"Kapan mau pulang lagi?" tanya Huda melalui telepon. "Belum tahu, Pa. Baru banyak kerjaan. Ini mau approach proyek proyek baru. Apa ada masalah, Pa?" jawab Aster. "Nggak ada. Si Bisma, teman papa yang kemarin itu lho, mau datang lagi ke rumah. Biasa, diantar anak cowoknya yang itu." "Alfian? Nggak bisa, Pa. Aster tetap belum bisa pulang." "Hehm! Kalau pintu gimana? Udah diukur ukur belum?" "Pa..., jangan dulu. Nanti ya, Pa. Nanti..., masih lama. Mendingan papa cari tahu soal sepupu Alfian. Aster masih penasaran." "Oh, kamu mau coba kenal Alfian? ASAL? Wah, bisa juga nih. Tapi kurang enak." "Papaaaa!" "Ini aja, Terfian. Terfian terfana terbata." Aster mengunci bibir. Dia menarik nafas dalam dalam. Belum saatnya mengamuk pada orang tua. Aduh, tidak boleh marah sebenarnya. Oh, malah jangan. Ini cobaan Aster sebagai anak. Betapa beruntungnya memiliki ayah sehebat Huda. Tenanglah wahai jiwa yang bertahan. "Kan, bener kata papa. Ku terfian aku menunggu." "Papa, Ast
Dari restoran timur tengah, Aster dan David berpindah ke kafe tak jauh. Keduanya memilih berjalan kaki dari pada memindahkan mobil masing masing. Awalnya Aster hendak melanjutkan ke bioskop sesuai rencana awal. Namun David menawarkan dessert sebagai permintaan maaf sudah menyela mejanya. Aster tidak berani menolak. Dia memikirkan nasib perusahaan. Kalau sampai menyinggung David, nanti kesempatan kerja sama bisa terpengaruh. "Saya sudah minta sekretaris saya untuk kirim jadwal appointment. Kalau hari Selasa, kamu bisa?" Tiba tiba David membahas pekerjaan. Dia mengusap tengkuk. Tampaknya dia tidak berniat mengatakan itu, tapi terlanjur. "Em..., bisa sih. Coba nanti sama saya periksa ke rekan saya." "Oke. Jangan dibicarakan sekarang ya. Ini weekend. Kita bersantai dulu." Aster menaikkan alis. Dia menyunggingkan senyum geli. David balas mengerutkan dahi padanya. "Kenapa? Kok kamu kayak gitu?" "Enggak, aku, maksud saya. Anda bisa bersantai juga rupanya." "Hei. Memangnya t
"Perlu ditelponkan klinik gitu nggak?" bisik Fuad. Dini melambaikan tangan. Dia masih memperhatikan atasan sekaligus rekan kerja. Wanita itu senyam senyum sendiri di kursinya sambil memandang ponsel. "Nanti, Fu. Tunggu satu jam. Misal makin parah, baru kita telpon klinik." "Oke, Din. Kita gantian pantau ya. Aku mau ke bawah ambil surat." "Yoi. Hati hati." Fuad berjalan melewati meja Aster. Dia tak lepas memandang rekan kerjanya tersebut. Dia sampai memicingkan mata. "Permisi, Mbak. Numpang lewat," ujar Fuad agak keras. Aster terlonjak. Dia menjatuhkan ponselnya. Tampak wajahnya menjadi memerah sadar ada Fuad di sana. "Wah, Din, ponsel kantor masih ada nggak?" seru Fuad. "Nggak perlu," seru Aster yang turun mengambil ponsel. "Nitip nggak, Mbak? Aku mau turun nih," kata Fuad. Aster menolak. Tidak ada yang dia perlukan. Semua sudah tercukupi. "Ya, iya lah," goda Fuad sebelum bergegas keluar kantor. Aster menggerutu pelan. Dia mengusap ponselnya. Untung saja tida
Dini mengejar Aster yang hampir menutup lift. Tangannya terangkat melambaikan sebuah map. Aster pun lekas menekan lift agar tidak menutup. Aster melangkah keluar. Dia menghampiri Dini yang menjejalkan map ke tangan Aster. Pun menyuruh Dini mengatur nafas sebelum bicara padanya. "Kopian presentasinya ketinggalan. Sama minta tolong nanti kirim ke ekspedisi. Sama jangan lupa pak David alergi udang," beritahu Dini. "Hah? Alergi udang?" ulang Aster. "Sekretarisnya yang bilang. Katanya minta tolong untuk diingatkan. Pak David suka lupa kalau punya alergi." "Oh, oke, oke. Sama kirim ke chat ya, Din. Biar nggak lupa juga." "Noted. Yaudah, sana buruan jalan. Doi super on time." Aster berterima kasih. Dia pun bergegas masuk ke lift lagi. Seraya menyimpan map ke dalam tas. Dengan mobil dia menuju restoran tempat pertemuan. Dia memeriksa tujuan pada oeta digital. Belum
"Nanti berangkat jam berapa, Mbak?" tanya Dini. Aster mengusap muka. Dia mengecek jam. Jam pulang masih satu jam lagi. "Pulang kerja langsung. Ngomong omong, apa kita bikin jadwal kerja baru? Sabtu dan Minggu libur?" jawab Aster. "Terus hari biasa ganti jam juga?" "Nggak perlu lah. Jam setengah sembilan sampai jam setengah lima sudah cukup kan? Lagian cuma kita bertiga." "Sekarang om suruh tiap weekend pulang ya?" "Nggak lah. Aku kepikiran saja. Sabtu kita masih kerja sampai jam dua belas. Apa nggak sebaiknya kita bikin sesuatu yang menyegarkan?" "Es buah?" Aster melempar pensil ke Dini. Mereka duduk duduk di sofa tengah ruangan. Dekat pun melempar benda tanpa menyakiti. "Seriusan ini. Coba deh nanti kamu cek
"Jadi Bisma punya ibu, ibunya punya ibu. Ibunya ibu Bisma punya adik. Adiknya ibunya ibu Bisma punya anak. Anaknya adiknya ibunya ibu Bisma punya anak bungsu cewek," terang Huda. Aster manggut manggut. Dia menyendok jagung lagi. Makan sambil membayangkan garis keluarga tersebut. "Paham nggak?" "Terus ceritanya gimana?" "Si anak bungsu itu sekolahnya di kota kamu kerja. Kalau akhir pekan pulang ke sini. Kalau Alfian itu kerja di kota sebelah. Tapi tiap hari pulang pergi." "He em?" "Alfian dikirim kantor ke cabang di kota kamu, sering lah ketemu sama si anak bungsu." "Yaa?" "Ya kalau sering ketemu gimana sih, As?" "Bosen?" "Kamu kayak gitu sama Redo?" "Nggak, Pa. Kemarin nggak ada bosen. Bucin tolol." "Nah, sama itu. Alfian pacaran sama si anak bungsu." "Masak?!" "Bisma baru tahu gara gara aku tanya tanyain. Dia kaget juga. Persis kayak kamu. Masak?! Ya, papa bilang papa sendiri nggak tahu. Kan papanya Bisma sendiri, bukan aku." "Pa, lanjutannya?" "Ya, me
Kamar Aster diketuk dari luar. Suara panggilan Huda terdengar nyaring. Aster yang sudah terjaga pun bangkit. Dia membuka pintu, melonggokkan kepala. Hampir kena ketuk tangan Huda. Langsung menarik mundur kepala. "Ayo, 5K!" ajak Huda. "2.5 aja, Pa," jawab Aster. "Udah, buruan." Aster pun masuk kembali. Dia mempersiapkan diri. Lantas keluar menyusul Huda yang melakukan pemanasan di halaman. Ikut melakukan pemanasan sebelum mulai berlari. Seperti adatnya, berlari keluar halaman rumah menuju lapangan kampung. "Kamu deg degan?" tanya Huda sebelum sampai lapangan. "Enggak. Biasa saja, Pa," jawab Aster. "Nggak sehat kamu." Aster menaikkan alis. Tak habis pikir apa lagi ini yang ayahnya maksudkan. Apa dari Aster yang tidak sehat kalau dia tidak deg degan. "Tuh, ada Amar," beritahu Huda. Kepala Huda terangkat ke arah sebelah utara pojok lapangan. Di mana permainan bola sepak berada. Sang kiper pun berdiri di sana depan gawangnya. Aster menggeleng. Dia berlari mendahul
"Ngapain anak itu?" Huda bertanya ingin tahu. Aster mengedikkan pundak. Dia mempercepat langkahnya. Seakan ingin memberitahu bahwa dia tidak mau membicarakan hal tersebut. Huda pun menangkap maksud dari sang putri. Ikut mempercepat jalan kaki. Malahan diajak berlomba cepat cepatan sampai ke rumah. "Nak, berhenti sebentar," pinta Huda menghentikan Aster. Mendengar suara Huda yang seakan kepayahan, Aster pun lekas berhenti. Dia memutar badan. Ayahnya tertinggal beberapa langkah di belakang. Aster bergegas menghampiri. Sigap meraih tangan Huda, membantunya berdiri. Namun Huda menampik tangan Aster. "Kenapa, Pa? Papa nggak apa apa kan? Lelah?" cemas Aster. Adanya Huda mengangkat telunjuk. Lurus ke depan, sedikit miring ke arah kanan. Pandangan Aster mau tak mau mengikuti arah tersebut. Di seberang jalan, terlihat sosok yang mereka kenal. Lelaki tinggi memakai celana jins dan kaos hitam. Sang lelaki berdiri di samping seorang gadis tak dikenal. Keduanya berada di depan minimarket.
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua