Semua Bab Wanita Gila Mencari Cinta: Bab 21 - Bab 30

120 Bab

Bencana Cinta Sang Adik

Selesai prahara kecil di meja makan, Huda pergi bersama Laura. Tidak memberitahu anak anak mereka arah dan tujuan. Tidak berpesan apa pun. Aster yang tidak mendapat jawaban atas keingintahuannya, masuk ke kamar. Ada baiknya dia membasuh diri. Agar segar dan bersih, sehingga bisa berpikir jernih. Sedang asyik mengeringkan rambut, pintu kamarnya diketuk. Suara Panji memanggil dari luar. Aster mematikan hair dyer dan membukakan pintu. "Mbak, kamu mau pulang jam berapa?" tanya Panji. Pandangan Panji tidak terarah ke kakaknya. Berlari ke sana ke sini. Gelagatnya tidak mudah diperkirakan. "Besok pagi pagi. Dari rumah langsung ke kantor. Ada apa?" "Boleh bicara sebentar?" "Kamu nggak siap siap buka warung?" "Sudah sama anak anak. Sebentar saja, Mbak." "Mau bicara soal apa?" Panji tidak lantas menjawab. Dia mendorong kakaknya masuk ke dalam kamar. Menarik duduk di tepi tempat tidur. Terasa jelas kegundahan yang dirasakan oleh sang adik. Duduknya merunduk. Punggung meleng
Baca selengkapnya

Di Bawah Bulan Purnama

Aster mengintip ke teras. Papanya duduk membaca buku. Dia menyelinap keluar, duduk di kursi sebelah Huda. "Pa, masih marah?" tanya Aster lirih. Huda menggeram saja. Masih fokus pada buku pertanian yang dibaca. Tidak menghiraukan Aster yang memijat pundaknya. "Aster sudah bicara sama Panji. Tadi sudah cerita banyak." "Apa yang banyak? Cuma satu cerita." "Ya, gitu, Pa. Garis besarnya. Aster bayangin saja malu, Pa. Apa lagi papa waktu itu di sana langsung." "Papa nggak malu. Papa di sana jemput adik kamu pulang. Ngapain malu di tempat hajatan orang." "Terus kenapa papa masih marah sama Panji?" "Ya, gimana nggak marah, As. Kalau ada apa apa sama Panji gimana coba? Misal dia dituduh bawa lari istri orang. Mau taruh di mana?" "Muka papa?" "Hush! Nggak sopan kamu. Gitu lah, As. Kamu paham lah. Masak kayak gitu kamu juga nggak tahu." Aster mengangguk angguk. Dia melanjutkan memijat lengan papanya. Seraya memikirkan perkataan sang ayah. "Pa, misal Panji sudah ketemu sam
Baca selengkapnya

Senin Pagi

/Kamu berangkat kerja jam berapa?/ Aster menatap kosong pesan yang dikirim oleh David dini hari. Pukul dua pagi sudah mengirim pesan. Ada apa gerangan lelaki ini. Apa dia tidak tidur? Pada hari Minggu pula. Apa dia bangun sepertiga malam. Oh, tentu saja. Itu bisa terjadi. Seorang lelaki bangun pagi buta dan ingat untuk mengirim pesan pada seorang gadis. Tentu saja Aster baru membukanya menjelang subuh. Dia bersiap pulang. Sambil membalas pesan tersebut. /Baru berangkat dari rumah. Sampai kantor mepet jam masuk. Kenapa, Dav?/ Balasan David datang secepat kilat. Baru juga laporan terbaca sampai. Jawaban sudah masuk. /Mau ajak sarapan. Ya, sudah. Nanti makan siang saja bisa bertemu?/ /Tentu bisa. Kan memang mau meeting jam 1, Dav. Apa kamu tidak ingat?/ /Ya ampun! Iya. Oke. Bertemu jam 1. Aku jemput di kantor kamu ya./ Aster melongo. Ada pun klien jemput penyedia jasa macam ini. Namun dia tidak menolak pula. Dia menyetujui ajakan David. Kemudian baru terpikir. Bukan
Baca selengkapnya

