"Mas David?" pekik Aster begitu keluar dari mobil. Dia berlari kecil masuk ke teras. Halaman kecilnya sudah dirapikan. Terdapat lampu - lampu menghias. Sebuah kotak besar berada di meja tamu di teras. David menyusulnya masuk. Dia menyuruh Aster membuka. Aster benar - benar tidak menyangka maksud David buru - buru pulang adalah untuk ini. Bukan karena pekerjaan yang dia kira. Tangan Aster bergetar menarik pita merah besar. Dia membuka tutup kotak dan memekik kaget. "Maket? Kamu kasih aku maket?" David mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah kunci dari dalam kotak. Dengan senyum jahil menyerahkan kunci tersebut. "Aslinya juga, Sayang. Kapan pun kamu mau lihat, aku akan antar. Nanti kalau kamu tidak suka desain interiornya, bisa kamu ubah sesuka hati." Mulut Aster ternganga. Dia tidak sangka kejutan demi kejutan datang. "Terima kasih. Kamu baik banget." "Iya, dong. Suami kamu. Aku akan berikan apa pun yang kamu butuhkan. Aku akan
Brak! Brak! Pintu depan rumah Aster digebrak dari luar. Bukan hanya ketukan. Melainkan dipukul keras seolah hendak mendobrak masuk. Mendengar itu, Aster pun bangkit dari tempat tidur. Dia tidak mau ada tetangga yang dengar dan berpikir aneh. Atau malah dimarahi karena telah mengganggu ketertiban umum. Meski Aster juga merasa takut. Dia tetap membukakan pintu. Pria itu berdiri menjulang di sana. Wajah suramnya ditimpa lampu teras. Kaku bagai patung marmer. Ceruk matanya gelap tak terkena cahaya. "Aku bisa jelaskan," bisik David. Aster mematung di tempatnya berdiri. Bibirnya terkatup rapat. "Bu-kan kah tadi su-dah?" cicit Aster. David memejamkan mata sejenak. Dia berkacak pinggang sebelah. "Tapi kamu tidak merespons apa pun, Aster. Kamu pasti berpikir yang tidak - tidak. Kita bicara di dalam?" Aster melihat David penuh keraguan. Kalau dia mengijinkan David masuk, apa saja risiko yang akan dia dapatkan. Tetangga yang keb
Aster tak dapat memejamkan mata. Dia hanya berbaring dalam gelap. Tak mengerti apa pun. Sinar matahari pun mengetuk jendela kamar. Dia terduduk di atas tempat tidur. Kepalanya menoleh ke jam weker. Pukul enam pagi. Matanya perih. Terganjal. Hanya saja sulit menutup. "Mbak, kamu nggak masuk?" tanya Dini lewat panggilan telepon. Aster berdeham. "Aku terlambat," suara serak Aster keluar. "Sakit, Mbak? Mau aku susul ke rumah?" sahut Dini cemas. "Nggak usah. Aku nggak apa - apa. Tolong minta Fuad gantiin untuk meeting di luar," timpal Aster. Dini menyetujui. Dia pun menyudahi telepon. Aster menarik dirinya dari tempat tidur. Menuju kamar mandi, berdiri di bawah pancuran. Air dingin membangunkannya. Semakin dingin terasa menerpa, Aster keluar. Berbalut handuk, dia duduk di meja rias. Menatap sendu bayangannya di cermin. Baru juga kemarin dia berdandan cantik. Senyum merekah sepanjang hari. Lenyap dalam semalam. Mereka
Telepon dari David tak kunjung datang. Sampai pukul lima sore pun tak ada. Aster menatap kosong layar ponsel. Dia masih di kantor sendirian. Dini sudah pulang dijemput suami. Meski awalnya tidak mau meninggalkan Aster sampai ada kabar dari David. Namun dia ada jadwal periksa. Suaminya juga ada keperluan lain. Maka mereka pun pulang. Fuad sendiri mendatangi tiga meeting. Dia tidak kembali ke kantor. Sudah ijin pulang ke rumah tanpa perlu absen ke kantor. Ponselnya berdering. Aster terkejut. Dia meraih cepat benda tipis tersebut. "Ma-mas David," panggil Aster. "Turun. Aku di luar," ujar David. Aster bergegas bangkit dari kursi. Dia menyambar tas. Berlari menuju lift. Tak sabar menanti lift terbuka. Dia menatap jam tangan. Ting! Aster masuk. Dia menekan tombol turun penuh kekuatan. Begitu lift telah mengantarnya ke lantai dasar, Aster pun berlari keluar. Dia menuju mobil David. David tidak turun membukakan pintu. Dia hanya mengisyaratkan agar Aster naik ke mobil. As
Dini mengamati Aster dari mejanya. Wanita sedari pagi diam saja. Bekerja tanpa menunjukkan emosi apa pun. Sempat Dini bertanya tapi hanya dijawab singkat. Itu pun persoalan pekerjaan. Diajak mengobrol santai tidak merespons. "Ada apa sih? Sejak tunangan, malah kayak gitu," bisik Fuad. Dia menyerahkan laporan ke Dini tapi pandangannya tak lepas dari Aster. Tingkah rekannya membuat berbagai prasangka timbul. "Apa ada masalah sama tunangannya? Calon mertua?" tebak Fuad. "Mungkin saja. Dia tidak mau cerita. Aku ikut sedih. Tapi dianya mengunci bibir terus. Gimana coba? Kalau besok masih kayak gini, aku bakal beraksi," sahut Dini. "Itu ide yang bagus." Brak! Sesuatu terantuk benda keras. Fuad dan Dini menoleh ke arah Aster. Bosnya itu berdiri dari kursi tiba - tiba. Kemudian berjalan cepat meninggalkan kantor.
