"Tinggallah. Nanti aku beritahu. Aku ada pekerjaan yang harus dilakukan terlebih dahulu," kata Huda enteng. Dengan itu dia beranjak dari kursi tamu. Dia menuju ruang kerja. Tidak menoleh sedikit pun. Laura mengangguk pada Aster agar menemani David. Ibunya hendak menyusul sang suami. Namun dia menatap tajam pada Aster. "Nanti aku siapkan kamar tamu. Kalian di sini dulu. Kalau mau makan malam, ke warung Panji saja," ujar Laura sebelum beranjak. "Iya, Bu. Terima kasih," jawab David. Aster bergeser. Dia mendekati David yang tak berubah sama sekali. Masih tenang. Padahal Aster saja sudah ketar - ketir. Terbuat dari apa sih pria ini. Dia makin merasa tidak mengenali David selain dari yang telah dia baca selama membuat profile perusahaannya. "Hei, kamu kenapa, Sayang? Kamu takut?" tanya David lembut. Dia juga tertawa geli. Tanpa ragu mengusap pipi Aster. Dia lalu meminta ijin untuk meminum tehnya. "Kamu nggak takut sama papa?" Aster balik bertanya. David menaruh cangkirny
"Menikah?" seru Panji. Dia menoleh pada kakaknya. Tidak menyangka akan datang secepat itu. "Tapi, Mbak, gimana dengan Amar?" kata Panji. "Siapa itu Amar?" sahut David. Pandangan David mengarah penuh tanya ke arah Aster. Jelas sekali menuntut penjelasan siapakah orang bernama Amar. Bukan ingin menjawab, Aster lebih ingin memukul adiknya. Seakan belum cukup masalah saja. Sampai harus menyebut nama Amar. "Teman sekolah aku dulu, Dav. Belum lama ini kami bertemu lagi," beritahu Aster pada akhirnya. Dia tidak bisa berbohong. Apa lagi dengan tatapan mata David yang tajam. Juga dia tidak ingin menabung masalah untuk masa depan. Lebih baik ramai di depan. Dari pada suatu waktu di masa depan ada hal buruk terjadi. "Oke. Kalian hanya teman biasa kan?" sahut David bukan dengan suara yang tadi pakai untuk menenangkan Aster. Panji pun berdeham. Dia mengambil perhatian kakak dan pria tersebut. "Kita bisa bicara sambil duduk," ajak Panji. Panji memimpin mereka menuju warung. Su
Adiknya bisa memasak. Aster tahu itu. Masakan Panji sedap. Dengan menu yang sama, David membuat mie goreng istimewa lezat yang membuai lidah Aster. Sayang hanya dua porsi untuk Panji dan Aster saja. David memilih makan masakan warung Panji. Sama - sama makan sampai habis. "Kamu akan menginap?" tanya Panji ketika mereka bersantai. David mengecek ponselnya beberapa kali setelah mereka makan. Meski tadi dia bilang akan tidak bisa dihubungi, namun tetap saja membuka ponsel. Aster turut menunggu David menjawab. Dia tahu David tengah menimbang apa yang akan dilakukan. Dia merasa ada pekerjaan yang harus David lakukan meski akhir minggu. "Aku takut mengganggu," jawab David masih ambigu. Aster pun berdiri. Dia pamit hendak ke rumah untuk menemui orang tuanya. David dia persilakan di warung saja. Tiada menolak, David mengangguk. Dia menatap sendu. Meminta maaf karena hendak mengecek pekerjaan. "Iya, nggak apa - apa. Kamu beresin dulu saja kerjaan. Kayaknya penting banget," kat
Aster baru menemani Panji belanja ketika David datang. Tangannya penuh membawa kantong plastik turun dari mobil menuju dapur warung. Pria itu berjalan dari rumah menuju warung. Pengusaha tak kenal waktu libur itu memakai celana halus dan kemeja yang lengannya digulung sampai siku. Pada hari Minggu. Sudah menjelang sore pun. "Kamu baru saja datang? Mengapa tidak mengirim pesan dulu?" sambut Aster. David mengulas senyum. Dia mengambil alih kantong belanja dari tangan Aster. "Maaf, aku tidak sempat. Tadi aku sarapan dengan mama dan papa. Kebetulan nenek juga tengah berkunjung. Ya, dan aku sudah memberitahu mereka tentang dirimu dan lamaranku," beritahu David sambil menaruh belanjaan ke meja dapur. Aster menyerahkan sisanya pada karyawan Panji. Dia lalu mengajak David beralih dari warung. Sudah penasaran dengan apa yang disampaikan orang tua David. "Terus?" tanya Aster bersemangat. Dia menarik David menuju teras rumah. "Ya mereka mau ketemu kamu dan orang tua kamu. Tadi aku
Tidak sangka hari berjalan begitu cepat. Aster tenggelam dalam pekerjaan. Tiba - tiba saja David mengingatkan soal pertemuan keluarga mereka esok hari. "Kamu mau berangkat sendiri?" tanya David yang mengantar Aster kembali ke kantor setelah makan siang berdua. Aster yang naik ke mobil sambil membalas surel, hanya bergumam. Dia menarik sabuk tanpa melihat. David pun mengambil alih, menguncinya ke pengaman. "Aster, honey, kamu mau berangkat kapan?" ulang David. Aster tersentak. Dia menaruh ponsel di pangkuan. "Oh, maaf, Dav. Apa? Berangkat?" tanya Aster. David dengan sabar mengulang pertanyaan serupa untuk ketiga kalinya. Dia bicara perlahan. "Nanti selesai kerja, aku pulang ke rumah. Kamu dan papa mama besok berangkat pagi?" "Tidak capek? Apa aku minta driver antar kamu?" "Em..., nggak usah, Dav. Aku nggak capek. Kan nanti bisa istirahat di rumah." "Bilang mama, tidak usah repot menyiapkan apa - apa. Mama dan papaku agak susah makannya." "Ada alergi? Diet khusus?"
