"Dav, mau kemana?" tanya Aster.
David memegang tangannya meski tengah mengemudi. Senyum di wajahnya tiada surut. Namun tidak memberitahu Aster kemana mereka hendak menuju. Lalu lintas padat tak mengendurkan semangat David. Dia berkelit mencari jalan yang lebih sepi. Bergerak menjauh dari kota. "Kamu jangan macam macam ya!" ancam Aster. "Enggak lah. Satu macam saja," kelakar David. Aster memberengut. Begitu tangannya bebas, dia melipat tangan di atas perut. Pandangan pun dilempar ke arah jendela. "Aku nggak suka ya kalau kamu seenaknya sendiri. Aku itu bukan cewek gampangan," kata Aster menegaskan. David menoleh. Dia menyentuh pipi Aster. Tampak luluh dengan amarah Aster yang sungguh sungguh. "I am sorry, Aster. Aku terlalu antusias. Aku, well, I miss you too much. Aku seneng banget ketemu kamu. A-ku, aku nggak mau jauh jauh dari kamu," ungkap David. "Dav, berpikirlah jernih. Kamu itu kayak remaja baru jatuh cinta. Sadar lah!" tegTidurnya kembali didatangi mimpi yang membuat debaran jantung. Kejar kejaran di reruntuhan. Jatuh dari tempat tinggi. Terbangun duduk. Terengah engah dengan keringat membanjiri pelipis. Aster memegang dada yang kembang kempis. Aster menoleh ke jam weker. Pukul empat pagi. Masih sangat gelap di luar sana. Kesulitan untuk melanjutkan tidur, Aster duduk bersandar ke headboard. Dan meraih ponsel di nakas. Dia tidak tahu mau berbuat apa. Ponselnya yang melambai lambai minta diberi perhatian. Suara notifikasi terdengar. Layarnya berkedip kedip. Ada pesan dari David. Terkirim pada pukul dua tadi. Aster pun membukanya. /Aku nggak sabar bertemu papa kamu./ Aster menghela nafas. Dia menaruh ponsel lalu mengusap muka. Masih belum bisa menerima betapa cepatnya David bertindak. Dia pun memejamkan mata. Sambil memijat pelipis. David itu nyata atau tidak sih. Bagaimana bisa setelah bertemu tak sengaja, dia bagai terjampi jampi. Padahal dulu sering bertemu ketika awal bekerja sama,
Kantor berjalan normal. Pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan baru yang perlu dikejar. Dan tiba-tiba Aster kehilangan fokus ketika Dini bicara padanya. Padahal soal pekerjaan. Juga berisi berita baik. "Apa tadi, Din?" tanya Aster meminta Dini mengulang. Dini yang bersabar mau mengulang berita baik. Dia pun menyerahkan sebuah berkas. Aster menerima dan membukanya dengan tetap memandang Dini. "Yessi, sekretaris pak David, kirim surel berita acara. Mereka sudah setuju dengan semua desain. Kontrak juga sudah ditandatangan. Kita bisa mengambilnya serta mengirim mock up. Bisa aku teruskan ke Fuad agar dia bisa memproses produksi mock up?" "Yessi?" sebut Aster. Di lidahnya terasa asam. Dia pun mengerutkan dahi. Sekretaris David seorang perempuan. Ah, bukan kah mereka pernah bertatap muka. Yessi seorang gadis manis yang berpenampilan rapi nan anggun. Dia datang pagi-pagi ke kediaman pribadi bosnya? "Iya. Kenapa dengan sekretaris pak David, Mbak?" heran Dini. "Ah, en
Pikiran Aster makin kacau. Benar dia tidak lagi memikirkan Yessi. Sudah dicoret dari daftar hitam. Dia tidak cemburu. Dia tidak perlu meresahkan sekretaris bernama Yessi. Namun potongan percakapan yang dia dengar membuatnya tidak bisa tenang. Rasa-rasanya dia menguping pembicaraan rahasia. Pundak Aster menjadi sandaran sebuah lengan. Dia melonjak kaget. Hampir memukul orang yang tanpa peringatan merangkul. "Darling, ini aku. Kamu melamun," ujar David murung. Aster menghembuskan nafas lega. Sudah panik dia memikirkan ini itu. Tiba-tiba pula datang David. "A-ku hanya, kerjaan, Dav. Katamu masih ada kerjaan?" sahut Aster terbata. David mengode pelayan kafe. Dia memesan minuman terlebih dahulu. Baru memberitahu Aster kalau dia sudah membereskan pekerjaan. "Aku tidak mau membiarkan gadis cantik sendirian. I miss you, Aster," kata David bernada berat. Dengusan Aster tidak ditutupi. Dia pun mendorong David menjauh. Dasar pria manja. "Gimana, kamu belum buka surel pasti," D
"Dav, boleh aku tanya?" tanya Aster berhati-hati. David yang menyetir, menoleh sekejap. Dia mengangguk memberi ijin. Wajahnya sudah tidak segarang tadi. Sudah melunak. Tidak lagi membara. Matanya sudah teduh pun. "Kemana kamu bawa Reno?" Aster melanjutkan. David menyeringai. Tak segera menjawab. Hanya fokus pada kemudi. "Jangan khawatir. Dia masih hidup. Tapi mungkin lecet-lecet," beritahu David enteng. "Istrinya hamil, Dav," sebut Aster seketika. Entah mengapa dia takut terjadi sesuatu yang bahaya pada Reno. Sekalipun dia marah dan benci. Namun tidak sampai tega membuat Reno babak belur. Apa lagi kalau mengingat dia masih punya utang. Ada pula istri yang sedang hamil. David menggeram. Air mukanya kembali menggelap. "Itu urusan mereka. Kamu tidak usah pikirkan. Bukan kah dia yang memulai. Dia yang menanam, dia pula yang menuai," ujar David dingin. Aster menelan ludah. Memang benar perkataan David. Hanya saja nada bicara David tidaklah menyenangkan. "Tapi, tetap
Gara - gara kegaduhan yang Reno lakukan tempo hari, David berubah makin drastis. Dia tidak lagi menutupi interaksinya dengan Aster. Berani benar dia menjemput Aster dari kantor, turun dari mobil. David duduk di lobi bawah gedung. Santai sambil bekerja dengan tabletnya di kursi area ruang tunggu tamu. Tidak terpengaruh dengan lalu lalang pegawai penghuni gedung yang mencuri pandang. "Mbak, apa kita ada janji sama pak David?" bisik Dini yang melihat pertama. Dia menunjuk David dengan dagu yang diangkat. Aster pun mengarah ke sana. Dia terkejut melihat pria itu duduk di sana seakan pemilik gedung. "Apa sama kantor lain di sini?" lanjut Dini meski belum mendapat jawaban dari Aster. Aster menggeleng pelan. Dia kebingungan hendak melanjutkan menutupi atau membiarkan David berbuat sesuka hati. Di sampingnya, Dini menyikut lengannya. Tampak tak sabar. Ibu hamil ini pasti mulai penasaran. "Hei! Malah ngerumpi di sini! Ayo pulang, gadis - gadis kesayanganku," seru Fuad mengagetkan. Le
"Hei, kenapa kamu cemberut begitu?" heran David. Tangan David terjulur untuk mengusap pipi Aster. Pemilik pipi pun kaget dibuatnya. Dia menggumam tidak apa - apa. David tidak menyukai jawaban itu. Dia mengulang pertanyaan serupa. Tapi Aster menjawab sama. "Kamu nggak suka aku jemput di kantor?" tebak David. "Aku nggak apa - apa, Dav. Udah, kamu nyetir aja," sahut Aster pelan. "Hehm! Pertanyaanku apa lho. Kok kamu jawabnya gitu. Benar, ya, kamu marah?" "Dav, aku nggak marah. Udah, nggak apa - apa. Jauh lho ini. Keburu sore, nanti kamu pulangnya kemalaman." "Pulang kemalaman?" David pun kemudian diam. Dia tidak lagi bertanya macam - macam. Malam memasang earphone nirkabel. Meski tidak menghidupkan apa - apa. Radio mobil pun tidak. Dia seakan bersiaga menerima panggilan. Aster beringsut rikuh. Pikirannya agak kacau mengingat tel
Huda mengamati lelaki yang dibawa pulang oleh putrinya. Dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Sedang memindai secara menyeluruh. Tidak segera menyuruh anak dan temannya itu masuk. Masih berdiri di pintu. Dua di luar, satu di dalam. "Pa, suruh masuk dulu," Laura mengingatkan. "Siapa?" sahut Huda. "Tamunya dong," balas Laura. "Aster sekarang statusnya tamu?" kata Huda sambil mengernyitkan dahi. "Papa, tolong," tegas Laura. "Apa yang bisa papa bantu?" tanya Huda. Aster menghela nafas. Itu tidak selesai kalau Aster tidak segera turun tangan. Dia pun meminta papanya untuk mengijinkan masuk. David memberi senyum hormat. Dia mengulurkan tangan hendak menyalami tangan Huda. Untung saja Huda tidak mengabaikan. "Perkenalkan Om, saya David Antasena. Saya teman dekat Aster. Mohon ijin bicara dengan om dan tante," ucap David tak gentar. Huda mundur, memberi jalan bagi keduanya untuk masuk ke dalam rumah. Aster mengajak David duduk ke ruang tamu. Dia meminta David duduk sendi
"Tinggallah. Nanti aku beritahu. Aku ada pekerjaan yang harus dilakukan terlebih dahulu," kata Huda enteng. Dengan itu dia beranjak dari kursi tamu. Dia menuju ruang kerja. Tidak menoleh sedikit pun. Laura mengangguk pada Aster agar menemani David. Ibunya hendak menyusul sang suami. Namun dia menatap tajam pada Aster. "Nanti aku siapkan kamar tamu. Kalian di sini dulu. Kalau mau makan malam, ke warung Panji saja," ujar Laura sebelum beranjak. "Iya, Bu. Terima kasih," jawab David. Aster bergeser. Dia mendekati David yang tak berubah sama sekali. Masih tenang. Padahal Aster saja sudah ketar - ketir. Terbuat dari apa sih pria ini. Dia makin merasa tidak mengenali David selain dari yang telah dia baca selama membuat profile perusahaannya. "Hei, kamu kenapa, Sayang? Kamu takut?" tanya David lembut. Dia juga tertawa geli. Tanpa ragu mengusap pipi Aster. Dia lalu meminta ijin untuk meminum tehnya. "Kamu nggak takut sama papa?" Aster balik bertanya. David menaruh cangkirny
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua