"Nanti berangkat jam berapa, Mbak?" tanya Dini.
Aster mengusap muka. Dia mengecek jam. Jam pulang masih satu jam lagi. "Pulang kerja langsung. Ngomong omong, apa kita bikin jadwal kerja baru? Sabtu dan Minggu libur?" jawab Aster. "Terus hari biasa ganti jam juga?" "Nggak perlu lah. Jam setengah sembilan sampai jam setengah lima sudah cukup kan? Lagian cuma kita bertiga." "Sekarang om suruh tiap weekend pulang ya?" "Nggak lah. Aku kepikiran saja. Sabtu kita masih kerja sampai jam dua belas. Apa nggak sebaiknya kita bikin sesuatu yang menyegarkan?" "Es buah?" Aster melempar pensil ke Dini. Mereka duduk duduk di sofa tengah ruangan. Dekat pun melempar benda tanpa menyakiti. "Seriusan ini. Coba deh nanti kamu cek"Jadi Bisma punya ibu, ibunya punya ibu. Ibunya ibu Bisma punya adik. Adiknya ibunya ibu Bisma punya anak. Anaknya adiknya ibunya ibu Bisma punya anak bungsu cewek," terang Huda. Aster manggut manggut. Dia menyendok jagung lagi. Makan sambil membayangkan garis keluarga tersebut. "Paham nggak?" "Terus ceritanya gimana?" "Si anak bungsu itu sekolahnya di kota kamu kerja. Kalau akhir pekan pulang ke sini. Kalau Alfian itu kerja di kota sebelah. Tapi tiap hari pulang pergi." "He em?" "Alfian dikirim kantor ke cabang di kota kamu, sering lah ketemu sama si anak bungsu." "Yaa?" "Ya kalau sering ketemu gimana sih, As?" "Bosen?" "Kamu kayak gitu sama Redo?" "Nggak, Pa. Kemarin nggak ada bosen. Bucin tolol." "Nah, sama itu. Alfian pacaran sama si anak bungsu." "Masak?!" "Bisma baru tahu gara gara aku tanya tanyain. Dia kaget juga. Persis kayak kamu. Masak?! Ya, papa bilang papa sendiri nggak tahu. Kan papanya Bisma sendiri, bukan aku." "Pa, lanjutannya?" "Ya, me
Kamar Aster diketuk dari luar. Suara panggilan Huda terdengar nyaring. Aster yang sudah terjaga pun bangkit. Dia membuka pintu, melonggokkan kepala. Hampir kena ketuk tangan Huda. Langsung menarik mundur kepala. "Ayo, 5K!" ajak Huda. "2.5 aja, Pa," jawab Aster. "Udah, buruan." Aster pun masuk kembali. Dia mempersiapkan diri. Lantas keluar menyusul Huda yang melakukan pemanasan di halaman. Ikut melakukan pemanasan sebelum mulai berlari. Seperti adatnya, berlari keluar halaman rumah menuju lapangan kampung. "Kamu deg degan?" tanya Huda sebelum sampai lapangan. "Enggak. Biasa saja, Pa," jawab Aster. "Nggak sehat kamu." Aster menaikkan alis. Tak habis pikir apa lagi ini yang ayahnya maksudkan. Apa dari Aster yang tidak sehat kalau dia tidak deg degan. "Tuh, ada Amar," beritahu Huda. Kepala Huda terangkat ke arah sebelah utara pojok lapangan. Di mana permainan bola sepak berada. Sang kiper pun berdiri di sana depan gawangnya. Aster menggeleng. Dia berlari mendahul
"Ngapain anak itu?" Huda bertanya ingin tahu. Aster mengedikkan pundak. Dia mempercepat langkahnya. Seakan ingin memberitahu bahwa dia tidak mau membicarakan hal tersebut. Huda pun menangkap maksud dari sang putri. Ikut mempercepat jalan kaki. Malahan diajak berlomba cepat cepatan sampai ke rumah. "Nak, berhenti sebentar," pinta Huda menghentikan Aster. Mendengar suara Huda yang seakan kepayahan, Aster pun lekas berhenti. Dia memutar badan. Ayahnya tertinggal beberapa langkah di belakang. Aster bergegas menghampiri. Sigap meraih tangan Huda, membantunya berdiri. Namun Huda menampik tangan Aster. "Kenapa, Pa? Papa nggak apa apa kan? Lelah?" cemas Aster. Adanya Huda mengangkat telunjuk. Lurus ke depan, sedikit miring ke arah kanan. Pandangan Aster mau tak mau mengikuti arah tersebut. Di seberang jalan, terlihat sosok yang mereka kenal. Lelaki tinggi memakai celana jins dan kaos hitam. Sang lelaki berdiri di samping seorang gadis tak dikenal. Keduanya berada di depan minimarket.
Selesai prahara kecil di meja makan, Huda pergi bersama Laura. Tidak memberitahu anak anak mereka arah dan tujuan. Tidak berpesan apa pun. Aster yang tidak mendapat jawaban atas keingintahuannya, masuk ke kamar. Ada baiknya dia membasuh diri. Agar segar dan bersih, sehingga bisa berpikir jernih. Sedang asyik mengeringkan rambut, pintu kamarnya diketuk. Suara Panji memanggil dari luar. Aster mematikan hair dyer dan membukakan pintu. "Mbak, kamu mau pulang jam berapa?" tanya Panji. Pandangan Panji tidak terarah ke kakaknya. Berlari ke sana ke sini. Gelagatnya tidak mudah diperkirakan. "Besok pagi pagi. Dari rumah langsung ke kantor. Ada apa?" "Boleh bicara sebentar?" "Kamu nggak siap siap buka warung?" "Sudah sama anak anak. Sebentar saja, Mbak." "Mau bicara soal apa?" Panji tidak lantas menjawab. Dia mendorong kakaknya masuk ke dalam kamar. Menarik duduk di tepi tempat tidur. Terasa jelas kegundahan yang dirasakan oleh sang adik. Duduknya merunduk. Punggung meleng
Aster mengintip ke teras. Papanya duduk membaca buku. Dia menyelinap keluar, duduk di kursi sebelah Huda. "Pa, masih marah?" tanya Aster lirih. Huda menggeram saja. Masih fokus pada buku pertanian yang dibaca. Tidak menghiraukan Aster yang memijat pundaknya. "Aster sudah bicara sama Panji. Tadi sudah cerita banyak." "Apa yang banyak? Cuma satu cerita." "Ya, gitu, Pa. Garis besarnya. Aster bayangin saja malu, Pa. Apa lagi papa waktu itu di sana langsung." "Papa nggak malu. Papa di sana jemput adik kamu pulang. Ngapain malu di tempat hajatan orang." "Terus kenapa papa masih marah sama Panji?" "Ya, gimana nggak marah, As. Kalau ada apa apa sama Panji gimana coba? Misal dia dituduh bawa lari istri orang. Mau taruh di mana?" "Muka papa?" "Hush! Nggak sopan kamu. Gitu lah, As. Kamu paham lah. Masak kayak gitu kamu juga nggak tahu." Aster mengangguk angguk. Dia melanjutkan memijat lengan papanya. Seraya memikirkan perkataan sang ayah. "Pa, misal Panji sudah ketemu sam
/Kamu berangkat kerja jam berapa?/ Aster menatap kosong pesan yang dikirim oleh David dini hari. Pukul dua pagi sudah mengirim pesan. Ada apa gerangan lelaki ini. Apa dia tidak tidur? Pada hari Minggu pula. Apa dia bangun sepertiga malam. Oh, tentu saja. Itu bisa terjadi. Seorang lelaki bangun pagi buta dan ingat untuk mengirim pesan pada seorang gadis. Tentu saja Aster baru membukanya menjelang subuh. Dia bersiap pulang. Sambil membalas pesan tersebut. /Baru berangkat dari rumah. Sampai kantor mepet jam masuk. Kenapa, Dav?/ Balasan David datang secepat kilat. Baru juga laporan terbaca sampai. Jawaban sudah masuk. /Mau ajak sarapan. Ya, sudah. Nanti makan siang saja bisa bertemu?/ /Tentu bisa. Kan memang mau meeting jam 1, Dav. Apa kamu tidak ingat?/ /Ya ampun! Iya. Oke. Bertemu jam 1. Aku jemput di kantor kamu ya./ Aster melongo. Ada pun klien jemput penyedia jasa macam ini. Namun dia tidak menolak pula. Dia menyetujui ajakan David. Kemudian baru terpikir. Bukan
"Baik, Pak. Kami akan memperbaiki sesuai hasil meeting hari ini. Kurang lebih empat hari lagi akan kami perbarui melalui surel terlebih dahulu," ujar Fuad. David mengangguk. Dia menyalami uluran tangan Fuad. Sekretarisnya juga melakukan hal yang sama. Sekretaris David membawa berkas dan barang barang. Dia berpamitan pada David serta Fuad dan Aster. Pertama yang meninggalkan tempat mereka bertemu. Fuad menyenggol siku Aster. Namun Aster menyuruhnya pulang sendiri. Dia beralasan hendak menemui teman. "Teman nonton bintang?" kata Fuad penuh tuntutan. Kerasnya suara Fuad membuat David menoleh. Dia menatap penasaran pada rekan Aster tersebut. Hanya saja tidak memberikan komentar apa pun. Seakan paham dengan situasi, David mengucapkan salam. Dia bergerak menuju tempat parkir terlebih dahulu. Di belakangnya Fuad dan Aster masih beradu mulut. "Kepo ah. Kayak apa si teman nonton bintang," goda Fuad makin menjadi. "Nggak! Bukan. Ada urusan lain. Sana kamu bawa mobil pulang juga
Jalan menuju cluster begitu panjang. Rumah David ada di paling ujung. Berhalaman paling luas. Ada sekuriti yang membukakan pagar. Dia sama kaget dengan sekuriti gerbang melihat Aster yang berada di belakang kemudi. David melambaikan tangan saja. "Aku langsung pulang ya. Ada orang di rumah yang bisa bantuin kamu kan?" pamit Aster. David mendesis kesakitan. Dia menggeleng, lalu mengangguk. Tangannya menahan tangan Aster. "Kenapa?" heran Aster sambil tertawa kecil. David memberengut. Dia mengetik di ponsel. Ditunjukkan pada Aster segera. /Mampir dulu. Temani makan. Aku sudah minta ART ku buat masak bubur./ Aster mendengkuskan tawa. Dia pun menyetujui. Dia mengikuti David yang masuk ke dalam rumah berpintu tinggi besar. "Pak David sudah sampai," sambut seorang wanita paruh baya. Dia memandang kaget pada Aster. David melambaikan tangan. Dia berharap ART nya paham, tapi Aster yang menerjemahkan. "Saya Aster, Bu. Teman Pak David. Pak David habis periksa gigi, jadi belum b