Semalam David mengantarnya sampai rumah. Tapi tidak turun dari mobil. Dia bilang hendak ada meeting. Sudah pukul tujuh malam pun. Namun Aster tidak berani membantah. Apa lagi menggoda David soal pekerjaan. Dia tidak lagi memiliki hak tersebut. Karena kebodohannya sendiri. David pastinya memiliki harga diri tinggi sebagai pria. Dan dia sangat mencintai pekerjaannya. Pekerjaan yang membuatnya kebal atas sakit hati. "Mbak, kamu mau meeting tidak? Apa masih biar dilanjut Fuad?" tanya Dini menuju meja Aster. Aster menyadarkan diri dari lamunan. Dia menatap kaget pada Dini. "Meeting dengan siapa?" "Calon klien baru. Kemarin sudah ditemui Fuad sih." "Kalau begitu biar dilanjutkan Fuad saja. Nanti biar aku ikut kalau sudah mulai masuk pengajuan." Dini mengamati Aster terang - terangan. Dia mengambil berkas dari meja. "Ada apa lagi, Din?" Dini menggeleng. "Kamu
"Mas!" seru Aster terbangun dari mimpinya. Hening. Tiada sahutan. Rumah itu asing. David tidak datang. Bahkan setelah mentari terbit. Aster pun memeriksa ponsel. Benar - benar nihil berita David. Dia bangun menuju kamar utama. Dia perlu ke kamar mandi. Di kamar mandi, telah ada perlengkapan mandi. Seakan kapan pun dihuni, sudah siap. Aster pun tenang memenuhi hajat. Selesai mandi, Aster membawa pakaiannya ke luar. Dia hendak memakainya kembali. Namun tebersit pikiran untuk membuka lemari. Lemari dengan model build in yang besar itu menampakkan isinya. Beberapa potong baju pria dan wanita. Semua masih baru. Ada pula sepatu dan sandal. Model pria dan wanita. Dan baru. Aster mengambil salah satu pakaian. Sebuah gaun formal panjang yang indah. Dan pas di tubuhnya. Dia pun memakai gaun tersebut. Lalu dia memeriksa isi lemari lain. Ada laci berisi asesoris dan perhiasaan. Juga selembar kertas berwarna merah muda. - Aster cintaku, sementara ini dulu ya. Kamu bisa pakai
Aster terbangun kaget. Dia duduk dengan nafas terengah - engah. Matanya mengedarkan pandang ke sana kemari. Kamar tidur asing tempatnya berbaring tadi. Besar dan penuh dengan rak tertutup. Namun tidak sumpek dan hangat. Dia tidak tahu berada di kamar siapa. Maka dia pun menoleh ke samping kanan kiri. Ada pigura di nakas. Aster meraihnya. Ada foto David bersama Rendra dan Safira. Juga ada seorang anak laki - laki. "Mas David," sebut Aster sadar. Dia tadi pingsan karena sedih memikirkan David. Kini dia berada di kamar David di rumah papa dan mamanya. Aster pun menaruh kembali pigura. Dia turun dari tempat tidur. Mencari tasnya. Ponselnya tidak menerima pesan atau pun telepon dari David. Tetap nihil. Malah pesan dan telepon lain. Aster mengabaikan. Dia menggenggam ponsel dan menyandang tas. Keluar kamar segera. "Aster, kamu sudah sadar?" seru Safira menghampiri Aster. "Mana mas David, Ma?" balas Aster. Safira merangkulnya. Diajak masuk kembali ke kamar. Duduk berdua