-baik saja dan saya jangan taku
"Mas Dhuha, aku nggak tahu lagi harus gimana. Mbak Aini nggak mau makan sama sekali. Sejak kemarin cuma tiduran aja di kamar," keluh Amel sambil menyandarkan kepala di meja makan. "Matanya sembap karena menangis semalaman. Aku udah coba bujuk dia, tapi dia cuma geleng kepala. Kadang juga diem aja. Cuma bengong sambil netesin air mata."Dhuha menatap Amel dengan serius. "Amel, kamu nggak boleh menyerah. Kalau dia nggak makan, nanti malah sakit. Kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi biar aku coba bicara sama dia. Mungkin sama aku mau." Amel menyeringai. "Mas Dhuha, kalau Mbak Aini seandainya janda lagi, masih mau gak?" Dhuha menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Aini yang belum tentu mau sama aku lagi, Mel. Dia pasti trauma. Entah apa yang dibuat suaminya itu sampai Aini kabur kayak gini." Amel mengangguk setuju. “Aku takut dia makin marah, Mas. Dia kayaknya nggak mau ketemu siapa-siapa, " kata Dhuha saat akan mengetuk pintu kamar Amel. “Aini butuh waktu, tapi dia jug
Rendy memandang pria paruh baya berseragam cleaning service yang sedang membersihkan meja di sudut lobi kantor Alex. Dengan sikap ramah, ia mendekat, membawa segelas kopi dari mesin otomatis.“Pak, boleh ngobrol sebentar? Saya lagi nyari info soal lowongan kerja di sini. Adik saya pengin coba daftar jadi OB,” kata Rendy, mencoba mencairkan suasana.Cleaning service itu menoleh, menatap Rendy dengan rasa ingin tahu. “Lowongan OB ya? Kayaknya ada sih, tapi baru satu. Itu juga karena ada yang dipecat minggu lalu.”“Oh, dipecat ya? Kenapa, Pak? Masalah apa?” tanya Rendy, berpura-pura penasaran.Pria itu menggeleng sambil berbisik, “Nggak tahu pasti, Mas. Tapi denger-denger sih ada masalah besar di ruangan direktur. Security yang lebih tahu, tapi mereka nggak bakal ngomong ke orang luar.”Rendy mengangguk sambil tersenyum, meski dalam hati ia mulai curiga. “Oke, Pak. Terima kasih infonya. Saya nanti tinggal kirim email ke kantor ini ya, Pak? Apa Bapak tahu emailnya?""Iya, benar, sebentar
Telepon dari Bu Maria, ibu Dhuha, datang saat ia baru saja selesai mandi dan bersiap untuk tidur. Ia mengangkat telepon dengan suara lelah. Ia juga tidak mau mengganggu Aini dan yang lainnya tidur karena sudah jam sepuluh malam. Ya, malam ini dan mungkin masih sampai besok malam, ia berencana menginap di rumah Anton. “Iya, Ma. Ada apa malam-malam telepon?” tanyanya sambil duduk di sofa. “Dhuha, kamu nggak pernah buka WhatsApp dari Mama, ya?” suara Bu Maria terdengar penuh antusias, bertolak belakang dengan nada Dhuha.“WhatsApp yang mana, Ma? Aku sibuk banget belakangan ini,” jawab Dhuha dengan sedikit mendesah.“Yang Mama kirim soal anaknya Tante Yulia. Namanya Laras. Cantik, muda, dan sopan. Cocok banget jadi istri kamu,” kata Bu Maria dengan nada yakin.Dhuha mengerutkan dahi. “Mama, aku lagi nggak mikir ke arah sana dulu. Kerjaan banyak, dan aku masih fokus sama tanggung jawabku sekarang.”“Dhuha, kamu nggak bisa terus-menerus kayak gini. Mama pengen kamu punya pasangan lagi. La
Hari beranjak sore, dan Aini masih beristirahat di kamar Amel. Sejak pulang dari rumah sakit, ia menunjukkan sedikit kemajuan. Setidaknya, ia tidak lagi menangis tanpa henti seperti sebelumnya. Namun, Dhuha tahu, perjalanan pemulihan mental Aini masih panjang.Di ruang tamu, Dhuha duduk dengan Amel, berdiskusi tentang rencana untuk mendukung Aini, sambil memangku Aris. Anak kecil itu senang dengan adanya Dhuha di rumah. "Ayah Dhuha nginep kan?" tanya Aris polos sambil mengunyah permen lolipop. "Iya, malam ini masih menginap di rumah Aris. Boleh kan?""Boleh, dong! Selamanya juga gak papa." Dhuha mengusap pipi Aris yang mulai padat berisi. Anak kecil itu pun melanjutkan asiknya makan permen sambil menonton televisi. “Mas, menurutku, Mbak Aini memang butuh lebih banyak waktu. Dia belum siap menghadapi dunia luar,” ujar Amel sambil menyeruput teh hangat. "Terutama yang berurusan dengan suaminya," lanjut Amel lagi. Dhuha mengangguk. “Iya, Mel. Aku juga nggak mau maksa. Tapi aku juga
