Gara - gara kegaduhan yang Reno lakukan tempo hari, David berubah makin drastis. Dia tidak lagi menutupi interaksinya dengan Aster. Berani benar dia menjemput Aster dari kantor, turun dari mobil. David duduk di lobi bawah gedung. Santai sambil bekerja dengan tabletnya di kursi area ruang tunggu tamu. Tidak terpengaruh dengan lalu lalang pegawai penghuni gedung yang mencuri pandang. "Mbak, apa kita ada janji sama pak David?" bisik Dini yang melihat pertama. Dia menunjuk David dengan dagu yang diangkat. Aster pun mengarah ke sana. Dia terkejut melihat pria itu duduk di sana seakan pemilik gedung. "Apa sama kantor lain di sini?" lanjut Dini meski belum mendapat jawaban dari Aster. Aster menggeleng pelan. Dia kebingungan hendak melanjutkan menutupi atau membiarkan David berbuat sesuka hati. Di sampingnya, Dini menyikut lengannya. Tampak tak sabar. Ibu hamil ini pasti mulai penasaran. "Hei! Malah ngerumpi di sini! Ayo pulang, gadis - gadis kesayanganku," seru Fuad mengagetkan. Le
"Hei, kenapa kamu cemberut begitu?" heran David. Tangan David terjulur untuk mengusap pipi Aster. Pemilik pipi pun kaget dibuatnya. Dia menggumam tidak apa - apa. David tidak menyukai jawaban itu. Dia mengulang pertanyaan serupa. Tapi Aster menjawab sama. "Kamu nggak suka aku jemput di kantor?" tebak David. "Aku nggak apa - apa, Dav. Udah, kamu nyetir aja," sahut Aster pelan. "Hehm! Pertanyaanku apa lho. Kok kamu jawabnya gitu. Benar, ya, kamu marah?" "Dav, aku nggak marah. Udah, nggak apa - apa. Jauh lho ini. Keburu sore, nanti kamu pulangnya kemalaman." "Pulang kemalaman?" David pun kemudian diam. Dia tidak lagi bertanya macam - macam. Malam memasang earphone nirkabel. Meski tidak menghidupkan apa - apa. Radio mobil pun tidak. Dia seakan bersiaga menerima panggilan. Aster beringsut rikuh. Pikirannya agak kacau mengingat tel
Huda mengamati lelaki yang dibawa pulang oleh putrinya. Dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Sedang memindai secara menyeluruh. Tidak segera menyuruh anak dan temannya itu masuk. Masih berdiri di pintu. Dua di luar, satu di dalam. "Pa, suruh masuk dulu," Laura mengingatkan. "Siapa?" sahut Huda. "Tamunya dong," balas Laura. "Aster sekarang statusnya tamu?" kata Huda sambil mengernyitkan dahi. "Papa, tolong," tegas Laura. "Apa yang bisa papa bantu?" tanya Huda. Aster menghela nafas. Itu tidak selesai kalau Aster tidak segera turun tangan. Dia pun meminta papanya untuk mengijinkan masuk. David memberi senyum hormat. Dia mengulurkan tangan hendak menyalami tangan Huda. Untung saja Huda tidak mengabaikan. "Perkenalkan Om, saya David Antasena. Saya teman dekat Aster. Mohon ijin bicara dengan om dan tante," ucap David tak gentar. Huda mundur, memberi jalan bagi keduanya untuk masuk ke dalam rumah. Aster mengajak David duduk ke ruang tamu. Dia meminta David duduk sendi
"Tinggallah. Nanti aku beritahu. Aku ada pekerjaan yang harus dilakukan terlebih dahulu," kata Huda enteng. Dengan itu dia beranjak dari kursi tamu. Dia menuju ruang kerja. Tidak menoleh sedikit pun. Laura mengangguk pada Aster agar menemani David. Ibunya hendak menyusul sang suami. Namun dia menatap tajam pada Aster. "Nanti aku siapkan kamar tamu. Kalian di sini dulu. Kalau mau makan malam, ke warung Panji saja," ujar Laura sebelum beranjak. "Iya, Bu. Terima kasih," jawab David. Aster bergeser. Dia mendekati David yang tak berubah sama sekali. Masih tenang. Padahal Aster saja sudah ketar - ketir. Terbuat dari apa sih pria ini. Dia makin merasa tidak mengenali David selain dari yang telah dia baca selama membuat profile perusahaannya. "Hei, kamu kenapa, Sayang? Kamu takut?" tanya David lembut. Dia juga tertawa geli. Tanpa ragu mengusap pipi Aster. Dia lalu meminta ijin untuk meminum tehnya. "Kamu nggak takut sama papa?" Aster balik bertanya. David menaruh cangkirny