Seakan Sudah Ratusan Hari

"Baik, Pak. Kami akan memperbaiki sesuai hasil meeting hari ini. Kurang lebih empat hari lagi akan kami perbarui melalui surel terlebih dahulu," ujar Fuad. David mengangguk. Dia menyalami uluran tangan Fuad. Sekretarisnya juga melakukan hal yang sama. Sekretaris David membawa berkas dan barang barang. Dia berpamitan pada David serta Fuad dan Aster. Pertama yang meninggalkan tempat mereka bertemu. Fuad menyenggol siku Aster. Namun Aster menyuruhnya pulang sendiri. Dia beralasan hendak menemui teman. "Teman nonton bintang?" kata Fuad penuh tuntutan. Kerasnya suara Fuad membuat David menoleh. Dia menatap penasaran pada rekan Aster tersebut. Hanya saja tidak memberikan komentar apa pun. Seakan paham dengan situasi, David mengucapkan salam. Dia bergerak menuju tempat parkir terlebih dahulu. Di belakangnya Fuad dan Aster masih beradu mulut. "Kepo ah. Kayak apa si teman nonton bintang," goda Fuad makin menjadi. "Nggak! Bukan. Ada urusan lain. Sana kamu bawa mobil pulang juga
Baca selengkapnya

Tempat Tinggal

Jalan menuju cluster begitu panjang. Rumah David ada di paling ujung. Berhalaman paling luas. Ada sekuriti yang membukakan pagar. Dia sama kaget dengan sekuriti gerbang melihat Aster yang berada di belakang kemudi. David melambaikan tangan saja. "Aku langsung pulang ya. Ada orang di rumah yang bisa bantuin kamu kan?" pamit Aster. David mendesis kesakitan. Dia menggeleng, lalu mengangguk. Tangannya menahan tangan Aster. "Kenapa?" heran Aster sambil tertawa kecil. David memberengut. Dia mengetik di ponsel. Ditunjukkan pada Aster segera. /Mampir dulu. Temani makan. Aku sudah minta ART ku buat masak bubur./ Aster mendengkuskan tawa. Dia pun menyetujui. Dia mengikuti David yang masuk ke dalam rumah berpintu tinggi besar. "Pak David sudah sampai," sambut seorang wanita paruh baya. Dia memandang kaget pada Aster. David melambaikan tangan. Dia berharap ART nya paham, tapi Aster yang menerjemahkan. "Saya Aster, Bu. Teman Pak David. Pak David habis periksa gigi, jadi belum b
Baca selengkapnya

Melamun

Pundak Aster ditusuk ujung tumpul pensil. Sampai mengaduh pelan Aster. Dia menoleh, mendapati Fuad si pelaku senyam senyum. "Kenapa sih?" sungut Aster. "Kamu itu yang kenapa, Mbak. Hari hari manyun terus," balas Fuad. Dia menarik kursi, duduk di hadapan meja Aster. Tangannya disandarkan ke meja. Tidak peduli menekan tumpukan berkas. "Proyek proyek deal, kenapa malah jelek gitu mukanya. Invoice seret ya?" "Enggak. Amit amit. Klien klien kita lancar jaya. Belum tenggat waktu untuk bayar saja." "Terus, kenapa jelek gitu?" Aster menyentuh muka. Dia mengusap usap seakan memetakan titik jelek yang disebutkan Fuad. Namun tiada dia temukan. Baginya dia baik baik saja. Tidak sedang jelek secara psikis mau pun fisik. Menurutnya Fuad yang berlebihan. "Ckck! Cerita deh. Ada apa lagi? Cowok nggak modal berutan
Baca selengkapnya

Ketika Lampu Mati

David melambaikan tangan. Dia berdiri di samping mobilnya. Berada di parkir basement gedung kantor. Aster menoleh ke kiri kanan. Sepi tidak ada orang. Dia pun berlari kecil mendatangi David. "Kenapa? Takut ketahuan?" goda David. "Bukan. Takut diculik alien," sahut Aster sekenanya. David tertawa pelan. Dia membukakan pintu agar Aster bisa naik. Lalu memutari mobil, duduk di kursi kemudi. "Aku sudah beli tiket. Film romantis thailand. Nggak apa apa kan?" ujar David. "Oke, nggak apa apa. Asal bukan horor," jawab Aster. "Tidak lah. Aku saja tidak suka horor." "Ih, iya kah? Cowok cowok biasanya suka horor." "Yeah, aku bukan cowok cowok biasanya." Aster mencebik. Dia membenarkan sabuk pengaman. Duduk beringsut sampai nyaman. "Baguslah. Tidak memakai film horor sebagai alasan buat jadi pahlawan ke cewek." "I know metode yang lebih keren." "Sound fishy." David mendengkus. Dia menggeleng geleng tak suka. Dia bilang kalau metode film horor sudah terlalu kampungan.
Baca selengkapnya

Makan Ramen Berdua

"Kita makan dulu yuk," ajak David. Tanpa ragu David memegang tangan Aster. Dia pegang pergelangannya. Seakan memang di sanalah seharusnya berada. "Em..., tapi tempat lain saja. Kalau di sekitar sini nanti masih ketemu mereka," jawab Aster. Dia pun membiarkan David memegangnya. Jantungnya sudah bekerja sama baik. Perutnya saja yang terus bergejolak panas. David mengangguk. Dia membawa Aster bergegas ke tempat parkir. Mereka menuju mobil. Dengan aman keluar dari mall. Bergulir di jalan raya yang tidak akan bertemu Fuad dan kakak kembarnya. Juga Dini yang pastinya tengah ada di rumah. David membawa Aster ke restoran jepang. Mereka memesan ramen. Aster melihat David makan dengan lahap. "Kukira makanan timur tengah kesukaanmu?" kata Aster. "Ya. Aku suka banyak jenis makanan. Pedas pun suka," beritahu David.
Baca selengkapnya

Jadi Berbeda ?

Mereka tidak melihat bintang. Tidak berusaha sedikit pun. Langit sempat cerah tanpa polusi. Selesai makan David mengantarkan Aster sampai ke rumah. Tanpa adanya percakapan. Hanya sempat berdebat singkat di depan kasir restoran. Namun David yang menang. Dia mengancam akan membuat revisi kalau Aster nekat membayar. Kemudian mereka menjadi patung bergerak. David menghentikan mobil di depan pagar. Aster berkutat dengan sabuk pengaman. Sambil menahan senyum, David membantu melepaskan tali tersebut. "Kurasa aku harus membawanya ke bengkel. Dia berulang kali menolak membebaskanmu," kelakar David. "Jangan jangan pemiliknya yang sengaja ngrusak," balas Aster. Dia memutar badan. Bersegera menekan handle pintu. Hendak melangkah keluar. Dan dia pu
Baca selengkapnya

Masak Tidak Rindu

"Siapa itu, Mbak?" heran Panji melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah. Mereka berdua sampai di rumah setelah mampir ke beberapa tempat. Aster tidak segera membawa adiknya pulang. Mereka makan di luar dan mampir belanja. Aster pun mengamati mobil tak asing itu. Bukan kah itu salah satu mobil David. Bagaimana bisa ada di depan rumahnya. Maka Aster segera memasukkan mobil ke teras. Dia keluar kembali menghampiri mobil tersebut. Tidak dijawab sama sekali keingintahuan Panji. Pintu mobil terbuka begitu Aster mendekat. David berjalan tegap menghampiri Aster. Dia tampak kusut berantakan. Masih memakai celana training dan hoodie longgar. Dia belum bercukur dilihat dari mukanya yang abu samar di atas bibir dan dagu. Malah mungkin hanya mencipratkan air ke muka. Rambutnya pun berantakan. Benar benar bukan David yang perlente. Kesan angkuh wibawanya tersapu. "David? Kamu nggak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status