“Jadi, konsep pembangunan hotel ini mengutamakan efisiensi energi dan arsitektur berkelanjutan,” ujar Dhuha tegas sambil mengarahkan telunjuknya ke layar proyektor. Di hadapannya, beberapa vendor dari perusahaan konstruksi terkenal menyimak dengan saksama. “Kami ingin memastikan bahwa setiap elemen, mulai dari struktur bangunan hingga sistem pengelolaannya, mendukung prinsip ramah lingkungan.”Seorang pria dari pihak vendor, berkacamata dengan jas abu-abu, mengangkat tangan. “Tuan Dhuha, untuk sistem pengelolaan limbah, apakah Anda sudah memiliki mitra spesifik atau kami yang harus menyediakan rekomendasi?”Dhuha mengangguk pelan. “Kami sudah berdiskusi dengan beberapa pihak, tapi tentu saja, masukan dari Anda akan sangat membantu. Saya ingin hasil akhir yang tidak hanya memuaskan dari segi estetika, tetapi juga fungsional.”Hakim, yang duduk di sisi kanan Dhuha, memperhatikan suasana dengan wajah tenang. Sebagai sepupu sekaligus partner bisnis, ia kerap menjadi penyeimbang ketika D
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar. Aini duduk di tepi ranjang, termenung. Pikirannya melayang jauh, memikirkan situasi rumah tangganya yang semakin rumit. Alex, suaminya, masuk ke kamar sambil melonggarkan dasi yang belum rapi sepenuhnya. Pria itu sudah rapi akan berangkat bekerja, tetapi balik lagi ke kamar hingga membuat Aini terheran-heran. “Aini, aku butuh bicara denganmu,” katanya dengan nada dingin.Aini mendongak, tetapi raut wajahnya tetap datar. “Apa lagi, Mas? Soal HP aku atau tab Izzam?"Alex mendekat dan duduk di sebelahnya. Tangannya meraih tangan Aini, tetapi wanita itu dengan halus menariknya. “Aku ini suamimu. Aku punya hak atasmu, atas perhatianmu, atas cintamu.”Aini menghela napas. “Mas, aku sedang tidak ingin membicarakan ini sekarang. Memangnya aku pernah gak perhatiin kamu? Kamu nya aja yang sibuk. Sibuk berpikiran buruk sama istri sendiri!"“Apa maksudmu, Sayang? Kamu selalu menghindar dariku!” Alex menaikkan nada suaranya, w
“Pak Alex, saya rasa ini tidak benar…” Suci, seorang OB wanita berusia akhir dua puluhan, mencoba melontarkan penolakan yang terdengar setengah hati. Ia berdiri memunggungi Alex, tubuhnya kaku, tetapi getaran suaranya menunjukkan ada rasa ragu di sana.Alex mendekatinya dari belakang, suaranya rendah namun tegas. “Suci, aku tahu kamu butuh uang. Gaji ini takkan cukup kalau hanya untuk biaya sekolah adik-adikmu, bukan?”Suci terdiam sejenak, seolah memikirkan tawaran itu. Alex melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih persuasif, “Mulai bulan ini, aku akan menaikkan gajimu. Anggap saja ini bentuk apresiasiku atas kerja kerasmu.”Suci berpaling, matanya beradu dengan Alex. “Tapi, Pak… saya takut…” katanya pelan.“Tak perlu takut. Tidak ada yang akan tahu,” balas Alex dengan nada meyakinkan."S-saya belum pernah melakukannya, Pak." Alex menelan ludahnya. Adakah di jaman sekarang, wanita masih orisinil? "Pelan-pelan. Saya akan pelan-pelan. Kita gak punya banyak waktu. Aku sudah tak bis
"Pak Heri, saya pinjem motor!"Satpam bernama Heri itu mengangguk kaku. "B-boleh, Pak." Heri segera turun dari motor, membiarkan Alex duduk di depan. Alex juga mengambil helm yang masih menempel di kepala Heri. "Saya buru-buru, saya pinjam dulu." "Baik, Pak, hati-hati di jalan." Alex melaju cepat di atas motor matic lama milik Heri. Satpam kantor yang sudah lama mengabdi di perusahaannya. Lelaki itu melaju kencang, hingga motor yang ia kendarai bergetar setiap kali melewati jalan berlubang. Matanya terus bergerak, menatap setiap mobil yang lewat. Setiap sudut jalan yang mungkin menjadi tempat Aini berada. Kecemasan menyelimutinya sejak ia tiba di rumah hanya untuk mendapati bahwa istrinya yang ternyata tidak ada di rumah. Bu Asma muncul dari ruang tengah, masih dengan kerudung yang belum rapi. “Alex? Tumben pulang pagi-pagi. Ada yang ketinggalan?” tanyanya heran.Alex menggeleng. "Nggak, Ma. Aini mana?" Alex membuka pintu kamar dengan kasar. Namun, tidak ada istrinya di dalam.
“Dhuha, Aini ada menghubungi kamu?” tanya Alex tanpa basa-basi. Nada suaranya tajam, hampir seperti desis ular."Aini menghubungi aku? Yang benar saja! Aini bukan tipe wanita seperti itu. Tidak ada kontak apapun antara aku dan Aini sejak kalian menikah. Kenapa? Mau ngabarin kalau Aini hamil? Mau pamer?"Alex tidak langsung menjawab. Nafasnya terdengar berat di ujung telepon, seperti menahan emosi. “Kalau sampai ternyata dia ada sama kamu, atau menghubungi kamu, aku enggak akan tinggal diam, Dhuha!"Dhuha mengernyitkan dahi. “Hei, pelan-pelan dulu, Lex. Kenapa lo bawa-bawa nama gue? Kalau ada masalah sama Aini, itu urusan kalian berdua. Jangan sembarangan nuduh! Tunggu, Aini ada sama gue? Waw--- apa Aini pergi gak bilang-bilang suaminya yang tampan?"“Gue enggak nuduh,” potong Alex. “Gue cuma ngingetin. Kalau gue sampai tahu lo ada hubungannya sama ini, urusannya bakal panjang.”Sambungan telepon terputus sebelum Dhuha sempat merespons. Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur
“Suci, kenapa kamu nggak berangkat kerja hari ini?” suara Bu Rahmi terdengar dari dapur, sedikit meninggi karena ia menduga putrinya masih berada di kamar.Suci yang tengah duduk di atas ranjang dengan wajah pucat langsung menoleh ke arah pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku nggak enak badan, Bu. Sudah ijin hari ini." Ibunya jangan sampai tahu jika ia berhenti kerja di kantor yang sekarang. Bisa-bisa ibunya terkena serangan jantung. Bu Rahmi melangkah masuk ke kamar dengan tangan yang masih memegang kain pel basah. “Nggak enak badan? Kok nggak bilang dari tadi? Kemarin baik-baik saja, kan?” wanita itu menatap wajah sang Putri dengan seksama. Suci hanya menunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tubuhnya memang terasa berat, tetapi bukan karena sakit fisik. Pikiran dan hatinya yang terluka membuat ia merasa lemah. Ia tidak bisa tidur semalam, terus memikirkan ancaman Alex, bosnya di kantor.Huk! Suci berpura-pura batuk dan men
"Katakan ini tidak benar, Lex! Wanita ini hanya ingin fitnah kamu'kan?" Bu Suci masih menunggu putranya bersuara. “Pak Alex, saya minta pertanggungjawaban, Pak,” suara Suci bergetar, tapi tegas. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat memerah menahan emosi.Alex memijat pelipisnya, berusaha menahan kesal yang sudah mendidih. “Suci, kamu nggak bisa ngomong sembarangan begini. Apa yang terjadi kemarin itu... cuma kesalahan. Aku nggak punya niat apa-apa sama kamu. Aku khilaf. Lagian kamu juga menikmati. Kamu malah mendesah nakal." Alex mencibir. “Khilaf? Itu alasan Bapak?” Suci menatapnya tajam. Ia berdiri di tengah ruang tamu mewah rumah Alex, seperti seorang hakim yang mengadili terdakwa. “Pak Alex sudah menghancurkan hidup saya, dan sekarang bilang itu cuma khilaf? Saya nggak peduli! Saya mau Bapak menikahi saya. Keperawanan saya tidak akan bisa kembali lagi, meskipun Bapak keluarkan uang ratusan juta. Bapak sendiri yang bilang , bahwa semua baik-baik saja dan saya jangan taku
"Mas Dhuha, aku nggak tahu lagi harus gimana. Mbak Aini nggak mau makan sama sekali. Sejak kemarin cuma tiduran aja di kamar," keluh Amel sambil menyandarkan kepala di meja makan. "Matanya sembap karena menangis semalaman. Aku udah coba bujuk dia, tapi dia cuma geleng kepala. Kadang juga diem aja. Cuma bengong sambil netesin air mata."Dhuha menatap Amel dengan serius. "Amel, kamu nggak boleh menyerah. Kalau dia nggak makan, nanti malah sakit. Kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi biar aku coba bicara sama dia. Mungkin sama aku mau." Amel menyeringai. "Mas Dhuha, kalau Mbak Aini seandainya janda lagi, masih mau gak?" Dhuha menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Aini yang belum tentu mau sama aku lagi, Mel. Dia pasti trauma. Entah apa yang dibuat suaminya itu sampai Aini kabur kayak gini." Amel mengangguk setuju. “Aku takut dia makin marah, Mas. Dia kayaknya nggak mau ketemu siapa-siapa, " kata Dhuha saat akan mengetuk pintu kamar Amel. “Aini butuh waktu, tapi dia jug
