Semua Bab Wanita Gila Mencari Cinta: Bab 11 - Bab 20

120 Bab

Belum Menyerah

Dikarenakan pekerjaan yang tidak bisa lagi ditangguhkan. Tenggat waktu juga makin mendekat. Ketiga pekerja keras ini sampai lembur. Sore hari Panji sempat menelepon Aster. Dia memberitahu kalau akan datang ke kantor. Aster pun meminta sang adik membawakan makanan untuk mereka semua. "Besok kunjungan ke pabrik ATK, Mbak. Jam 9 sudah sampai sana," beritahu Dini sebelum mereka pulang. "Oke. Bertiga atau siapa saja?" jawab Aster. "Ya, bertiga dong. Siapa yang mau nyetir coba," sahut Dini. "Mbak Aster dong. SIM aku belum jadi," timpal Fuad. "Pan, kamu besok udah pulang?" tanya Aster. Panji yang duduk santai makan camilan, menoleh terkejut. Dia menelan kunyahan di mulut. Wajahnya jadi terlihat begitu lucu. "Ya, iya sih, Mbak. Tapi ya..., ya misal perlu dibantu ya aku pertimbangkan," jawab Panji. "Nggak, kamu urus soal Reno aja deh, Pan. Urusan kerjaan biar kami saja," sahut Aster. Dini dan Fuad menukar pandang. Mereka pun beranjak dari kursi masing masing. Keduanya menga
Baca selengkapnya

Tenang yang Dinanti

Sedari pagi bunyi ketikan keyboard dan pencetan tetikus. Kadang suara printer mencetak. Dering telepon sekali dua kali. Segelas kopi mengepul dibawa dari pantry ke meja kerja. Berkas digeser agar aman. Aroma kopi hitam kental tanpa pemanis menguar. "Sudah nggak ke kantor lagi, kan?" tanya Dini. Dia memandangi Aster yang berjalan menuju mejanya. Senyum lembut terpancar. Ada kekhawatiran terpancar. "Iya. Akhirnya mau tanda tangan perjanjian bayar utang dan nggak akan gangguin aku, keluargaku dan teman temanku," jawab Aster. Aster mengambil berkas yang diangsurkan Dini. Dia membaca sambil berdiri. Begitu berkonsentrasi. Meski sekilas dia teringat bagaimana Panji dan temannya memaksa Reno menyerah. Semi mengancam sampai surat perjanjian resmi ditandatangani. Masih terasa tatapan penuh amarah yang terpancar dari mata Reno. Tengkuk Aster jadi merinding. Dia menutup berkas, membawanya ke meja sendiri. Duduk bersandar penuh ke kursi. "Uang yang dipinjam termasuk uang kantor, D
Baca selengkapnya

Ternyata Bukan Begitu

"Kapan mau pulang lagi?" tanya Huda melalui telepon. "Belum tahu, Pa. Baru banyak kerjaan. Ini mau approach proyek proyek baru. Apa ada masalah, Pa?" jawab Aster. "Nggak ada. Si Bisma, teman papa yang kemarin itu lho, mau datang lagi ke rumah. Biasa, diantar anak cowoknya yang itu." "Alfian? Nggak bisa, Pa. Aster tetap belum bisa pulang." "Hehm! Kalau pintu gimana? Udah diukur ukur belum?" "Pa..., jangan dulu. Nanti ya, Pa. Nanti..., masih lama. Mendingan papa cari tahu soal sepupu Alfian. Aster masih penasaran." "Oh, kamu mau coba kenal Alfian? ASAL? Wah, bisa juga nih. Tapi kurang enak." "Papaaaa!" "Ini aja, Terfian. Terfian terfana terbata." Aster mengunci bibir. Dia menarik nafas dalam dalam. Belum saatnya mengamuk pada orang tua. Aduh, tidak boleh marah sebenarnya. Oh, malah jangan. Ini cobaan Aster sebagai anak. Betapa beruntungnya memiliki ayah sehebat Huda. Tenanglah wahai jiwa yang bertahan. "Kan, bener kata papa. Ku terfian aku menunggu." "Papa, Ast
Baca selengkapnya

