Semua Bab Menjadi Istri Kedua Tuan Presdir: Bab 101 - Bab 110

121 Bab

Bab 101

Bibir lembab Bintara menjalar ke leher jenjang Aruna. Sementara Aruna telah pasrah merasakan sensasi menyengat dari bibir Bintara juga hembusan nafasnya yang membuat bulu kuduk Astoria meremang.“Sshh Bi-Bin ahh …,” rintih Aruna ketika ia rasakan kedua tangan Bintara mulai meraba naik ke dadanya di balik daster, sementara bibir Bintara masih belum absen memberikan tanda kemerahan di leher Aruna.Kecupan Bintara naik ke telinga Aruna, “Aruna …, aku mencurahkan perasaanku di setiap sentuhan ini …,” ucapnya sambil melepas tali bra istrinya itu dari balik dasternya.Aruna melingkarkan lengannya di leher Bintara, wajahnya memerah panas ketika mendengar kata-kata Bintara. Bintara juga juga mengecup pipi Aruna dengan begitu lembut, mengecup kening, trun ke hidung, lalu menatap Aruna sendu.“Jangan bandingkan perlakuanku pada Serena …, aku bahkan melakukannya dengan kasar … dan masih membayangkanmu saat hasratku keluar,” lanjut Bintara, semakin mendekatka
Baca selengkapnya

Bab 102

Keesokan harinya, Bintara, Aruna, dan Rohana bersiap-siap untuk mengunjungi rumah orang tua Aruna. Perjalanan menuju rumah tersebut terasa seperti perjalanan penting yang penuh dengan harapan dan penantian. Sesampainya di rumah orang tua Aruna, mereka disambut dengan senyuman dan pelukan hangat. Pak Brahma, dengan wajah yang selalu tegas, namun kali ini tampak lebih lembut, menyambut Bintara dengan jabatan tangan yang kuat. "Senang melihatmu lagi, Bintara," katanya, suaranya penuh makna. Bintara mengangguk dengan hormat. "Senang bertemu kembali, Ayah. Saya datang untuk membuktikan bahwa saya serius dengan janji saya." Mereka semua duduk di ruang tamu yang hangat, dengan aroma kopi yang baru diseduh menyelimuti udara. Ibu Lasmi menggendong Rohana dengan senyuman hangat, sementara Bintara memulai pembicaraan dengan hati-hati. Ia menjelaskan bagaimana semua masalah telah diselesaikan, bagaimana Serena telah dipenjara, dan menceraikannya ser
Baca selengkapnya

Bab 103

"Ibu baik-baik aja, tapi dia gak mau di bawa ke Jakarta, padahal aku khawatir kalau dia tinggal di Bandung sendirian," jawab Bintara akhirnya. "Gak apa-apa, kita bisa bujuk Ibu pelan-pelan." Aruna menatap hangat pada Bintaran sambil menepuk bahu Bintara pelan.Bintara terdiam sejenak, merenungi kata-kata Aruna. Tatapan matanya penuh kekhawatiran yang mendalam. “Aku tahu, Aruna,” ujarnya pelan, “Tapi Ibu sangat keras kepala. Dia selalu bilang nggak mau merepotkan kita. Aku hanya nggak mau dia merasa kesepian atau sakit sendiri di sana.”Aruna tersenyum lembut, menepuk bahu Bintara lagi, kali ini dengan penuh kasih sayang. “Kita nggak akan biarkan ibu merasa sendiri. Kita bisa sering berkunjung ke Bandung, atau bahkan kita bisa pindah sementara ke sana. Lagi pula, bisnis sayuran di Bandung bisa jadi peluang yang bagus buat kita. Aku juga ingin Rohana tumbuh dekat dengan neneknya.”Bintara memandang Aruna dengan penuh rasa syukur. “Kamu benar,” kata
Baca selengkapnya

