Bintara kembali ke Jakarta, tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan pembukaan cabang hotel baru di Bandung. Sementara itu, Aruna tinggal di Bandung bersama Bu Najiah, membantu dan merawat ibu mertuanya dengan penuh perhatian. Mereka menjaga komunikasi erat, meski terpisah oleh jarak.
Di Jakarta, Bintara menghadiri rapat penting dengan ayahnya, Adi Jaya, untuk membahas detail perencanaan hotel baru. Jinu, yang sebelumnya keluar dari perusahaan, akan direkrut kembali dan diangkat sebagai General Manager di Hotel King Jakarta, milik Adi Jaya dan Bintara. Sebastian juga akan berperan besar dalam proyek baru ini, mengikuti Bintara ke Bandung untuk membangun hotel baru.Setelah rapat berakhir, Adi Jaya meminta Bintara untuk tetap di ruangan. Suasana berubah menjadi lebih serius ketika mereka duduk berdua. Adi Jaya memandang putranya dengan tatapan penuh pertimbangan. "Bintara, aku ingin berbicara secara pribadi denganmu tentang sesuatu yang sudah lama aku pendam," kata ADi dalam mobil, Bintara dan Sebastian melaju menuju Bandung. Bintara merasa lega mendengar penjelasan Sebastian tentang warung sayur Aruna. Mereka berbicara dengan suasana santai namun penuh makna, sambil menatap jalan raya yang membentang di depan."Terimakasih sudah mengurus warung sayur Aruna di rumah kontrakan itu," ucap Bintara sambil tersenyum tipis, merasa berterima kasih atas perhatian Sebastian.Sebastian membalas dengan anggukan kecil, "Iya, tenang aja. Semua udah beres. Rumah itu udah kita beli, jadi bisa tenang soal tempat usaha warung sayur itu. Hari ini pegawai baru juga udah mulai kerja. Aku rekrut tiga orang, satu untuk kasir, satu lagi untuk melayani pembeli, dan satu lagi akan libur secara bergilir biar bisa gantian jaga warung. Jadi, warung bisa tetap buka setiap hari."Bintara mengangguk, merasa tenang dengan pengaturan itu. "Bagus, jadi Aruna nggak perlu khawatir lagi. Aku ingin dia fokus pada usahanya di Bandung nanti." Seba
Di rumah Bu Najiah, suasana sore yang tenang menyelimuti. Bintara dengan penuh kasih sayang membantu Rohana yang baru belajar berjalan, membimbing langkah-langkah kecilnya dengan hati-hati. Di samping mereka, Aruna berdiri mendampingi, senyum manis menghiasi wajahnya melihat momen kebahagiaan kecil ini.Sambil terus menjaga agar Rohana tidak terjatuh, Bintara mendekatkan diri pada Aruna. Dengan nada hampir berbisik, ia berbicara, "Sayang, ayahku ingin menemuimu untuk minta maaf." Kata-katanya lembut, penuh dengan harapan dan kehati-hatian, agar ibunya yang sedang berada di dapur tidak mendengar.Aruna tertegun sejenak, pandangannya tertuju pada Rohana, tapi pikirannya melayang pada kata-kata Bintara. Perasaannya campur aduk, antara gugup dan tidak siap menghadapi pertemuan tersebut.Ia tahu bahwa ayah Bintara, Adi Jaya, pernah merendahkannya dan bahkan menentang pernikahan mereka. Mendengar permintaan maaf itu, ia merasa seperti membuka kembali luka lama y
Serena duduk diam di atas ranjang sempitnya, tubuhnya tegak namun lemah, seolah beban berat menekan pundaknya. Matanya menatap kosong jendela kecil di atas ruangan, hanya sedikit sinar matahari yang masuk, membentuk garis-garis tipis di lantai beton yang dingin. Terkadang, suara langkah kaki sipir terdengar bergema di sepanjang koridor, menciptakan ritme yang monoton dan menyiksa.Suasana di dalam penjara penuh dengan ketegangan dan kesunyian yang tak nyaman. Dinding-dindingnya kusam dan berbau lembab, sebuah pengingat tak henti akan kerasnya kehidupan di sana.Di sekitar Serena, napi wanita lainnya bergerak dengan langkah berat, beberapa terlibat dalam obrolan singkat, sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan kecil mereka.Ada yang ramah kepada Serena, seperti Nina, yang duduk di ranjang sebelahnya dan sering memberikan senyuman penuh pengertian. "Semangat Serena, perjalanan masih panjang. kenapa murung begitu?" tanya Nina dengan sua
Dong Min duduk terpaku di sudut sel tahanannya, matanya tertuju pada surat yang baru saja diterimanya. Surat itu berisi keputusan pencoretan dirinya dari kartu keluarga. Dengan tangan gemetar, ia membaca setiap kata yang tertulis di sana, seolah-olah tak percaya pada kenyataan yang kini menimpanya.Di dalam sel yang dingin dan pengap, Dong Min merasa seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Tidak hanya namanya yang dihapus dari keluarga, tetapi hak waris yang selama ini ia anggap pasti juga sirna. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang meluap-luap dan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Kepedihan dan keputusasaan menyatu dalam batinnya, menciptakan badai emosi yang tak bisa ia kendalikan. Dengan tiba-tiba, ia berteriak penuh kemarahan dan frustasi. "Tidak! Ini tidak mungkin! Mereka tidak bisa melakukan ini padaku!" Suaranya menggema di lorong penjara, mengusik ketenangan yang sudah rapuh di antara para napi lainnya.Para narapidana lain yang
"Aaaarrrrghhh!!!" Suara teriakan menggema di lavatory, mengguncang keheningan penjara. Dong Min terkapar di toilet duduk, urat nadinya mengeluarkan darah. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat pasi. Mendengar teriakan itu, orang-orang berlarian ingin melihat apa yang terjadi. Beberapa napi berdesakan di depan pintu toilet, mencoba mengintip di balik kerumunan. Petugas keamanan segera tiba di lokasi dan berusaha mengendalikan situasi. Dengan sigap, mereka mengangkat Dong Min dan membawanya ke klinik penjara untuk mendapat pertolongan pertama. Di klinik, seorang suster dengan cepat menghentikan pendarahan. Tangannya bergerak cekatan, menekan perban pada luka Dong Min sambil memberikan instruksi tegas kepada asistennya. "Ambil perban steril dan kain kasa, cepat!" Dong Min mulai kehilangan kesadaran, napasnya tersengal-sengal. "Bertahanlah," bisik suster itu dengan nada penuh kepedulian. Tak lama kemudian
Di dunia ini, kita hidup berdampingan dengan berbagai kisah dan perjalanan hidup. Setiap individu memiliki jalan yang berbeda, namun semua saling berkaitan dalam jalinan takdir yang tak terduga.Seperti Serena, yang kini mulai menyadari kesalahannya dan bertekad untuk memulai semuanya dari awal. Penjara yang awalnya dirasa sebagai akhir, justru menjadi tempat refleksi dan pembelajaran.Dia berusaha bangkit, belajar dari masa lalu yang kelam, dan berharap dapat menebus kesalahannya dengan tindakan yang lebih baik di masa depan.Di sisi lain, ada Dong Min yang tenggelam dalam keputusasaan. Kehidupan yang dulu gemilang kini hancur berantakan. Namun, di balik setiap kegelapan, selalu ada cahaya yang menyinari. Tanpa disadarinya, ada orang-orang seperti suster Jaine yang peduli dan berusaha keras untuk menyelamatkannya, memberikan harapan dan kesempatan kedua yang tak ternilai.Kemudian, ada kisah Aruna dan Bintara, pasangan yang menghadapi setiap rint
Pagi itu di rumah baru Aruna dan Bintara di Bandung, udara terasa sejuk dengan sinar matahari yang hangat menyelinap melalui jendela. Burung-burung berkicau ceria di luar, seolah-olah ikut merayakan hari baru. Di dalam rumah, aroma harum kopi dan roti panggang memenuhi udara.Aruna dengan cekatan menghidangkan sarapan di meja makan. Senyum manisnya terpancar saat melihat Bintara yang duduk menunggu dengan penuh kasih. "Bagaimana kemajuan hotelmu, Sayang?" tanya Aruna sambil menyusun piring-piring dan makanan di atas meja."Semua lancar," jawab Bintara, matanya bersinar penuh kebanggaan. "Ada Sebastian yang urus, aku tinggal nerima laporan aja. Sekarang lagi rekrut pegawai juga. Sebentar lagi grand opening hotel."Aruna tersenyum mendengar kabar baik itu. "Aku juga udah daftar kuliah online," tambahnya dengan nada riang.Bintara mengangkat alisnya, terkesan dengan semangat istrinya. "Benarkah? Hebat! Kamu memang selalu punya semangat untu
Keesokan harinya, mereka pun beranjak untuk merencanakan kunjungan ke penjara tempat Serena ditahan. Bintara merasa sedikit gelisah, tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menutup lembaran masa lalu dan melangkah ke depan dengan hati yang lebih tenang. Di mobil, dalam perjalanan ke penjara, suasana hening sesekali diwarnai dengan percakapan ringan. Namun, masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aruna merenung, memikirkan pertemuannya dengan Serena yang akan datang. Ia ingin melihat langsung bagaimana keadaan Serena, apakah mantan istri Bintara itu sudah berubah atau masih sama seperti dulu. Sesampainya di penjara, mereka melangkah masuk dengan langkah mantap. Petugas penjara mengarahkan mereka ke ruang kunjungan. Suasana di penjara terasa berat dan penuh dengan ketegangan yang tersimpan di dinding-dinding dingin bangunan itu. Serena duduk di sana, menatap ke luar jendela kecil yang ada di ruang kunjungan. Ketika pin