Aster baru menemani Panji belanja ketika David datang. Tangannya penuh membawa kantong plastik turun dari mobil menuju dapur warung. Pria itu berjalan dari rumah menuju warung. Pengusaha tak kenal waktu libur itu memakai celana halus dan kemeja yang lengannya digulung sampai siku. Pada hari Minggu. Sudah menjelang sore pun. "Kamu baru saja datang? Mengapa tidak mengirim pesan dulu?" sambut Aster. David mengulas senyum. Dia mengambil alih kantong belanja dari tangan Aster. "Maaf, aku tidak sempat. Tadi aku sarapan dengan mama dan papa. Kebetulan nenek juga tengah berkunjung. Ya, dan aku sudah memberitahu mereka tentang dirimu dan lamaranku," beritahu David sambil menaruh belanjaan ke meja dapur. Aster menyerahkan sisanya pada karyawan Panji. Dia lalu mengajak David beralih dari warung. Sudah penasaran dengan apa yang disampaikan orang tua David. "Terus?" tanya Aster bersemangat. Dia menarik David menuju teras rumah. "Ya mereka mau ketemu kamu dan orang tua kamu. Tadi aku
Tidak sangka hari berjalan begitu cepat. Aster tenggelam dalam pekerjaan. Tiba - tiba saja David mengingatkan soal pertemuan keluarga mereka esok hari. "Kamu mau berangkat sendiri?" tanya David yang mengantar Aster kembali ke kantor setelah makan siang berdua. Aster yang naik ke mobil sambil membalas surel, hanya bergumam. Dia menarik sabuk tanpa melihat. David pun mengambil alih, menguncinya ke pengaman. "Aster, honey, kamu mau berangkat kapan?" ulang David. Aster tersentak. Dia menaruh ponsel di pangkuan. "Oh, maaf, Dav. Apa? Berangkat?" tanya Aster. David dengan sabar mengulang pertanyaan serupa untuk ketiga kalinya. Dia bicara perlahan. "Nanti selesai kerja, aku pulang ke rumah. Kamu dan papa mama besok berangkat pagi?" "Tidak capek? Apa aku minta driver antar kamu?" "Em..., nggak usah, Dav. Aku nggak capek. Kan nanti bisa istirahat di rumah." "Bilang mama, tidak usah repot menyiapkan apa - apa. Mama dan papaku agak susah makannya." "Ada alergi? Diet khusus?"
"Mbak, malah melamun," tegur Panji. Aster menggeleng lemah. Dia merapikan gaun brokat biru muda yang dipakai. Melihat pantulan dirinya di cermin. Apa seperti ini rasanya? Jantung berdebar tak keruan. Maunya semua segera tak laksana. Lalu selesai sudah. "Tuh, dah datang calon suami kamu, Mbak. Ayo keluar! Papa sudah nyuruh keluar," beritahu Panji. Memang sudah setengah jam lalu David serta mama, papa, dan nenek telah tiba. Mereka berada di ruang tamu. Bicara awalan dengan Huda dan Laura. Aster menarik nafas dalam - dalam. Tidak apa - apa. Semua akan selesai dengan baik. "Nah, ini putri saya, Aster," ujar Huda menyambut Aster yang duduk di sebelah ibunya. Ketiga tamu melhat Aster dengan tatapan penasaran. Sebelumnya David sudah memberitahu dirinya. Pria tinggi berambut kelabu dengan wajah sendu adalah Rendra, ayahnya. Wanita dengan rambut hitam legam digelung ketat. Selalu mengulas lipstik merah. Raut mukanya elegan dan tenang, adalah Safira. Ibu David yang sering meng
"Mas David?" pekik Aster begitu keluar dari mobil. Dia berlari kecil masuk ke teras. Halaman kecilnya sudah dirapikan. Terdapat lampu - lampu menghias. Sebuah kotak besar berada di meja tamu di teras. David menyusulnya masuk. Dia menyuruh Aster membuka. Aster benar - benar tidak menyangka maksud David buru - buru pulang adalah untuk ini. Bukan karena pekerjaan yang dia kira. Tangan Aster bergetar menarik pita merah besar. Dia membuka tutup kotak dan memekik kaget. "Maket? Kamu kasih aku maket?" David mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah kunci dari dalam kotak. Dengan senyum jahil menyerahkan kunci tersebut. "Aslinya juga, Sayang. Kapan pun kamu mau lihat, aku akan antar. Nanti kalau kamu tidak suka desain interiornya, bisa kamu ubah sesuka hati." Mulut Aster ternganga. Dia tidak sangka kejutan demi kejutan datang. "Terima kasih. Kamu baik banget." "Iya, dong. Suami kamu. Aku akan berikan apa pun yang kamu butuhkan. Aku akan
Brak! Brak! Pintu depan rumah Aster digebrak dari luar. Bukan hanya ketukan. Melainkan dipukul keras seolah hendak mendobrak masuk. Mendengar itu, Aster pun bangkit dari tempat tidur. Dia tidak mau ada tetangga yang dengar dan berpikir aneh. Atau malah dimarahi karena telah mengganggu ketertiban umum. Meski Aster juga merasa takut. Dia tetap membukakan pintu. Pria itu berdiri menjulang di sana. Wajah suramnya ditimpa lampu teras. Kaku bagai patung marmer. Ceruk matanya gelap tak terkena cahaya. "Aku bisa jelaskan," bisik David. Aster mematung di tempatnya berdiri. Bibirnya terkatup rapat. "Bu-kan kah tadi su-dah?" cicit Aster. David memejamkan mata sejenak. Dia berkacak pinggang sebelah. "Tapi kamu tidak merespons apa pun, Aster. Kamu pasti berpikir yang tidak - tidak. Kita bicara di dalam?" Aster melihat David penuh keraguan. Kalau dia mengijinkan David masuk, apa saja risiko yang akan dia dapatkan. Tetangga yang keb
Aster tak dapat memejamkan mata. Dia hanya berbaring dalam gelap. Tak mengerti apa pun. Sinar matahari pun mengetuk jendela kamar. Dia terduduk di atas tempat tidur. Kepalanya menoleh ke jam weker. Pukul enam pagi. Matanya perih. Terganjal. Hanya saja sulit menutup. "Mbak, kamu nggak masuk?" tanya Dini lewat panggilan telepon. Aster berdeham. "Aku terlambat," suara serak Aster keluar. "Sakit, Mbak? Mau aku susul ke rumah?" sahut Dini cemas. "Nggak usah. Aku nggak apa - apa. Tolong minta Fuad gantiin untuk meeting di luar," timpal Aster. Dini menyetujui. Dia pun menyudahi telepon. Aster menarik dirinya dari tempat tidur. Menuju kamar mandi, berdiri di bawah pancuran. Air dingin membangunkannya. Semakin dingin terasa menerpa, Aster keluar. Berbalut handuk, dia duduk di meja rias. Menatap sendu bayangannya di cermin. Baru juga kemarin dia berdandan cantik. Senyum merekah sepanjang hari. Lenyap dalam semalam. Mereka
Telepon dari David tak kunjung datang. Sampai pukul lima sore pun tak ada. Aster menatap kosong layar ponsel. Dia masih di kantor sendirian. Dini sudah pulang dijemput suami. Meski awalnya tidak mau meninggalkan Aster sampai ada kabar dari David. Namun dia ada jadwal periksa. Suaminya juga ada keperluan lain. Maka mereka pun pulang. Fuad sendiri mendatangi tiga meeting. Dia tidak kembali ke kantor. Sudah ijin pulang ke rumah tanpa perlu absen ke kantor. Ponselnya berdering. Aster terkejut. Dia meraih cepat benda tipis tersebut. "Ma-mas David," panggil Aster. "Turun. Aku di luar," ujar David. Aster bergegas bangkit dari kursi. Dia menyambar tas. Berlari menuju lift. Tak sabar menanti lift terbuka. Dia menatap jam tangan. Ting! Aster masuk. Dia menekan tombol turun penuh kekuatan. Begitu lift telah mengantarnya ke lantai dasar, Aster pun berlari keluar. Dia menuju mobil David. David tidak turun membukakan pintu. Dia hanya mengisyaratkan agar Aster naik ke mobil. As
Dini mengamati Aster dari mejanya. Wanita sedari pagi diam saja. Bekerja tanpa menunjukkan emosi apa pun. Sempat Dini bertanya tapi hanya dijawab singkat. Itu pun persoalan pekerjaan. Diajak mengobrol santai tidak merespons. "Ada apa sih? Sejak tunangan, malah kayak gitu," bisik Fuad. Dia menyerahkan laporan ke Dini tapi pandangannya tak lepas dari Aster. Tingkah rekannya membuat berbagai prasangka timbul. "Apa ada masalah sama tunangannya? Calon mertua?" tebak Fuad. "Mungkin saja. Dia tidak mau cerita. Aku ikut sedih. Tapi dianya mengunci bibir terus. Gimana coba? Kalau besok masih kayak gini, aku bakal beraksi," sahut Dini. "Itu ide yang bagus." Brak! Sesuatu terantuk benda keras. Fuad dan Dini menoleh ke arah Aster. Bosnya itu berdiri dari kursi tiba - tiba. Kemudian berjalan cepat meninggalkan kantor.