Bab 104

Bu Najiah terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Suara Adi Jaya di telepon terdengar begitu jauh, namun menghantam jantungnya dengan keras. Pertanyaan sederhana itu, "Apa kabarmu?", seperti duri yang menancap dalam di hatinya.Kenapa sekarang? Kenapa setelah sekian tahun berlalu, setelah semua luka dan kehancuran yang ia alami, Adi Jaya tiba-tiba muncul kembali, menanyakan sesuatu yang tak lagi berhak ia ketahui? Air mata mengalir di wajah Bu Najiah. Ia menahan isak, tak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Bintara dan Aruna, apalagi di hadapan suara dari masa lalu yang membawanya ke jurang kehancuran. Adi Jaya, suami yang dulu begitu ia percayai dan cintai, yang dengan begitu mudahnya mengkhianati dan meninggalkannya dalam keadaan paling terpuruk. Dialah yang membuat Bu Najiah mendekam di penjara, dipersalahkan atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan, kejahatan yang sepenuhnya merupakan hasil perbuatan Adi Jaya.
Baca selengkapnya

Bab 105

Subuh di rumah Bu Najiah terasa tenang, dengan suara kesibukan di dapur yang menggema lembut. Bu Najiah sudah bangun lebih awal, menyiapkan dagangannya. Dia dengan cekatan menggoreng telur dadar, menyiapkan topping untuk nasi kuning yang akan dijual pagi itu. Aroma harum masakan memenuhi udara, memberikan nuansa hangat dan nyaman di rumah itu. Mendengar kesibukan dari dapur, Aruna terbangun. Dengan perlahan, dia berjalan ke dapur dan melihat ibu mertuanya tengah sibuk mengurus dagangan. "Ibu udah sibuk aja, kenapa gak istirahat dulu? Sini, biar Aruna bantu," ujarnya dengan penuh perhatian. Bu Najiah tersenyum, melambai pelan dengan tangan yang masih memegang spatula. "Ibu harus tetap berdagang, nanti pelanggannya kecewa kalau gak jualan. Lagi pula, kondisi ibu baik-baik saja," jawabnya dengan nada yang lembut namun tegas, menunjukkan tekadnya untuk tetap aktif. Aruna mengangguk dan segera bergabung membantu. Dia membersihka
Baca selengkapnya

Bab 106

Setelah survei rumah dan mempertimbangkan dengan matang, akhirnya Bintara memutuskan untuk membeli dua rumah. Satu rumah akan dijadikan tempat tinggal mereka, sementara yang lain berupa ruko untuk usaha sayur mayur Aruna. Setelah menyelesaikan transaksi, ponsel Bintara berdering. Telepon dari Dr. Hasan, dokter yang merawat ibunya, mengingatkan bahwa hari ini adalah jadwal kontrol Bu Najiah ke rumah sakit. "Ku tunggu sampai sore pukul lima, ya," ujar Dr. Hasan. Bintara mengangguk, merasa sedikit khawatir tapi juga bersyukur ada yang memperhatikan kesehatan ibunya. Dia pun mengajak Aruna pulang ke rumah ibunya dan membantu menutup warung nasi kuning. Setelah sampai di rumah sakit, Aruna dan Bintara segera menuju ke ruang tunggu. Di sana, Aruna bertemu dengan Dr. Hasan. Ketika mata mereka bertemu, Aruna terkejut dan tersenyum lebar. "Hasan! Ternyata kamu dokter yang dimaksud!" serunya, senang sekaligus terkejut.
Baca selengkapnya

Bab 107

Bintara kembali ke Jakarta, tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan pembukaan cabang hotel baru di Bandung. Sementara itu, Aruna tinggal di Bandung bersama Bu Najiah, membantu dan merawat ibu mertuanya dengan penuh perhatian. Mereka menjaga komunikasi erat, meski terpisah oleh jarak.Di Jakarta, Bintara menghadiri rapat penting dengan ayahnya, Adi Jaya, untuk membahas detail perencanaan hotel baru. Jinu, yang sebelumnya keluar dari perusahaan, akan direkrut kembali dan diangkat sebagai General Manager di Hotel King Jakarta, milik Adi Jaya dan Bintara. Sebastian juga akan berperan besar dalam proyek baru ini, mengikuti Bintara ke Bandung untuk membangun hotel baru.Setelah rapat berakhir, Adi Jaya meminta Bintara untuk tetap di ruangan. Suasana berubah menjadi lebih serius ketika mereka duduk berdua. Adi Jaya memandang putranya dengan tatapan penuh pertimbangan. "Bintara, aku ingin berbicara secara pribadi denganmu tentang sesuatu yang sudah lama aku pendam," kata A
Baca selengkapnya

