"Menikah?" seru Panji. Dia menoleh pada kakaknya. Tidak menyangka akan datang secepat itu. "Tapi, Mbak, gimana dengan Amar?" kata Panji. "Siapa itu Amar?" sahut David. Pandangan David mengarah penuh tanya ke arah Aster. Jelas sekali menuntut penjelasan siapakah orang bernama Amar. Bukan ingin menjawab, Aster lebih ingin memukul adiknya. Seakan belum cukup masalah saja. Sampai harus menyebut nama Amar. "Teman sekolah aku dulu, Dav. Belum lama ini kami bertemu lagi," beritahu Aster pada akhirnya. Dia tidak bisa berbohong. Apa lagi dengan tatapan mata David yang tajam. Juga dia tidak ingin menabung masalah untuk masa depan. Lebih baik ramai di depan. Dari pada suatu waktu di masa depan ada hal buruk terjadi. "Oke. Kalian hanya teman biasa kan?" sahut David bukan dengan suara yang tadi pakai untuk menenangkan Aster. Panji pun berdeham. Dia mengambil perhatian kakak dan pria tersebut. "Kita bisa bicara sambil duduk," ajak Panji. Panji memimpin mereka menuju warung. Su
Adiknya bisa memasak. Aster tahu itu. Masakan Panji sedap. Dengan menu yang sama, David membuat mie goreng istimewa lezat yang membuai lidah Aster. Sayang hanya dua porsi untuk Panji dan Aster saja. David memilih makan masakan warung Panji. Sama - sama makan sampai habis. "Kamu akan menginap?" tanya Panji ketika mereka bersantai. David mengecek ponselnya beberapa kali setelah mereka makan. Meski tadi dia bilang akan tidak bisa dihubungi, namun tetap saja membuka ponsel. Aster turut menunggu David menjawab. Dia tahu David tengah menimbang apa yang akan dilakukan. Dia merasa ada pekerjaan yang harus David lakukan meski akhir minggu. "Aku takut mengganggu," jawab David masih ambigu. Aster pun berdiri. Dia pamit hendak ke rumah untuk menemui orang tuanya. David dia persilakan di warung saja. Tiada menolak, David mengangguk. Dia menatap sendu. Meminta maaf karena hendak mengecek pekerjaan. "Iya, nggak apa - apa. Kamu beresin dulu saja kerjaan. Kayaknya penting banget," kat
Aster baru menemani Panji belanja ketika David datang. Tangannya penuh membawa kantong plastik turun dari mobil menuju dapur warung. Pria itu berjalan dari rumah menuju warung. Pengusaha tak kenal waktu libur itu memakai celana halus dan kemeja yang lengannya digulung sampai siku. Pada hari Minggu. Sudah menjelang sore pun. "Kamu baru saja datang? Mengapa tidak mengirim pesan dulu?" sambut Aster. David mengulas senyum. Dia mengambil alih kantong belanja dari tangan Aster. "Maaf, aku tidak sempat. Tadi aku sarapan dengan mama dan papa. Kebetulan nenek juga tengah berkunjung. Ya, dan aku sudah memberitahu mereka tentang dirimu dan lamaranku," beritahu David sambil menaruh belanjaan ke meja dapur. Aster menyerahkan sisanya pada karyawan Panji. Dia lalu mengajak David beralih dari warung. Sudah penasaran dengan apa yang disampaikan orang tua David. "Terus?" tanya Aster bersemangat. Dia menarik David menuju teras rumah. "Ya mereka mau ketemu kamu dan orang tua kamu. Tadi aku
Tidak sangka hari berjalan begitu cepat. Aster tenggelam dalam pekerjaan. Tiba - tiba saja David mengingatkan soal pertemuan keluarga mereka esok hari. "Kamu mau berangkat sendiri?" tanya David yang mengantar Aster kembali ke kantor setelah makan siang berdua. Aster yang naik ke mobil sambil membalas surel, hanya bergumam. Dia menarik sabuk tanpa melihat. David pun mengambil alih, menguncinya ke pengaman. "Aster, honey, kamu mau berangkat kapan?" ulang David. Aster tersentak. Dia menaruh ponsel di pangkuan. "Oh, maaf, Dav. Apa? Berangkat?" tanya Aster. David dengan sabar mengulang pertanyaan serupa untuk ketiga kalinya. Dia bicara perlahan. "Nanti selesai kerja, aku pulang ke rumah. Kamu dan papa mama besok berangkat pagi?" "Tidak capek? Apa aku minta driver antar kamu?" "Em..., nggak usah, Dav. Aku nggak capek. Kan nanti bisa istirahat di rumah." "Bilang mama, tidak usah repot menyiapkan apa - apa. Mama dan papaku agak susah makannya." "Ada alergi? Diet khusus?"