"Mbak, malah melamun," tegur Panji. Aster menggeleng lemah. Dia merapikan gaun brokat biru muda yang dipakai. Melihat pantulan dirinya di cermin. Apa seperti ini rasanya? Jantung berdebar tak keruan. Maunya semua segera tak laksana. Lalu selesai sudah. "Tuh, dah datang calon suami kamu, Mbak. Ayo keluar! Papa sudah nyuruh keluar," beritahu Panji. Memang sudah setengah jam lalu David serta mama, papa, dan nenek telah tiba. Mereka berada di ruang tamu. Bicara awalan dengan Huda dan Laura. Aster menarik nafas dalam - dalam. Tidak apa - apa. Semua akan selesai dengan baik. "Nah, ini putri saya, Aster," ujar Huda menyambut Aster yang duduk di sebelah ibunya. Ketiga tamu melhat Aster dengan tatapan penasaran. Sebelumnya David sudah memberitahu dirinya. Pria tinggi berambut kelabu dengan wajah sendu adalah Rendra, ayahnya. Wanita dengan rambut hitam legam digelung ketat. Selalu mengulas lipstik merah. Raut mukanya elegan dan tenang, adalah Safira. Ibu David yang sering meng
"Mas David?" pekik Aster begitu keluar dari mobil. Dia berlari kecil masuk ke teras. Halaman kecilnya sudah dirapikan. Terdapat lampu - lampu menghias. Sebuah kotak besar berada di meja tamu di teras. David menyusulnya masuk. Dia menyuruh Aster membuka. Aster benar - benar tidak menyangka maksud David buru - buru pulang adalah untuk ini. Bukan karena pekerjaan yang dia kira. Tangan Aster bergetar menarik pita merah besar. Dia membuka tutup kotak dan memekik kaget. "Maket? Kamu kasih aku maket?" David mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah kunci dari dalam kotak. Dengan senyum jahil menyerahkan kunci tersebut. "Aslinya juga, Sayang. Kapan pun kamu mau lihat, aku akan antar. Nanti kalau kamu tidak suka desain interiornya, bisa kamu ubah sesuka hati." Mulut Aster ternganga. Dia tidak sangka kejutan demi kejutan datang. "Terima kasih. Kamu baik banget." "Iya, dong. Suami kamu. Aku akan berikan apa pun yang kamu butuhkan. Aku akan
Brak! Brak! Pintu depan rumah Aster digebrak dari luar. Bukan hanya ketukan. Melainkan dipukul keras seolah hendak mendobrak masuk. Mendengar itu, Aster pun bangkit dari tempat tidur. Dia tidak mau ada tetangga yang dengar dan berpikir aneh. Atau malah dimarahi karena telah mengganggu ketertiban umum. Meski Aster juga merasa takut. Dia tetap membukakan pintu. Pria itu berdiri menjulang di sana. Wajah suramnya ditimpa lampu teras. Kaku bagai patung marmer. Ceruk matanya gelap tak terkena cahaya. "Aku bisa jelaskan," bisik David. Aster mematung di tempatnya berdiri. Bibirnya terkatup rapat. "Bu-kan kah tadi su-dah?" cicit Aster. David memejamkan mata sejenak. Dia berkacak pinggang sebelah. "Tapi kamu tidak merespons apa pun, Aster. Kamu pasti berpikir yang tidak - tidak. Kita bicara di dalam?" Aster melihat David penuh keraguan. Kalau dia mengijinkan David masuk, apa saja risiko yang akan dia dapatkan. Tetangga yang keb