"Menikah?" seru Panji. Dia menoleh pada kakaknya. Tidak menyangka akan datang secepat itu. "Tapi, Mbak, gimana dengan Amar?" kata Panji. "Siapa itu Amar?" sahut David. Pandangan David mengarah penuh tanya ke arah Aster. Jelas sekali menuntut penjelasan siapakah orang bernama Amar. Bukan ingin menjawab, Aster lebih ingin memukul adiknya. Seakan belum cukup masalah saja. Sampai harus menyebut nama Amar. "Teman sekolah aku dulu, Dav. Belum lama ini kami bertemu lagi," beritahu Aster pada akhirnya. Dia tidak bisa berbohong. Apa lagi dengan tatapan mata David yang tajam. Juga dia tidak ingin menabung masalah untuk masa depan. Lebih baik ramai di depan. Dari pada suatu waktu di masa depan ada hal buruk terjadi. "Oke. Kalian hanya teman biasa kan?" sahut David bukan dengan suara yang tadi pakai untuk menenangkan Aster. Panji pun berdeham. Dia mengambil perhatian kakak dan pria tersebut. "Kita bisa bicara sambil duduk," ajak Panji. Panji memimpin mereka menuju warung. Su
Adiknya bisa memasak. Aster tahu itu. Masakan Panji sedap. Dengan menu yang sama, David membuat mie goreng istimewa lezat yang membuai lidah Aster. Sayang hanya dua porsi untuk Panji dan Aster saja. David memilih makan masakan warung Panji. Sama - sama makan sampai habis. "Kamu akan menginap?" tanya Panji ketika mereka bersantai. David mengecek ponselnya beberapa kali setelah mereka makan. Meski tadi dia bilang akan tidak bisa dihubungi, namun tetap saja membuka ponsel. Aster turut menunggu David menjawab. Dia tahu David tengah menimbang apa yang akan dilakukan. Dia merasa ada pekerjaan yang harus David lakukan meski akhir minggu. "Aku takut mengganggu," jawab David masih ambigu. Aster pun berdiri. Dia pamit hendak ke rumah untuk menemui orang tuanya. David dia persilakan di warung saja. Tiada menolak, David mengangguk. Dia menatap sendu. Meminta maaf karena hendak mengecek pekerjaan. "Iya, nggak apa - apa. Kamu beresin dulu saja kerjaan. Kayaknya penting banget," kat
Aster baru menemani Panji belanja ketika David datang. Tangannya penuh membawa kantong plastik turun dari mobil menuju dapur warung. Pria itu berjalan dari rumah menuju warung. Pengusaha tak kenal waktu libur itu memakai celana halus dan kemeja yang lengannya digulung sampai siku. Pada hari Minggu. Sudah menjelang sore pun. "Kamu baru saja datang? Mengapa tidak mengirim pesan dulu?" sambut Aster. David mengulas senyum. Dia mengambil alih kantong belanja dari tangan Aster. "Maaf, aku tidak sempat. Tadi aku sarapan dengan mama dan papa. Kebetulan nenek juga tengah berkunjung. Ya, dan aku sudah memberitahu mereka tentang dirimu dan lamaranku," beritahu David sambil menaruh belanjaan ke meja dapur. Aster menyerahkan sisanya pada karyawan Panji. Dia lalu mengajak David beralih dari warung. Sudah penasaran dengan apa yang disampaikan orang tua David. "Terus?" tanya Aster bersemangat. Dia menarik David menuju teras rumah. "Ya mereka mau ketemu kamu dan orang tua kamu. Tadi aku
Tidak sangka hari berjalan begitu cepat. Aster tenggelam dalam pekerjaan. Tiba - tiba saja David mengingatkan soal pertemuan keluarga mereka esok hari. "Kamu mau berangkat sendiri?" tanya David yang mengantar Aster kembali ke kantor setelah makan siang berdua. Aster yang naik ke mobil sambil membalas surel, hanya bergumam. Dia menarik sabuk tanpa melihat. David pun mengambil alih, menguncinya ke pengaman. "Aster, honey, kamu mau berangkat kapan?" ulang David. Aster tersentak. Dia menaruh ponsel di pangkuan. "Oh, maaf, Dav. Apa? Berangkat?" tanya Aster. David dengan sabar mengulang pertanyaan serupa untuk ketiga kalinya. Dia bicara perlahan. "Nanti selesai kerja, aku pulang ke rumah. Kamu dan papa mama besok berangkat pagi?" "Tidak capek? Apa aku minta driver antar kamu?" "Em..., nggak usah, Dav. Aku nggak capek. Kan nanti bisa istirahat di rumah." "Bilang mama, tidak usah repot menyiapkan apa - apa. Mama dan papaku agak susah makannya." "Ada alergi? Diet khusus?"