Ketenangan pagi di rumah Anton tidak berlangsung lama. Setelah kejadian malam sebelumnya, Aini terlihat lebih banyak diam. Amel menyiapkan sarapan, sementara Dhuha mencoba memulai hari dengan mencari cara terbaik untuk melindungi Aini dari Alex.“Mas, Mbak Aini tadi bilang mau coba sarapan di meja makan,” ujar Amel sambil membawa nampan berisi teh hangat ke meja.Dhuha menoleh dari kursi tempatnya duduk. “Itu bagus. Berarti dia mulai pulih, pelan-pelan.”Amel mengangguk, tapi raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. “Tapi aku takut, Mas. Alex nggak akan menyerah. Dia kelihatan seperti orang yang nggak terima ditolak. Dan nampaknya lelaki itu masih cinta banget sama Mbak Aini." Dhuha tertawa miring. "Jika lelaki itu cinta dengan istrinya, tidak mungkin dia bermesraan di ruang kerja dengan OB." Amel menghela napas. Gadis itu meletakkan telunjuk di bibirnya. Dengan harapan percakapan mereka tidak sampai didengar Aini. “Aku sudah siapkan semuanya. Kalau Alex datang lagi, kita akan
Aini keluar dari kamar dengan wajah pucat, lalu duduk di sofa ruang tamu. Melihat wajah istrinya seperti sedang sakit, Alex pun terkejut dan cemas. "Kamu sakit sayang?" Alex hendak merana kening sang Istri, tetapi Aini berhasil menepis tangan Alex. "Jangan sentuh aku, Mas!" Pelan, tapi begitu dingin. "Kamu sakit, Ai. Kamu harus segera dibawa ke rumah sakit." Aini tertawa miris. "Gak perlu, aku mati pun sepertinya hanya anak-anak yang akan kehilangan. Cepat saja katakan, kamu mau apa ke sini? Jangan lama-lama, aku gak mau lama-lama di dekat kamu. Aku capek."Alex berdiri di depan Aini dengan wajah penuh emosi. Di balik kata-kata lembut yang ia ucapkan, nada suaranya mengandung ancaman tersembunyi. Aini yang duduk di sofa, menjaga jarak sejauh mungkin. Dhuha berdiri di dekat pintu, mengawasi percakapan mereka dengan mata tajam.“Aini, aku datang ke sini karena aku masih sayang sama kamu. Aku nggak mau keluarga kita hancur begini. Anak-anak butuh kamu,” kata Alex, suaranya serak.Ain
Aini duduk di ruang tamu, menatap jendela dengan pikiran yang melayang jauh. Keheningan pagi dipecahkan oleh suara pintu kamar yang terbuka. Dhuha muncul dengan wajah penuh perhatian, membawa secangkir teh hangat dan juga sepiring pisang goreng. “Kamu belum tidur semalaman, ya?” tanya Dhuha lembut, menyerahkan nampan itu kepada Aini.Aini hanya menggeleng, mengusap matanya yang masih sembap. “Aku nggak bisa tidur. Rasanya semua ini seperti mimpi buruk yang nggak ada akhirnya.”Dhuha duduk di seberang Aini, menatapnya dengan tatapan penuh empati. “Aini, aku tahu ini berat. Tapi kamu nggak sendirian. Aku, Amel, dan Anton ada di sini buat kamu. Hakim pun selalu dukung kamu. Jangan pernah merasa sendiri ya." Aini menundukkan kepala, air matanya menetes perlahan. “Tapi aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Dhuha. Alex nggak akan berhenti. Aku sudah memutuskan ingin bercerai, tapi dia terus mencoba memaksaku kembali.”“Kita bisa urus ini. Kalau perlu, aku akan cari pengacara terbaik untuk
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang