Serena duduk diam di atas ranjang sempitnya, tubuhnya tegak namun lemah, seolah beban berat menekan pundaknya. Matanya menatap kosong jendela kecil di atas ruangan, hanya sedikit sinar matahari yang masuk, membentuk garis-garis tipis di lantai beton yang dingin.
Terkadang, suara langkah kaki sipir terdengar bergema di sepanjang koridor, menciptakan ritme yang monoton dan menyiksa.Suasana di dalam penjara penuh dengan ketegangan dan kesunyian yang tak nyaman. Dinding-dindingnya kusam dan berbau lembab, sebuah pengingat tak henti akan kerasnya kehidupan di sana.Di sekitar Serena, napi wanita lainnya bergerak dengan langkah berat, beberapa terlibat dalam obrolan singkat, sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan kecil mereka.Ada yang ramah kepada Serena, seperti Nina, yang duduk di ranjang sebelahnya dan sering memberikan senyuman penuh pengertian."Semangat Serena, perjalanan masih panjang. kenapa murung begitu?" tanya Nina dengan suaDong Min duduk terpaku di sudut sel tahanannya, matanya tertuju pada surat yang baru saja diterimanya. Surat itu berisi keputusan pencoretan dirinya dari kartu keluarga. Dengan tangan gemetar, ia membaca setiap kata yang tertulis di sana, seolah-olah tak percaya pada kenyataan yang kini menimpanya.Di dalam sel yang dingin dan pengap, Dong Min merasa seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Tidak hanya namanya yang dihapus dari keluarga, tetapi hak waris yang selama ini ia anggap pasti juga sirna. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang meluap-luap dan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Kepedihan dan keputusasaan menyatu dalam batinnya, menciptakan badai emosi yang tak bisa ia kendalikan. Dengan tiba-tiba, ia berteriak penuh kemarahan dan frustasi. "Tidak! Ini tidak mungkin! Mereka tidak bisa melakukan ini padaku!" Suaranya menggema di lorong penjara, mengusik ketenangan yang sudah rapuh di antara para napi lainnya.Para narapidana lain yang
"Aaaarrrrghhh!!!" Suara teriakan menggema di lavatory, mengguncang keheningan penjara. Dong Min terkapar di toilet duduk, urat nadinya mengeluarkan darah. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat pasi. Mendengar teriakan itu, orang-orang berlarian ingin melihat apa yang terjadi. Beberapa napi berdesakan di depan pintu toilet, mencoba mengintip di balik kerumunan. Petugas keamanan segera tiba di lokasi dan berusaha mengendalikan situasi. Dengan sigap, mereka mengangkat Dong Min dan membawanya ke klinik penjara untuk mendapat pertolongan pertama. Di klinik, seorang suster dengan cepat menghentikan pendarahan. Tangannya bergerak cekatan, menekan perban pada luka Dong Min sambil memberikan instruksi tegas kepada asistennya. "Ambil perban steril dan kain kasa, cepat!" Dong Min mulai kehilangan kesadaran, napasnya tersengal-sengal. "Bertahanlah," bisik suster itu dengan nada penuh kepedulian. Tak lama kemudian
Di dunia ini, kita hidup berdampingan dengan berbagai kisah dan perjalanan hidup. Setiap individu memiliki jalan yang berbeda, namun semua saling berkaitan dalam jalinan takdir yang tak terduga.Seperti Serena, yang kini mulai menyadari kesalahannya dan bertekad untuk memulai semuanya dari awal. Penjara yang awalnya dirasa sebagai akhir, justru menjadi tempat refleksi dan pembelajaran.Dia berusaha bangkit, belajar dari masa lalu yang kelam, dan berharap dapat menebus kesalahannya dengan tindakan yang lebih baik di masa depan.Di sisi lain, ada Dong Min yang tenggelam dalam keputusasaan. Kehidupan yang dulu gemilang kini hancur berantakan. Namun, di balik setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang menyinari. Tanpa disadarinya, ada orang-orang seperti suster Jaine yang peduli dan berusaha keras untuk menyelamatkannya, memberikan harapan dan kesempatan kedua yang tak ternilai.Kemudian, ada kisah Aruna dan Bintara, pasangan yang menghadapi setiap rint
Pagi itu di rumah baru Aruna dan Bintara di Bandung, udara terasa sejuk dengan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela. Burung-burung berkicau ceria di luar, seolah-olah ikut merayakan hari baru. Di dalam rumah, aroma harum kopi dan roti panggang memenuhi udara.Aruna dengan cekatan menghidangkan sarapan di meja makan. Senyum manisnya terpancar saat melihat Bintara yang duduk menunggu dengan penuh kasih. "Bagaimana kemajuan hotelmu, Sayang?" tanya Aruna sambil menyusun piring-piring dan makanan di atas meja."Semua lancar," jawab Bintara, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Ada Sebastian yang urus, aku tinggal nerima laporan aja. Sekarang lagi rekrut pegawai juga. Sebentar lagi grand opening hotel."Aruna tersenyum mendengar kabar baik itu. "Aku juga udah daftar kuliah online," tambahnya dengan nada riang.Bintara mengangkat alisnya, terkesan dengan semangat istrinya. "Benarkah? Hebat! Kamu memang selalu punya semangat untu
Keesokan harinya, mereka pun beranjak untuk merencanakan kunjungan ke penjara tempat Serena ditahan. Bintara merasa sedikit gelisah, tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menutup lembaran masa lalu dan melangkah ke depan dengan hati yang lebih tenang. Di mobil, dalam perjalanan ke penjara, suasana hening sesekali diwarnai dengan percakapan ringan. Namun, masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aruna merenung, memikirkan pertemuannya dengan Serena yang akan datang. Ia ingin melihat langsung bagaimana keadaan Serena, apakah mantan istri Bintara itu sudah berubah atau masih sama seperti dulu. Sesampainya di penjara, mereka melangkah masuk dengan langkah mantap. Petugas penjara mengarahkan mereka ke ruang kunjungan. Suasana di penjara terasa berat dan penuh dengan ketegangan yang tersimpan di dinding-dinding dingin bangunan itu. Serena duduk di sana, menatap ke luar jendela kecil yang ada di ruang kunjungan. Ketika pin
"Serena...," panggil Nina kemudian."Ya?" Serena menatap Nina sendu."Aku punya satu permintaan, maukah kau melakukannya untukku?" Tatap Nina dengan nanar."Apa itu?" tanya Serena.Nina menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Jika nanti kau keluar dari penjara, bisakah kau datang pada anakku dan mengasuhnya?"Serena terkejut, menatap Nina dengan heran. "Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau juga akan keluar dari penjara?"Nina tersenyum getir, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu apakah aku akan hidup sampai hari itu tiba," bisiknya sambil menyerahkan selembar kertas pada Serena.Serena meraih kertas itu dengan tangan gemetar. Saat ia membaca hasil tes rumah sakit yang diberikan Nina, matanya terbelalak. "Leukimia...," gumamnya tak percaya.Nina mengangguk, air mata tak tertahankan lagi. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi kondisiku semakin memburuk. Aku tidak ingin anakku hidup tanpa cint
Serena mengangguk, memikirkan penjelasan Nina. "Mmm, kalau begitu aku tahu cara agar dia bisa berhenti menggangguku..." ujarnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Nina menatapnya penasaran. "Apa rencanamu, Serena?" Serena menjelaskan dengan semangat baru, "Aku harus mengajak Mira kerjasama nanti. Aku ingin membantunya menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Setelah keluar dari sini, aku berencana membuka usaha kecil-kecilan. Mungkin dia bisa bergabung denganku."Nina mendengar dengan penuh perhatian, tetapi keraguan tetap ada di wajahnya. "Itu ide yang bagus, Serena, tapi pasti akan sulit membujuknya. Mira punya banyak luka dan kepercayaan yang hilang. Dia mungkin tidak akan mudah menerima tawaranmu."Serena tersenyum tipis, matanya memancarkan tekad yang kuat. "Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku percaya setiap orang punya sisi baik. Mungkin ini adalah cara untuk membantu dia melihat bahwa ada harapan dan kesempatan kedua, sama seperti y
Di klinik lapas, suasana terasa sunyi dan muram. Dong Min masih terbaring lemah di ranjang, tubuhnya yang kurus tampak rapuh, hampir seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Tatapannya kosong, sering kali melamun, seakan terjebak dalam pikirannya sendiri yang kelam. Luka di pergelangan tangannya sudah mulai sembuh, namun luka di hatinya masih terasa perih, membekas dalam setiap helaan napasnya.Suster yang merawatnya selalu datang, membawa kehangatan yang berusaha meruntuhkan tembok dingin yang dibangun Dong Min di sekelilingnya.Seperti saat ini, ia datang dengan semangkuk bubur hangat, berharap bisa membuat Dong Min mau makan sedikit, agar kekuatannya kembali. Namun, setiap kali ia mendekat, Dong Min selalu berpaling, menolak kehadirannya dengan sikap acuh yang menyakitkan."Tuan Dong Min, kamu harus makan agar cepat pulih..." ujar suster itu dengan suara lembut, meski ada kelelahan dalam nadanya. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja samping tem