"Kita makan dulu yuk," ajak David. Tanpa ragu David memegang tangan Aster. Dia pegang pergelangannya. Seakan memang di sanalah seharusnya berada. "Em..., tapi tempat lain saja. Kalau di sekitar sini nanti masih ketemu mereka," jawab Aster. Dia pun membiarkan David memegangnya. Jantungnya sudah bekerja sama baik. Perutnya saja yang terus bergejolak panas. David mengangguk. Dia membawa Aster bergegas ke tempat parkir. Mereka menuju mobil. Dengan aman keluar dari mall. Bergulir di jalan raya yang tidak akan bertemu Fuad dan kakak kembarnya. Juga Dini yang pastinya tengah ada di rumah. David membawa Aster ke restoran jepang. Mereka memesan ramen. Aster melihat David makan dengan lahap. "Kukira makanan timur tengah kesukaanmu?" kata Aster. "Ya. Aku suka banyak jenis makanan. Pedas pun suka," beritahu David.
Mereka tidak melihat bintang. Tidak berusaha sedikit pun. Langit sempat cerah tanpa polusi. Selesai makan David mengantarkan Aster sampai ke rumah. Tanpa adanya percakapan. Hanya sempat berdebat singkat di depan kasir restoran. Namun David yang menang. Dia mengancam akan membuat revisi kalau Aster nekat membayar. Kemudian mereka menjadi patung bergerak. David menghentikan mobil di depan pagar. Aster berkutat dengan sabuk pengaman. Sambil menahan senyum, David membantu melepaskan tali tersebut. "Kurasa aku harus membawanya ke bengkel. Dia berulang kali menolak membebaskanmu," kelakar David. "Jangan jangan pemiliknya yang sengaja ngrusak," balas Aster. Dia memutar badan. Bersegera menekan handle pintu. Hendak melangkah keluar. Dan dia pu
"Siapa itu, Mbak?" heran Panji melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah. Mereka berdua sampai di rumah setelah mampir ke beberapa tempat. Aster tidak segera membawa adiknya pulang. Mereka makan di luar dan mampir belanja. Aster pun mengamati mobil tak asing itu. Bukan kah itu salah satu mobil David. Bagaimana bisa ada di depan rumahnya. Maka Aster segera memasukkan mobil ke teras. Dia keluar kembali menghampiri mobil tersebut. Tidak dijawab sama sekali keingintahuan Panji. Pintu mobil terbuka begitu Aster mendekat. David berjalan tegap menghampiri Aster. Dia tampak kusut berantakan. Masih memakai celana training dan hoodie longgar. Dia belum bercukur dilihat dari mukanya yang abu samar di atas bibir dan dagu. Malah mungkin hanya mencipratkan air ke muka. Rambutnya pun berantakan. Benar benar bukan David yang perlente. Kesan angkuh wibawanya tersapu. "David? Kamu nggak
Panji bangun setelah tidur dari siang. Dia menggaruk kepala sambil menyapa kakaknya. Ringan melompat ke sebelah Aster. Begitu santai mengambil sepotong kentang dari piring di tangan Aster. Ikut menonton televisi yang menyiarkan sinetron remaja. Kakaknya menonton tanpa kedip. "Sudah pulang?" tanya Panji. "Siapa?" jawab Aster. "Hagrid cabang batavia." Aster berkerut dahi. Masak ya dimiripin dengan makhluk setengah raksasa. Lagi pula kumis dan jenggot David tidak selebat itu. Mungkin kalau genap seminggu tidak bercukur baru lebih mirip lagi. Ditambah jas besar dan payung kuning. Termasuk sikap kekanakan penuh manjanya. "Hei, dia bukan Hagrid." "Terus? Waras nggak? Mobil boleh mewah, tapi buluk kayak gel