Bab 108

Di dalam mobil, Bintara dan Sebastian melaju menuju Bandung. Bintara merasa lega mendengar penjelasan Sebastian tentang warung sayur Aruna. Mereka berbicara dengan suasana santai namun penuh makna, sambil menatap jalan raya yang membentang di depan."Terimakasih sudah mengurus warung sayur Aruna di rumah kontrakan itu," ucap Bintara sambil tersenyum tipis, merasa berterima kasih atas perhatian Sebastian.Sebastian membalas dengan anggukan kecil, "Iya, tenang aja. Semua udah beres. Rumah itu udah kita beli, jadi bisa tenang soal tempat usaha warung sayur itu. Hari ini pegawai baru juga udah mulai kerja. Aku rekrut tiga orang, satu untuk kasir, satu lagi untuk melayani pembeli, dan satu lagi akan libur secara bergilir biar bisa gantian jaga warung. Jadi, warung bisa tetap buka setiap hari."Bintara mengangguk, merasa tenang dengan pengaturan itu. "Bagus, jadi Aruna nggak perlu khawatir lagi. Aku ingin dia fokus pada usahanya di Bandung nanti." Seba
Baca selengkapnya

Bab 109

Di rumah Bu Najiah, suasana sore yang tenang menyelimuti. Bintara dengan penuh kasih sayang membantu Rohana yang baru belajar berjalan, membimbing langkah-langkah kecilnya dengan hati-hati. Di samping mereka, Aruna berdiri mendampingi, senyum manis menghiasi wajahnya melihat momen kebahagiaan kecil ini.Sambil terus menjaga agar Rohana tidak terjatuh, Bintara mendekatkan diri pada Aruna. Dengan nada hampir berbisik, ia berbicara, "Sayang, ayahku ingin menemuimu untuk minta maaf." Kata-katanya lembut, penuh dengan harapan dan kehati-hatian, agar ibunya yang sedang berada di dapur tidak mendengar.Aruna tertegun sejenak, pandangannya tertuju pada Rohana, tapi pikirannya melayang pada kata-kata Bintara. Perasaannya campur aduk, antara gugup dan tidak siap menghadapi pertemuan tersebut.Ia tahu bahwa ayah Bintara, Adi Jaya, pernah merendahkannya dan bahkan menentang pernikahan mereka. Mendengar permintaan maaf itu, ia merasa seperti membuka kembali luka lama y
Baca selengkapnya

Bab 110

Serena duduk diam di atas ranjang sempitnya, tubuhnya tegak namun lemah, seolah beban berat menekan pundaknya. Matanya menatap kosong jendela kecil di atas ruangan, hanya sedikit sinar matahari yang masuk, membentuk garis-garis tipis di lantai beton yang dingin. Terkadang, suara langkah kaki sipir terdengar bergema di sepanjang koridor, menciptakan ritme yang monoton dan menyiksa.Suasana di dalam penjara penuh dengan ketegangan dan kesunyian yang tak nyaman. Dinding-dindingnya kusam dan berbau lembab, sebuah pengingat tak henti akan kerasnya kehidupan di sana.Di sekitar Serena, napi wanita lainnya bergerak dengan langkah berat, beberapa terlibat dalam obrolan singkat, sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan kecil mereka.Ada yang ramah kepada Serena, seperti Nina, yang duduk di ranjang sebelahnya dan sering memberikan senyuman penuh pengertian. "Semangat Serena, perjalanan masih panjang. kenapa murung begitu?" tanya Nina dengan sua
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status