"Mbak, malah melamun," tegur Panji. Aster menggeleng lemah. Dia merapikan gaun brokat biru muda yang dipakai. Melihat pantulan dirinya di cermin. Apa seperti ini rasanya? Jantung berdebar tak keruan. Maunya semua segera tak laksana. Lalu selesai sudah. "Tuh, dah datang calon suami kamu, Mbak. Ayo keluar! Papa sudah nyuruh keluar," beritahu Panji. Memang sudah setengah jam lalu David serta mama, papa, dan nenek telah tiba. Mereka berada di ruang tamu. Bicara awalan dengan Huda dan Laura. Aster menarik nafas dalam - dalam. Tidak apa - apa. Semua akan selesai dengan baik. "Nah, ini putri saya, Aster," ujar Huda menyambut Aster yang duduk di sebelah ibunya. Ketiga tamu melhat Aster dengan tatapan penasaran. Sebelumnya David sudah memberitahu dirinya. Pria tinggi berambut kelabu dengan wajah sendu adalah Rendra, ayahnya. Wanita dengan rambut hitam legam digelung ketat. Selalu mengulas lipstik merah. Raut mukanya elegan dan tenang, adalah Safira. Ibu David yang sering meng
"Mas David?" pekik Aster begitu keluar dari mobil. Dia berlari kecil masuk ke teras. Halaman kecilnya sudah dirapikan. Terdapat lampu - lampu menghias. Sebuah kotak besar berada di meja tamu di teras. David menyusulnya masuk. Dia menyuruh Aster membuka. Aster benar - benar tidak menyangka maksud David buru - buru pulang adalah untuk ini. Bukan karena pekerjaan yang dia kira. Tangan Aster bergetar menarik pita merah besar. Dia membuka tutup kotak dan memekik kaget. "Maket? Kamu kasih aku maket?" David mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah kunci dari dalam kotak. Dengan senyum jahil menyerahkan kunci tersebut. "Aslinya juga, Sayang. Kapan pun kamu mau lihat, aku akan antar. Nanti kalau kamu tidak suka desain interiornya, bisa kamu ubah sesuka hati." Mulut Aster ternganga. Dia tidak sangka kejutan demi kejutan datang. "Terima kasih. Kamu baik banget." "Iya, dong. Suami kamu. Aku akan berikan apa pun yang kamu butuhkan. Aku akan
Brak! Brak! Pintu depan rumah Aster digebrak dari luar. Bukan hanya ketukan. Melainkan dipukul keras seolah hendak mendobrak masuk. Mendengar itu, Aster pun bangkit dari tempat tidur. Dia tidak mau ada tetangga yang dengar dan berpikir aneh. Atau malah dimarahi karena telah mengganggu ketertiban umum. Meski Aster juga merasa takut. Dia tetap membukakan pintu. Pria itu berdiri menjulang di sana. Wajah suramnya ditimpa lampu teras. Kaku bagai patung marmer. Ceruk matanya gelap tak terkena cahaya. "Aku bisa jelaskan," bisik David. Aster mematung di tempatnya berdiri. Bibirnya terkatup rapat. "Bu-kan kah tadi su-dah?" cicit Aster. David memejamkan mata sejenak. Dia berkacak pinggang sebelah. "Tapi kamu tidak merespons apa pun, Aster. Kamu pasti berpikir yang tidak - tidak. Kita bicara di dalam?" Aster melihat David penuh keraguan. Kalau dia mengijinkan David masuk, apa saja risiko yang akan dia dapatkan. Tetangga yang keb
Aster tak dapat memejamkan mata. Dia hanya berbaring dalam gelap. Tak mengerti apa pun. Sinar matahari pun mengetuk jendela kamar. Dia terduduk di atas tempat tidur. Kepalanya menoleh ke jam weker. Pukul enam pagi. Matanya perih. Terganjal. Hanya saja sulit menutup. "Mbak, kamu nggak masuk?" tanya Dini lewat panggilan telepon. Aster berdeham. "Aku terlambat," suara serak Aster keluar. "Sakit, Mbak? Mau aku susul ke rumah?" sahut Dini cemas. "Nggak usah. Aku nggak apa - apa. Tolong minta Fuad gantiin untuk meeting di luar," timpal Aster. Dini menyetujui. Dia pun menyudahi telepon. Aster menarik dirinya dari tempat tidur. Menuju kamar mandi, berdiri di bawah pancuran. Air dingin membangunkannya. Semakin dingin terasa menerpa, Aster keluar. Berbalut handuk, dia duduk di meja rias. Menatap sendu bayangannya di cermin. Baru juga kemarin dia berdandan cantik. Senyum merekah sepanjang hari. Lenyap dalam semalam. Mereka
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua