Bu Najiah terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Suara Adi Jaya di telepon terdengar begitu jauh, namun menghantam jantungnya dengan keras. Pertanyaan sederhana itu, "Apa kabarmu?", seperti duri yang menancap dalam di hatinya.
Kenapa sekarang? Kenapa setelah sekian tahun berlalu, setelah semua luka dan kehancuran yang ia alami, Adi Jaya tiba-tiba muncul kembali, menanyakan sesuatu yang tak lagi berhak ia ketahui? Air mata mengalir di wajah Bu Najiah. Ia menahan isak, tak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Bintara dan Aruna, apalagi di hadapan suara dari masa lalu yang membawanya ke jurang kehancuran. Adi Jaya, suami yang dulu begitu ia percayai dan cintai, yang dengan begitu mudahnya mengkhianati dan meninggalkannya dalam keadaan paling terpuruk. Dialah yang membuat Bu Najiah mendekam di penjara, dipersalahkan atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan, kejahatan yang sepenuhnya merupakan hasil perbuatan Adi Jaya.Subuh di rumah Bu Najiah terasa tenang, dengan suara kesibukan di dapur yang menggema lembut. Bu Najiah sudah bangun lebih awal, menyiapkan dagangannya. Dia dengan cekatan menggoreng telur dadar, menyiapkan topping untuk nasi kuning yang akan dijual pagi itu. Aroma harum masakan memenuhi udara, memberikan nuansa hangat dan nyaman di rumah itu. Mendengar kesibukan dari dapur, Aruna terbangun. Dengan perlahan, dia berjalan ke dapur dan melihat ibu mertuanya tengah sibuk mengurus dagangan. "Ibu udah sibuk aja, kenapa gak istirahat dulu? Sini, biar Aruna bantu," ujarnya dengan penuh perhatian. Bu Najiah tersenyum, melambai pelan dengan tangan yang masih memegang spatula. "Ibu harus tetap berdagang, nanti pelanggannya kecewa kalau gak jualan. Lagi pula, kondisi ibu baik-baik saja," jawabnya dengan nada yang lembut namun tegas, menunjukkan tekadnya untuk tetap aktif. Aruna mengangguk dan segera bergabung membantu. Dia membersihka
Setelah survei rumah dan mempertimbangkan dengan matang, akhirnya Bintara memutuskan untuk membeli dua rumah. Satu rumah akan dijadikan tempat tinggal mereka, sementara yang lain berupa ruko untuk usaha sayur mayur Aruna. Setelah menyelesaikan transaksi, ponsel Bintara berdering. Telepon dari Dr. Hasan, dokter yang merawat ibunya, mengingatkan bahwa hari ini adalah jadwal kontrol Bu Najiah ke rumah sakit. "Ku tunggu sampai sore pukul lima, ya," ujar Dr. Hasan. Bintara mengangguk, merasa sedikit khawatir tapi juga bersyukur ada yang memperhatikan kesehatan ibunya. Dia pun mengajak Aruna pulang ke rumah ibunya dan membantu menutup warung nasi kuning. Setelah sampai di rumah sakit, Aruna dan Bintara segera menuju ke ruang tunggu. Di sana, Aruna bertemu dengan Dr. Hasan. Ketika mata mereka bertemu, Aruna terkejut dan tersenyum lebar. "Hasan! Ternyata kamu dokter yang dimaksud!" serunya, senang sekaligus terkejut.
Bintara kembali ke Jakarta, tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan pembukaan cabang hotel baru di Bandung. Sementara itu, Aruna tinggal di Bandung bersama Bu Najiah, membantu dan merawat ibu mertuanya dengan penuh perhatian. Mereka menjaga komunikasi erat, meski terpisah oleh jarak.Di Jakarta, Bintara menghadiri rapat penting dengan ayahnya, Adi Jaya, untuk membahas detail perencanaan hotel baru. Jinu, yang sebelumnya keluar dari perusahaan, akan direkrut kembali dan diangkat sebagai General Manager di Hotel King Jakarta, milik Adi Jaya dan Bintara. Sebastian juga akan berperan besar dalam proyek baru ini, mengikuti Bintara ke Bandung untuk membangun hotel baru.Setelah rapat berakhir, Adi Jaya meminta Bintara untuk tetap di ruangan. Suasana berubah menjadi lebih serius ketika mereka duduk berdua. Adi Jaya memandang putranya dengan tatapan penuh pertimbangan. "Bintara, aku ingin berbicara secara pribadi denganmu tentang sesuatu yang sudah lama aku pendam," kata A
Di dalam mobil, Bintara dan Sebastian melaju menuju Bandung. Bintara merasa lega mendengar penjelasan Sebastian tentang warung sayur Aruna. Mereka berbicara dengan suasana santai namun penuh makna, sambil menatap jalan raya yang membentang di depan."Terimakasih sudah mengurus warung sayur Aruna di rumah kontrakan itu," ucap Bintara sambil tersenyum tipis, merasa berterima kasih atas perhatian Sebastian.Sebastian membalas dengan anggukan kecil, "Iya, tenang aja. Semua udah beres. Rumah itu udah kita beli, jadi bisa tenang soal tempat usaha warung sayur itu. Hari ini pegawai baru juga udah mulai kerja. Aku rekrut tiga orang, satu untuk kasir, satu lagi untuk melayani pembeli, dan satu lagi akan libur secara bergilir biar bisa gantian jaga warung. Jadi, warung bisa tetap buka setiap hari."Bintara mengangguk, merasa tenang dengan pengaturan itu. "Bagus, jadi Aruna nggak perlu khawatir lagi. Aku ingin dia fokus pada usahanya di Bandung nanti." Seba