"Din, hari ini ada meeting apa saja?" tanya Aster begitu sampai kantor. Dini melesat ke meja Aster. Ditangannya terbuka buku agenda. Tercatat apa saja kegiatan mereka. "Jam 11 ketemu manager H, bahas perpanjangan kontrak. Jam 2 ketemu pak David finalisasi logo," Dini membaca catatannya. Aster mengerang pelan. Dia menyuruh Dini kembali ke mejanya. Dia sendiri hendak menyiapkan diri. "Beneran deh, Mbak. Kamu kalau sedang tidak enak badan, ijin saja. Auto acc," kata Fuad. Pria yang suka memakai vest di atas kemejanya itu menatap Aster lekat. Dia duduk tegak di kursi depan meja Aster. Tengah menyerahkan berkas yang akan dibawa Aster menemui klien klien. "Aku nggak apa apa. Aku nggak sakit. Memangnya aku terlihat pucat?" sungut Aster seraya menyentuh dahi sendiri. "Enggak sih. Tapi muka mbak itu kucel. Nggak fresh gitu. Kayak sayur pada jam ja
"Dav, mau kemana?" tanya Aster. David memegang tangannya meski tengah mengemudi. Senyum di wajahnya tiada surut. Namun tidak memberitahu Aster kemana mereka hendak menuju. Lalu lintas padat tak mengendurkan semangat David. Dia berkelit mencari jalan yang lebih sepi. Bergerak menjauh dari kota. "Kamu jangan macam macam ya!" ancam Aster. "Enggak lah. Satu macam saja," kelakar David. Aster memberengut. Begitu tangannya bebas, dia melipat tangan di atas perut. Pandangan pun dilempar ke arah jendela. "Aku nggak suka ya kalau kamu seenaknya sendiri. Aku itu bukan cewek gampangan," kata Aster menegaskan. David menoleh. Dia menyentuh pipi Aster. Tampak luluh dengan amarah Aster yang sungguh sungguh. "I am sorry, Aster. Aku terlalu antusias. Aku, well, I miss you too much. Aku seneng banget ketemu kamu. A-ku, aku nggak mau jauh jauh dari kamu," ungkap David. "Dav, berpikirlah jernih. Kamu itu kayak remaja baru jatuh cinta. Sadar lah!" teg
Tidurnya kembali didatangi mimpi yang membuat debaran jantung. Kejar kejaran di reruntuhan. Jatuh dari tempat tinggi. Terbangun duduk. Terengah engah dengan keringat membanjiri pelipis. Aster memegang dada yang kembang kempis. Aster menoleh ke jam weker. Pukul empat pagi. Masih sangat gelap di luar sana. Kesulitan untuk melanjutkan tidur, Aster duduk bersandar ke headboard. Dan meraih ponsel di nakas. Dia tidak tahu mau berbuat apa. Ponselnya yang melambai lambai minta diberi perhatian. Suara notifikasi terdengar. Layarnya berkedip kedip. Ada pesan dari David. Terkirim pada pukul dua tadi. Aster pun membukanya. /Aku nggak sabar bertemu papa kamu./ Aster menghela nafas. Dia menaruh ponsel lalu mengusap muka. Masih belum bisa menerima betapa cepatnya David bertindak. Dia pun memejamkan mata. Sambil memijat pelipis. David itu nyata atau tidak sih. Bagaimana bisa setelah bertemu tak sengaja, dia bagai terjampi jampi. Padahal dulu sering bertemu ketika awal bekerja sama,
Kantor berjalan normal. Pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan baru yang perlu dikejar. Dan tiba-tiba Aster kehilangan fokus ketika Dini bicara padanya. Padahal soal pekerjaan. Juga berisi berita baik. "Apa tadi, Din?" tanya Aster meminta Dini mengulang. Dini yang bersabar mau mengulang berita baik. Dia pun menyerahkan sebuah berkas. Aster menerima dan membukanya dengan tetap memandang Dini. "Yessi, sekretaris pak David, kirim surel berita acara. Mereka sudah setuju dengan semua desain. Kontrak juga sudah ditandatangan. Kita bisa mengambilnya serta mengirim mock up. Bisa aku teruskan ke Fuad agar dia bisa memproses produksi mock up?" "Yessi?" sebut Aster. Di lidahnya terasa asam. Dia pun mengerutkan dahi. Sekretaris David seorang perempuan. Ah, bukan kah mereka pernah bertatap muka. Yessi seorang gadis manis yang berpenampilan rapi nan anggun. Dia datang pagi-pagi ke kediaman pribadi bosnya? "Iya. Kenapa dengan sekretaris pak David, Mbak?" heran Dini. "Ah, en