Alex melempar dasi yang sejak tadi melilit lehernya ke atas sofa ruang tamu. Tubuhnya yang letih setelah seharian bekerja di kantor membutuhkan segelas teh hangat dan senyuman lembut istrinya. Namun, hari ini rumah terasa dingin meski pendingin ruangan sudah dimatikan. Tak ada suara langkah Aini menyambutnya, apalagi tawa kecilnya yang biasanya menggema. Biasanya, begitu turun dari mobil, istrinya sudah mengintip dari jendela kamar, lalu tersenyum padanya. "Ini kenapa sepi banget?" gumam Alex, berjalan menuju dapur.Pintu dapur setengah terbuka, dan dari sela-sela celah itu, Alex bisa melihat punggung Aini yang tegak, membelakanginya. Kedua tangan istrinya sibuk merapikan kue-kue yang tampak baru saja selesai dipanggang. Tapi ekspresi di wajahnya—ketika akhirnya Alex mendekat dan melihat dengan jelas—sama sekali bukan ekspresi bahagia."Aini," panggil Alex lembut, mencoba menarik perhatian. Namun, Aini tak menoleh.Dia tahu ada yang salah. Biasanya, Aini akan melompat kecil, mengha
“Jadi, konsep pembangunan hotel ini mengutamakan efisiensi energi dan arsitektur berkelanjutan,” ujar Dhuha tegas sambil mengarahkan telunjuknya ke layar proyektor. Di hadapannya, beberapa vendor dari perusahaan konstruksi terkenal menyimak dengan saksama. “Kami ingin memastikan bahwa setiap elemen, mulai dari struktur bangunan hingga sistem pengelolaannya, mendukung prinsip ramah lingkungan.”Seorang pria dari pihak vendor, berkacamata dengan jas abu-abu, mengangkat tangan. “Tuan Dhuha, untuk sistem pengelolaan limbah, apakah Anda sudah memiliki mitra spesifik atau kami yang harus menyediakan rekomendasi?”Dhuha mengangguk pelan. “Kami sudah berdiskusi dengan beberapa pihak, tapi tentu saja, masukan dari Anda akan sangat membantu. Saya ingin hasil akhir yang tidak hanya memuaskan dari segi estetika, tetapi juga fungsional.”Hakim, yang duduk di sisi kanan Dhuha, memperhatikan suasana dengan wajah tenang. Sebagai sepupu sekaligus partner bisnis, ia kerap menjadi penyeimbang ketika D
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar. Aini duduk di tepi ranjang, termenung. Pikirannya melayang jauh, memikirkan situasi rumah tangganya yang semakin rumit. Alex, suaminya, masuk ke kamar sambil melonggarkan dasi yang belum rapi sepenuhnya. Pria itu sudah rapi akan berangkat bekerja, tetapi balik lagi ke kamar hingga membuat Aini terheran-heran. “Aini, aku butuh bicara denganmu,” katanya dengan nada dingin.Aini mendongak, tetapi raut wajahnya tetap datar. “Apa lagi, Mas? Soal HP aku atau tab Izzam?"Alex mendekat dan duduk di sebelahnya. Tangannya meraih tangan Aini, tetapi wanita itu dengan halus menariknya. “Aku ini suamimu. Aku punya hak atasmu, atas perhatianmu, atas cintamu.”Aini menghela napas. “Mas, aku sedang tidak ingin membicarakan ini sekarang. Memangnya aku pernah gak perhatiin kamu? Kamu nya aja yang sibuk. Sibuk berpikiran buruk sama istri sendiri!"“Apa maksudmu, Sayang? Kamu selalu menghindar dariku!” Alex menaikkan nada suaranya, w
“Pak Alex, saya rasa ini tidak benar…” Suci, seorang OB wanita berusia akhir dua puluhan, mencoba melontarkan penolakan yang terdengar setengah hati. Ia berdiri memunggungi Alex, tubuhnya kaku, tetapi getaran suaranya menunjukkan ada rasa ragu di sana.Alex mendekatinya dari belakang, suaranya rendah namun tegas. “Suci, aku tahu kamu butuh uang. Gaji ini takkan cukup kalau hanya untuk biaya sekolah adik-adikmu, bukan?”Suci terdiam sejenak, seolah memikirkan tawaran itu. Alex melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih persuasif, “Mulai bulan ini, aku akan menaikkan gajimu. Anggap saja ini bentuk apresiasiku atas kerja kerasmu.”Suci berpaling, matanya beradu dengan Alex. “Tapi, Pak… saya takut…” katanya pelan.“Tak perlu takut. Tidak ada yang akan tahu,” balas Alex dengan nada meyakinkan."S-saya belum pernah melakukannya, Pak." Alex menelan ludahnya. Adakah di jaman sekarang, wanita masih orisinil? "Pelan-pelan. Saya akan pelan-pelan. Kita gak punya banyak waktu. Aku sudah tak bis
"Pak Heri, saya pinjem motor!"Satpam bernama Heri itu mengangguk kaku. "B-boleh, Pak." Heri segera turun dari motor, membiarkan Alex duduk di depan. Alex juga mengambil helm yang masih menempel di kepala Heri. "Saya buru-buru, saya pinjam dulu." "Baik, Pak, hati-hati di jalan." Alex melaju cepat di atas motor matic lama milik Heri. Satpam kantor yang sudah lama mengabdi di perusahaannya. Lelaki itu melaju kencang, hingga motor yang ia kendarai bergetar setiap kali melewati jalan berlubang. Matanya terus bergerak, menatap setiap mobil yang lewat. Setiap sudut jalan yang mungkin menjadi tempat Aini berada. Kecemasan menyelimutinya sejak ia tiba di rumah hanya untuk mendapati bahwa istrinya yang ternyata tidak ada di rumah. Bu Asma muncul dari ruang tengah, masih dengan kerudung yang belum rapi. “Alex? Tumben pulang pagi-pagi. Ada yang ketinggalan?” tanyanya heran.Alex menggeleng. "Nggak, Ma. Aini mana?" Alex membuka pintu kamar dengan kasar. Namun, tidak ada istrinya di dalam.
“Dhuha, Aini ada menghubungi kamu?” tanya Alex tanpa basa-basi. Nada suaranya tajam, hampir seperti desis ular."Aini menghubungi aku? Yang benar saja! Aini bukan tipe wanita seperti itu. Tidak ada kontak apapun antara aku dan Aini sejak kalian menikah. Kenapa? Mau ngabarin kalau Aini hamil? Mau pamer?"Alex tidak langsung menjawab. Nafasnya terdengar berat di ujung telepon, seperti menahan emosi. “Kalau sampai ternyata dia ada sama kamu, atau menghubungi kamu, aku enggak akan tinggal diam, Dhuha!"Dhuha mengernyitkan dahi. “Hei, pelan-pelan dulu, Lex. Kenapa lo bawa-bawa nama gue? Kalau ada masalah sama Aini, itu urusan kalian berdua. Jangan sembarangan nuduh! Tunggu, Aini ada sama gue? Waw--- apa Aini pergi gak bilang-bilang suaminya yang tampan?"“Gue enggak nuduh,” potong Alex. “Gue cuma ngingetin. Kalau gue sampai tahu lo ada hubungannya sama ini, urusannya bakal panjang.”Sambungan telepon terputus sebelum Dhuha sempat merespons. Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur
“Suci, kenapa kamu nggak berangkat kerja hari ini?” suara Bu Rahmi terdengar dari dapur, sedikit meninggi karena ia menduga putrinya masih berada di kamar.Suci yang tengah duduk di atas ranjang dengan wajah pucat langsung menoleh ke arah pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku nggak enak badan, Bu. Sudah ijin hari ini." Ibunya jangan sampai tahu jika ia berhenti kerja di kantor yang sekarang. Bisa-bisa ibunya terkena serangan jantung. Bu Rahmi melangkah masuk ke kamar dengan tangan yang masih memegang kain pel basah. “Nggak enak badan? Kok nggak bilang dari tadi? Kemarin baik-baik saja, kan?” wanita itu menatap wajah sang Putri dengan seksama. Suci hanya menunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tubuhnya memang terasa berat, tetapi bukan karena sakit fisik. Pikiran dan hatinya yang terluka membuat ia merasa lemah. Ia tidak bisa tidur semalam, terus memikirkan ancaman Alex, bosnya di kantor.Huk! Suci berpura-pura batuk dan men
"Katakan ini tidak benar, Lex! Wanita ini hanya ingin fitnah kamu'kan?" Bu Suci masih menunggu putranya bersuara. “Pak Alex, saya minta pertanggungjawaban, Pak,” suara Suci bergetar, tapi tegas. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat memerah menahan emosi.Alex memijat pelipisnya, berusaha menahan kesal yang sudah mendidih. “Suci, kamu nggak bisa ngomong sembarangan begini. Apa yang terjadi kemarin itu... cuma kesalahan. Aku nggak punya niat apa-apa sama kamu. Aku khilaf. Lagian kamu juga menikmati. Kamu malah mendesah nakal." Alex mencibir. “Khilaf? Itu alasan Bapak?” Suci menatapnya tajam. Ia berdiri di tengah ruang tamu mewah rumah Alex, seperti seorang hakim yang mengadili terdakwa. “Pak Alex sudah menghancurkan hidup saya, dan sekarang bilang itu cuma khilaf? Saya nggak peduli! Saya mau Bapak menikahi saya. Keperawanan saya tidak akan bisa kembali lagi, meskipun Bapak keluarkan uang ratusan juta. Bapak sendiri yang bilang , bahwa semua baik-baik saja dan saya jangan taku
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.