Di rumah Bu Najiah, suasana sore yang tenang menyelimuti. Bintara dengan penuh kasih sayang membantu Rohana yang baru belajar berjalan, membimbing langkah-langkah kecilnya dengan hati-hati. Di samping mereka, Aruna berdiri mendampingi, senyum manis menghiasi wajahnya melihat momen kebahagiaan kecil ini.Sambil terus menjaga agar Rohana tidak terjatuh, Bintara mendekatkan diri pada Aruna. Dengan nada hampir berbisik, ia berbicara, "Sayang, ayahku ingin menemuimu untuk minta maaf." Kata-katanya lembut, penuh dengan harapan dan kehati-hatian, agar ibunya yang sedang berada di dapur tidak mendengar.Aruna tertegun sejenak, pandangannya tertuju pada Rohana, tapi pikirannya melayang pada kata-kata Bintara. Perasaannya campur aduk, antara gugup dan tidak siap menghadapi pertemuan tersebut.Ia tahu bahwa ayah Bintara, Adi Jaya, pernah merendahkannya dan bahkan menentang pernikahan mereka. Mendengar permintaan maaf itu, ia merasa seperti membuka kembali luka lama y
Serena duduk diam di atas ranjang sempitnya, tubuhnya tegak namun lemah, seolah beban berat menekan pundaknya. Matanya menatap kosong jendela kecil di atas ruangan, hanya sedikit sinar matahari yang masuk, membentuk garis-garis tipis di lantai beton yang dingin. Terkadang, suara langkah kaki sipir terdengar bergema di sepanjang koridor, menciptakan ritme yang monoton dan menyiksa.Suasana di dalam penjara penuh dengan ketegangan dan kesunyian yang tak nyaman. Dinding-dindingnya kusam dan berbau lembab, sebuah pengingat tak henti akan kerasnya kehidupan di sana.Di sekitar Serena, napi wanita lainnya bergerak dengan langkah berat, beberapa terlibat dalam obrolan singkat, sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan kecil mereka.Ada yang ramah kepada Serena, seperti Nina, yang duduk di ranjang sebelahnya dan sering memberikan senyuman penuh pengertian. "Semangat Serena, perjalanan masih panjang. kenapa murung begitu?" tanya Nina dengan sua
Dong Min duduk terpaku di sudut sel tahanannya, matanya tertuju pada surat yang baru saja diterimanya. Surat itu berisi keputusan pencoretan dirinya dari kartu keluarga. Dengan tangan gemetar, ia membaca setiap kata yang tertulis di sana, seolah-olah tak percaya pada kenyataan yang kini menimpanya.Di dalam sel yang dingin dan pengap, Dong Min merasa seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Tidak hanya namanya yang dihapus dari keluarga, tetapi hak waris yang selama ini ia anggap pasti juga sirna. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang meluap-luap dan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Kepedihan dan keputusasaan menyatu dalam batinnya, menciptakan badai emosi yang tak bisa ia kendalikan. Dengan tiba-tiba, ia berteriak penuh kemarahan dan frustasi. "Tidak! Ini tidak mungkin! Mereka tidak bisa melakukan ini padaku!" Suaranya menggema di lorong penjara, mengusik ketenangan yang sudah rapuh di antara para napi lainnya.Para narapidana lain yang
"Aaaarrrrghhh!!!" Suara teriakan menggema di lavatory, mengguncang keheningan penjara. Dong Min terkapar di toilet duduk, urat nadinya mengeluarkan darah. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat pasi. Mendengar teriakan itu, orang-orang berlarian ingin melihat apa yang terjadi. Beberapa napi berdesakan di depan pintu toilet, mencoba mengintip di balik kerumunan. Petugas keamanan segera tiba di lokasi dan berusaha mengendalikan situasi. Dengan sigap, mereka mengangkat Dong Min dan membawanya ke klinik penjara untuk mendapat pertolongan pertama. Di klinik, seorang suster dengan cepat menghentikan pendarahan. Tangannya bergerak cekatan, menekan perban pada luka Dong Min sambil memberikan instruksi tegas kepada asistennya. "Ambil perban steril dan kain kasa, cepat!" Dong Min mulai kehilangan kesadaran, napasnya tersengal-sengal. "Bertahanlah," bisik suster itu dengan nada penuh kepedulian. Tak lama kemudian