Bumbu Pedas

Dari restoran timur tengah, Aster dan David berpindah ke kafe tak jauh. Keduanya memilih berjalan kaki dari pada memindahkan mobil masing masing. Awalnya Aster hendak melanjutkan ke bioskop sesuai rencana awal. Namun David menawarkan dessert sebagai permintaan maaf sudah menyela mejanya. Aster tidak berani menolak. Dia memikirkan nasib perusahaan. Kalau sampai menyinggung David, nanti kesempatan kerja sama bisa terpengaruh. "Saya sudah minta sekretaris saya untuk kirim jadwal appointment. Kalau hari Selasa, kamu bisa?" Tiba tiba David membahas pekerjaan. Dia mengusap tengkuk. Tampaknya dia tidak berniat mengatakan itu, tapi terlanjur. "Em..., bisa sih. Coba nanti sama saya periksa ke rekan saya." "Oke. Jangan dibicarakan sekarang ya. Ini weekend. Kita bersantai dulu." Aster menaikkan alis. Dia menyunggingkan senyum geli. David balas mengerutkan dahi padanya. "Kenapa? Kok kamu kayak gitu?" "Enggak, aku, maksud saya. Anda bisa bersantai juga rupanya." "Hei. Memangnya t
Baca selengkapnya

Janji yang Terlupa

"Perlu ditelponkan klinik gitu nggak?" bisik Fuad. Dini melambaikan tangan. Dia masih memperhatikan atasan sekaligus rekan kerja. Wanita itu senyam senyum sendiri di kursinya sambil memandang ponsel. "Nanti, Fu. Tunggu satu jam. Misal makin parah, baru kita telpon klinik." "Oke, Din. Kita gantian pantau ya. Aku mau ke bawah ambil surat." "Yoi. Hati hati." Fuad berjalan melewati meja Aster. Dia tak lepas memandang rekan kerjanya tersebut. Dia sampai memicingkan mata. "Permisi, Mbak. Numpang lewat," ujar Fuad agak keras. Aster terlonjak. Dia menjatuhkan ponselnya. Tampak wajahnya menjadi memerah sadar ada Fuad di sana. "Wah, Din, ponsel kantor masih ada nggak?" seru Fuad. "Nggak perlu," seru Aster yang turun mengambil ponsel. "Nitip nggak, Mbak? Aku mau turun nih," kata Fuad. Aster menolak. Tidak ada yang dia perlukan. Semua sudah tercukupi. "Ya, iya lah," goda Fuad sebelum bergegas keluar kantor. Aster menggerutu pelan. Dia mengusap ponselnya. Untung saja tida
Baca selengkapnya

Makan Siang dan Kontrak

Dini mengejar Aster yang hampir menutup lift. Tangannya terangkat melambaikan sebuah map. Aster pun lekas menekan lift agar tidak menutup. Aster melangkah keluar. Dia menghampiri Dini yang menjejalkan map ke tangan Aster. Pun menyuruh Dini mengatur nafas sebelum bicara padanya. "Kopian presentasinya ketinggalan. Sama minta tolong nanti kirim ke ekspedisi. Sama jangan lupa pak David alergi udang," beritahu Dini. "Hah? Alergi udang?" ulang Aster. "Sekretarisnya yang bilang. Katanya minta tolong untuk diingatkan. Pak David suka lupa kalau punya alergi." "Oh, oke, oke. Sama kirim ke chat ya, Din. Biar nggak lupa juga." "Noted. Yaudah, sana buruan jalan. Doi super on time." Aster berterima kasih. Dia pun bergegas masuk ke lift lagi. Seraya menyimpan map ke dalam tas. Dengan mobil dia menuju restoran tempat pertemuan. Dia memeriksa tujuan pada oeta digital. Belum
Baca selengkapnya

Menuju Rumah

"Nanti berangkat jam berapa, Mbak?" tanya Dini. Aster mengusap muka. Dia mengecek jam. Jam pulang masih satu jam lagi. "Pulang kerja langsung. Ngomong omong, apa kita bikin jadwal kerja baru? Sabtu dan Minggu libur?" jawab Aster. "Terus hari biasa ganti jam juga?" "Nggak perlu lah. Jam setengah sembilan sampai jam setengah lima sudah cukup kan? Lagian cuma kita bertiga." "Sekarang om suruh tiap weekend pulang ya?" "Nggak lah. Aku kepikiran saja. Sabtu kita masih kerja sampai jam dua belas. Apa nggak sebaiknya kita bikin sesuatu yang menyegarkan?" "Es buah?" Aster melempar pensil ke Dini. Mereka duduk duduk di sofa tengah ruangan. Dekat pun melempar benda tanpa menyakiti. "Seriusan ini. Coba deh nanti kamu cek
Baca selengkapnya

Cerita Sepupu

"Jadi Bisma punya ibu, ibunya punya ibu. Ibunya ibu Bisma punya adik. Adiknya ibunya ibu Bisma punya anak. Anaknya adiknya ibunya ibu Bisma punya anak bungsu cewek," terang Huda. Aster manggut manggut. Dia menyendok jagung lagi. Makan sambil membayangkan garis keluarga tersebut. "Paham nggak?" "Terus ceritanya gimana?" "Si anak bungsu itu sekolahnya di kota kamu kerja. Kalau akhir pekan pulang ke sini. Kalau Alfian itu kerja di kota sebelah. Tapi tiap hari pulang pergi." "He em?" "Alfian dikirim kantor ke cabang di kota kamu, sering lah ketemu sama si anak bungsu." "Yaa?" "Ya kalau sering ketemu gimana sih, As?" "Bosen?" "Kamu kayak gitu sama Redo?" "Nggak, Pa. Kemarin nggak ada bosen. Bucin tolol." "Nah, sama itu. Alfian pacaran sama si anak bungsu." "Masak?!" "Bisma baru tahu gara gara aku tanya tanyain. Dia kaget juga. Persis kayak kamu. Masak?! Ya, papa bilang papa sendiri nggak tahu. Kan papanya Bisma sendiri, bukan aku." "Pa, lanjutannya?" "Ya, me
Baca selengkapnya

Lari Pagi

Kamar Aster diketuk dari luar. Suara panggilan Huda terdengar nyaring. Aster yang sudah terjaga pun bangkit. Dia membuka pintu, melonggokkan kepala. Hampir kena ketuk tangan Huda. Langsung menarik mundur kepala. "Ayo, 5K!" ajak Huda. "2.5 aja, Pa," jawab Aster. "Udah, buruan." Aster pun masuk kembali. Dia mempersiapkan diri. Lantas keluar menyusul Huda yang melakukan pemanasan di halaman. Ikut melakukan pemanasan sebelum mulai berlari. Seperti adatnya, berlari keluar halaman rumah menuju lapangan kampung. "Kamu deg degan?" tanya Huda sebelum sampai lapangan. "Enggak. Biasa saja, Pa," jawab Aster. "Nggak sehat kamu." Aster menaikkan alis. Tak habis pikir apa lagi ini yang ayahnya maksudkan. Apa dari Aster yang tidak sehat kalau dia tidak deg degan. "Tuh, ada Amar," beritahu Huda. Kepala Huda terangkat ke arah sebelah utara pojok lapangan. Di mana permainan bola sepak berada. Sang kiper pun berdiri di sana depan gawangnya. Aster menggeleng. Dia berlari mendahul
Baca selengkapnya

Ingin Tahu

"Ngapain anak itu?" Huda bertanya ingin tahu. Aster mengedikkan pundak. Dia mempercepat langkahnya. Seakan ingin memberitahu bahwa dia tidak mau membicarakan hal tersebut. Huda pun menangkap maksud dari sang putri. Ikut mempercepat jalan kaki. Malahan diajak berlomba cepat cepatan sampai ke rumah. "Nak, berhenti sebentar," pinta Huda menghentikan Aster. Mendengar suara Huda yang seakan kepayahan, Aster pun lekas berhenti. Dia memutar badan. Ayahnya tertinggal beberapa langkah di belakang. Aster bergegas menghampiri. Sigap meraih tangan Huda, membantunya berdiri. Namun Huda menampik tangan Aster. "Kenapa, Pa? Papa nggak apa apa kan? Lelah?" cemas Aster. Adanya Huda mengangkat telunjuk. Lurus ke depan, sedikit miring ke arah kanan. Pandangan Aster mau tak mau mengikuti arah tersebut. Di seberang jalan, terlihat sosok yang mereka kenal. Lelaki tinggi memakai celana jins dan kaos hitam. Sang lelaki berdiri di samping seorang gadis tak dikenal. Keduanya berada di depan minimarket.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status