Pagi itu, udara dingin masih terasa menyelimuti kota Bandung. Sisa hujan semalam masih ada. Aroma air hujan yang bertemu tanah, aspal, menimbulkan aroma khasnya. Alex berdiri di depan gedung apartemen Dhuha, matanya menatap pintu masuk dengan keraguan. Dia tahu apa yang dilakukannya mungkin tak akan mudah, tapi ia sudah bulat untuk mencoba sekali lagi. Setelah menarik napas panjang, ia masuk ke dalam lobi dan menaiki lift menuju lantai tempat Aini tinggal.Ayo, Alex, kamu harus tahu Aini tidak bisa dipaksa. Semakin dipaksa, semakin jauh ia pergi. Langkahnya terasa berat ketika ia berdiri di depan pintu. Dia mengetuk perlahan, memastikan suara ketukannya tidak terlalu keras agar tidak menarik perhatian penghuni lain. Ia tahu Dhuha pasti sudah berangkat kerja, sesuai informasi yang ia dapatkan. Ketika pintu terbuka, wajah Aini muncul dari celah pintu. Wanita itu terlihat terkejut, matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di depannya."Alex? Apa yang kamu lakukan di sini?" t
Suci berdiri mematung di depan tangga, menatap punggung Alex yang memeluk kedua anaknya. Izzam masih menggenggam erat tangan ayahnya, sementara Intan berlari kecil dari dapur untuk bergabung. Mereka tampak seperti sebuah keluarga yang hangat—tanpa dirinya."Papa..." Intan memanggil dengan suara manja sambil mengulurkan tangan kecilnya, meminta digendong. Alex merendah dan meraih tubuh mungil itu, membawanya ke pelukan. Bibirnya tersenyum tipis, meski kelelahan jelas terlukis di wajahnya."Maafkan kalau Papa sering lembur ya." "Iya, Pa, gak papa. Di rumah ada bibik sama tante."Suci mengalihkan pandangannya. Dadanya bergemuruh, marah bercampur sedih. Kata-kata Alex tadi masih menggema di benaknya. Tamu? Aku hanya tamu di rumah ini? Padahal aku yang menjaga anak-anak ini, aku yang memastikan semuanya berjalan seperti semestinya.Ia menggeretakkan gigi. Matanya basah, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis di depan Alex. Ia menegakkan bahu, mencoba mempertahankan sisa-sisa martabat y
Langit Bandung sore itu kelabu, seperti hati yang sedang muram. Hujan turun rintik-rintik, membasahi dedaunan dan jalanan yang masih ramai kendaraan. Udara dingin merayap masuk ke dalam rumah mewah di kawasan Dago, tempat Suci duduk bersandar santai di sofa ruang keluarga. Suara televisi menyala pelan, menayangkan program komedi, tapi perhatiannya setengah saja tertuju ke layar. Di sebelahnya, dua anak kecil, Izzam dan Intan, duduk diam, menikmati cemilan sambil sesekali melirik televisi.Izzam, delapan tahun, mengenakan kaos biru dengan celana pendek. Wajahnya serius, mungkin karena ia tahu bahwa satu gerakan yang salah bisa memancing amarah Suci. Adiknya, Intan, hanya terpaku pada mainan di tangannya, tak banyak bicara.Ini pemandangan yang berbeda dari biasanya. Dua anak itu dulu kerap membuat rumah berantakan—berlarian ke sana kemari, bertengkar, atau berteriak memanggil papa mereka, Alex. Tapi, setelah ancaman serius dari Suci beberapa minggu lalu, semuanya berubah. "Kalau kalia
Dhuha berdiri di balkon apartemennya, pandangannya menembus pemandangan kota Bandung yang mulai dihiasi lampu-lampu malam. Angin dingin berembus lembut, membawa aroma hujan yang tersisa sejak sore tadi. Tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya. Melainkan bayangan seorang perempuan, dengan senyum lembut yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Aini.Wanita yang dulunya ia tak sudi menyentuhnya, tapi sekarang, dia bisa mati jika berjauhan dengannya. Ada sebuah kalimat petuah bertuliskan, membencilah sewajarnya, karena suatu saat kalian bisa jadi sangat mencintainya. Kini ia tidak tahu kapan tepatnya jatuh cinta lagi kepada mantan istrinya itu. Mungkin sejak pertama kali Aini datang kembali ke kehidupannya, meminta bantuan untuk menyelesaikan perceraian dengan Alex. Atau mungkin sejak mereka mulai berbagi ruang lagi di apartemen ini, saat Dhuha melihat sisi rapuh Aini yang selama ini jarang ia perhatikan. Namun, situasi mereka jauh dari kata sederhana. Aini masih terikat dalam per
