Jalan menuju cluster begitu panjang. Rumah David ada di paling ujung. Berhalaman paling luas. Ada sekuriti yang membukakan pagar. Dia sama kaget dengan sekuriti gerbang melihat Aster yang berada di belakang kemudi. David melambaikan tangan saja. "Aku langsung pulang ya. Ada orang di rumah yang bisa bantuin kamu kan?" pamit Aster. David mendesis kesakitan. Dia menggeleng, lalu mengangguk. Tangannya menahan tangan Aster. "Kenapa?" heran Aster sambil tertawa kecil. David memberengut. Dia mengetik di ponsel. Ditunjukkan pada Aster segera. /Mampir dulu. Temani makan. Aku sudah minta ART ku buat masak bubur./ Aster mendengkuskan tawa. Dia pun menyetujui. Dia mengikuti David yang masuk ke dalam rumah berpintu tinggi besar. "Pak David sudah sampai," sambut seorang wanita paruh baya. Dia memandang kaget pada Aster. David melambaikan tangan. Dia berharap ART nya paham, tapi Aster yang menerjemahkan. "Saya Aster, Bu. Teman Pak David. Pak David habis periksa gigi, jadi belum b
Pundak Aster ditusuk ujung tumpul pensil. Sampai mengaduh pelan Aster. Dia menoleh, mendapati Fuad si pelaku senyam senyum. "Kenapa sih?" sungut Aster. "Kamu itu yang kenapa, Mbak. Hari hari manyun terus," balas Fuad. Dia menarik kursi, duduk di hadapan meja Aster. Tangannya disandarkan ke meja. Tidak peduli menekan tumpukan berkas. "Proyek proyek deal, kenapa malah jelek gitu mukanya. Invoice seret ya?" "Enggak. Amit amit. Klien klien kita lancar jaya. Belum tenggat waktu untuk bayar saja." "Terus, kenapa jelek gitu?" Aster menyentuh muka. Dia mengusap usap seakan memetakan titik jelek yang disebutkan Fuad. Namun tiada dia temukan. Baginya dia baik baik saja. Tidak sedang jelek secara psikis mau pun fisik. Menurutnya Fuad yang berlebihan. "Ckck! Cerita deh. Ada apa lagi? Cowok nggak modal berutan
David melambaikan tangan. Dia berdiri di samping mobilnya. Berada di parkir basement gedung kantor. Aster menoleh ke kiri kanan. Sepi tidak ada orang. Dia pun berlari kecil mendatangi David. "Kenapa? Takut ketahuan?" goda David. "Bukan. Takut diculik alien," sahut Aster sekenanya. David tertawa pelan. Dia membukakan pintu agar Aster bisa naik. Lalu memutari mobil, duduk di kursi kemudi. "Aku sudah beli tiket. Film romantis thailand. Nggak apa apa kan?" ujar David. "Oke, nggak apa apa. Asal bukan horor," jawab Aster. "Tidak lah. Aku saja tidak suka horor." "Ih, iya kah? Cowok cowok biasanya suka horor." "Yeah, aku bukan cowok cowok biasanya." Aster mencebik. Dia membenarkan sabuk pengaman. Duduk beringsut sampai nyaman. "Baguslah. Tidak memakai film horor sebagai alasan buat jadi pahlawan ke cewek." "I know metode yang lebih keren." "Sound fishy." David mendengkus. Dia menggeleng geleng tak suka. Dia bilang kalau metode film horor sudah terlalu kampungan.
"Kita makan dulu yuk," ajak David. Tanpa ragu David memegang tangan Aster. Dia pegang pergelangannya. Seakan memang di sanalah seharusnya berada. "Em..., tapi tempat lain saja. Kalau di sekitar sini nanti masih ketemu mereka," jawab Aster. Dia pun membiarkan David memegangnya. Jantungnya sudah bekerja sama baik. Perutnya saja yang terus bergejolak panas. David mengangguk. Dia membawa Aster bergegas ke tempat parkir. Mereka menuju mobil. Dengan aman keluar dari mall. Bergulir di jalan raya yang tidak akan bertemu Fuad dan kakak kembarnya. Juga Dini yang pastinya tengah ada di rumah. David membawa Aster ke restoran jepang. Mereka memesan ramen. Aster melihat David makan dengan lahap. "Kukira makanan timur tengah kesukaanmu?" kata Aster. "Ya. Aku suka banyak jenis makanan. Pedas pun suka," beritahu David.
Mereka tidak melihat bintang. Tidak berusaha sedikit pun. Langit sempat cerah tanpa polusi. Selesai makan David mengantarkan Aster sampai ke rumah. Tanpa adanya percakapan. Hanya sempat berdebat singkat di depan kasir restoran. Namun David yang menang. Dia mengancam akan membuat revisi kalau Aster nekat membayar. Kemudian mereka menjadi patung bergerak. David menghentikan mobil di depan pagar. Aster berkutat dengan sabuk pengaman. Sambil menahan senyum, David membantu melepaskan tali tersebut. "Kurasa aku harus membawanya ke bengkel. Dia berulang kali menolak membebaskanmu," kelakar David. "Jangan jangan pemiliknya yang sengaja ngrusak," balas Aster. Dia memutar badan. Bersegera menekan handle pintu. Hendak melangkah keluar. Dan dia pu
"Siapa itu, Mbak?" heran Panji melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah. Mereka berdua sampai di rumah setelah mampir ke beberapa tempat. Aster tidak segera membawa adiknya pulang. Mereka makan di luar dan mampir belanja. Aster pun mengamati mobil tak asing itu. Bukan kah itu salah satu mobil David. Bagaimana bisa ada di depan rumahnya. Maka Aster segera memasukkan mobil ke teras. Dia keluar kembali menghampiri mobil tersebut. Tidak dijawab sama sekali keingintahuan Panji. Pintu mobil terbuka begitu Aster mendekat. David berjalan tegap menghampiri Aster. Dia tampak kusut berantakan. Masih memakai celana training dan hoodie longgar. Dia belum bercukur dilihat dari mukanya yang abu samar di atas bibir dan dagu. Malah mungkin hanya mencipratkan air ke muka. Rambutnya pun berantakan. Benar benar bukan David yang perlente. Kesan angkuh wibawanya tersapu. "David? Kamu nggak
Panji bangun setelah tidur dari siang. Dia menggaruk kepala sambil menyapa kakaknya. Ringan melompat ke sebelah Aster. Begitu santai mengambil sepotong kentang dari piring di tangan Aster. Ikut menonton televisi yang menyiarkan sinetron remaja. Kakaknya menonton tanpa kedip. "Sudah pulang?" tanya Panji. "Siapa?" jawab Aster. "Hagrid cabang batavia." Aster berkerut dahi. Masak ya dimiripin dengan makhluk setengah raksasa. Lagi pula kumis dan jenggot David tidak selebat itu. Mungkin kalau genap seminggu tidak bercukur baru lebih mirip lagi. Ditambah jas besar dan payung kuning. Termasuk sikap kekanakan penuh manjanya. "Hei, dia bukan Hagrid." "Terus? Waras nggak? Mobil boleh mewah, tapi buluk kayak gel
"Din, hari ini ada meeting apa saja?" tanya Aster begitu sampai kantor. Dini melesat ke meja Aster. Ditangannya terbuka buku agenda. Tercatat apa saja kegiatan mereka. "Jam 11 ketemu manager H, bahas perpanjangan kontrak. Jam 2 ketemu pak David finalisasi logo," Dini membaca catatannya. Aster mengerang pelan. Dia menyuruh Dini kembali ke mejanya. Dia sendiri hendak menyiapkan diri. "Beneran deh, Mbak. Kamu kalau sedang tidak enak badan, ijin saja. Auto acc," kata Fuad. Pria yang suka memakai vest di atas kemejanya itu menatap Aster lekat. Dia duduk tegak di kursi depan meja Aster. Tengah menyerahkan berkas yang akan dibawa Aster menemui klien klien. "Aku nggak apa apa. Aku nggak sakit. Memangnya aku terlihat pucat?" sungut Aster seraya menyentuh dahi sendiri. "Enggak sih. Tapi muka mbak itu kucel. Nggak fresh gitu. Kayak sayur pada jam ja