Pagi-pagi sekali, bik Emi sudah sampai di apartemen Dhuha dengan membawa bahan masakan. Semalam Dhuha mengirimkan pesan pada wanita itu agar bisa datang lebih pagi dan membawa bahan masakan. Wanita itu sudah sibuk di dapur, sambil terus melihat ke arah ruang tengah, dimana bosnya sedang tidur pulas. Mendengar suara sedikit berisik di dapur, Dhuha terbangun. "Oh, udah datang, Bik," sapanya. "Sudah, Pak. Bapak tidur di luar? Lagi ada tamu ya?" Dhuha mengangguk "Iya, ada mama dan saudara saya. Makanya kamu semalam saya suruh datang cepat untuk masak. Biar Aini gak usah masak.""Baik, Pak, saya masak kwetiau kuah seafood, nasi goreng, dan ada jus buah. Apa itu cukup, Pak?""Cukup, Bik. Lanjutkan saja pekerjaan kamu." Dhuha berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di luar. Ia tidak mau menganggu tidur mamanya dan juga Monic. Suara gemericik air dari wastafel dan aroma tumisan bawang putih memenuhi dapur apartemen Dhuha. Bik Emi sibuk mengaduk wajan sambil memotong sayuran di sampingn
Tok! Tok! Anton menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk dua kali. Siapa lagi kalau bukan Luna. Pria itu menekan layar ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam dua belas malam. Di luar hujan dan saat ini baru saja mati lampu. "Anton." Pria itu menghela napas. "Kenapa?""Maaf, apa kamu punya lilin lagi? Lilin di kamar udah mau habis." Anton melirik lilin yang ada di lantai kamar yang juga tinggal kurang lebih lima senti saja. Pria itu akhirnya membuka pintu kamar. "Di dapur gak ada?" Luna menggelengkan kepala. "Ya sudah, tunggu sebentar." Anton berjalan ke dapur, sedangkan Luna masuk ke kamar yang dulu pernah ia tiduri selama empat tahun lamanya. Kamarnya masih sama, ranjangnya juga. Ia bisa melihat keadaan kamar itu dari temaram cahaya lilin. Lalu ia melihat ke arah dinding yang biasanya ada foto pernikahannya, tetapi kini sudah tidak ada. Foto pernikahan di mana posenya seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Beda dengan Anton yang tersenyum. "Ngapain kamu di sini?" tanya Anto
"Jadi, lo berangkat malam ini ke Surabaya?" Dhuha mengaduk latte-nya dengan malas, matanya mengamati Hakim yang tampak sibuk memeriksa pesan di ponselnya. Kedua sepupu itu ketemu di sebuah kafe dekat dengan kantor Hakim. "Iya, gue udah pesen tiket tadi pagi," jawab Hakim tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Resepsi pernikahannya Kinanti kan besok pagi. Gue nggak mungkin datang telat. Mama, papa, sama Amel udah di sana dari jumat karena menyaksikan aksi nikah. Lo beneran gak datang?" "Kayaknya bakal rame, ya. Semua keluarga ngumpul," Dhuha menyesap minumannya."Iya, kalau lagi ada momen nikahan, emang selalu kumpul kan. Mami Maria juga gak datang kayaknya karena masih belum pulih ya?" tanya Hakim. Dhuha pun mengangguk. Ia yang melarang mamanya terbang ke Surabaya karena kondisi kesehatan. "Gue udah transfer langsung ke Kinanti. Dari gue sama mama. Mungkin kalau mama udah enakan, baru ke sana." Hakim pun mengangguk mafhum. "By the way, gimana kabar Amel? Udah lama gue n
“Amel, kamu yakin nggak mau mencoba mengenal Levi lebih jauh?” suara Viona terdengar lembut, tapi tetap mendesak.Amel menatap ibunya dengan alis bertaut. Ia baru saja turun ke ruang makan untuk sarapan, tapi Viona sudah memulai lagi topik yang sama. “Ma, aku sudah bilang, aku masih sama Anton. Aku nggak tertarik untuk mengenal siapa pun lagi. Mama tahu kan, aku perempuan yang jarang sekali pacaran dan baru kali ini aku senang sama lelaki dewasa yang bertanggung jawab."Viona menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Fahri yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Amel, kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Anton itu... ya, kamu tahu sendiri, dia punya banyak masalah. Dia duda dengan satu anak. Kami nggak yakin dia bisa membuatmu bahagia. Apalagi dia duda bercerai, bukan ditinggal meninggal istrinya. Mama dan papa harap, kamu mau memikirkan perkenalan dengan Levi. Just friends, girl!"“Papa, Mama, aku tahu kalian nggak setuju sama hubungan kami,” jawab Amel, suaranya
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter