Home / Lain / Ifat / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Ifat: Chapter 1 - Chapter 10

232 Chapters

Bab 1: Bukan Superman

IFAT Bab 1: Bukan Superman. Bandar Baru, Februari 2008.”Tolooong..!”Aku terkesiap. Suara teriakan minta tolong itu sontak memutus lamunanku yang sudah terlalu jauh entah ke mana. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari asal suara. ”Tolooong..!”Samar-samar suara teriakan itu terdengar lagi. Desauan angin malam di tiang-tiang lampu dan pohon peneduh membuatku kesulitan untuk menerka sumber suara.”Sepertinya dari sana,” pikirku, di arah kanan dari tempatku duduk ini. Aku segera bangkit, meraih tas ranselku dari trotoar dan berjalan menuju asal teriakan tadi.Pukul sebelas malam. Suasana kota Bandar Baru begitu sepi semenjak disiram gerimis maghrib tadi. Tidak ada mobil atau motor yang melintas di jalan. Penduduk kota ini sepertinya terlalu cepat beranjak ke peraduan.Aku terus tergopoh-gopoh sembari menggendong tas ranselku. Setelah melewati sebuah perempatan, aku segera belok kanan, dan, di situ rupanya..,”Toloooong..!”Aku melihat seorang wanita yang berjalan mundur-mu
Read more

Bab 2: Hare Gene Gak Punya Pacar

Bab 2: Hare Gene Gak Punya PacarMobil sedan berwarna silver meluncur tenang, menyusuri jalan Sudirman, Pattimura, Diponegoro dan terus menuju bagian timur kota Bandar Baru.Dari dalamnya aku menikmati indahnya lampu-lampu, kelap-kelip sepanjang jalan dan di taman-taman kota.Jantungku masih berdegup kencang, sisa dari kengerian yang aku alami setelah menyelamatkan seorang wanita korban perampokan tadi.”Terima kasih, terima kasih ya, mmmm, siapa nama Abang tadi?” tanya Mira, demikian nama wanita yang berhasil aku tolong tadi dari balik kemudinya.Ia masih tampak shock akibat kejadian satu jam yang lalu itu. Tadi, beberapa kali ia menghentikan mobil, menekan dada dengan sebelah tangan, dan menarik nafas dalam-dalam.Sisa air minum milikku, yang kusodorkan padanya langsung ia minum sampai tandas. Padahal, aku sendiri masih sangat kehausan.”Fatih,” jawabku pendek, tanpa mengalihkan pandangan dari seantero jalan yang baru kali ini aku lewati.”Fatih.., nama lengkapnya?””Muhammad Fatih.
Read more

Bab 3: Beruang Asli

”Sudah punya anak?” Ulangku bertanya.”Belum,” jawab Mira. ”Belum rejeki, mungkin.”Berarti, dugaanku tadi salah. Aku kembali memokuskan pandanganku ke luar mobil. Aku berusaha menghafal apa yang bisa aku lihat, seiring dengan laju mobil Mira yang tergolong cukup lambat ini.Teringat sesuatu, aku kembali menoleh pada Mira. Aku kemudian mengalihkan pandanganku ke bagian tengah konsol mobil Mira ini. Suasananya cukup temaram. Aku mencari keberadaan botol minum milikku yang tadi kusodorkan padanya.”Itu,” batinku.Di situ, persis di samping tuas hand break, bersisian dengan paha kiri Mira.”Minumnya sudah?” Tanyaku.”Sudah, sudah kok,” sahut Mira agak terkejut.Aku mengambil botol minum kesayanganku dari konsol tengah mobil, lalu kembali memasukkannya ke dalam tas sandangku. Tas ranselku sendiri aku letak di bawah kaki.”Terima kasih air minumnya.” Kata Mira.”Sama-sama.””Maaf, aku habiskan.””Tidak apa-apa.” Sahutku lagi, lalu menelan ludah, masih haus, tapi hanya bisa pasrah. Mobi
Read more

Bab 4: Cuma Cleaning Service

Keesokan harinya, pukul delapan pagi aku terbangun di rumah Mira. Aku keluar dari kamar yang kutempati semalam. Sembari membawa handuk aku berjalan menuju kamar mandi.Usai mandi dan bersalin baju, aku dipanggil oleh pembantu Mira untuk menyantap sarapan pagi yang telah ia siapkan.Aku pun keluar lagi dari kamar, lalu duduk di ruang makan. Di sini, sebentar tercipta obrolan antara aku dan asisten rumah tangga Mira ini.”Bu Mira mana, Mbak?” Tanyaku kemudian pada sang pembantu.”Hemm..,” sang pembantu menolah-noleh seperti mencari. Pandangannya lalu mengarah ke luar melewati jendela yang ada di ruang makan ini.”Tuh.”Rupanya, di seberang jendela situ ada halaman samping, di mana sekarang Mira sedang berjalan mondar-mandir sembari berbincang dengan seseorang melalui ponselnya. Aku pun mengangguk.”Silahkan, Mas,” kata sang pembantu, beri isyarat pada hidangan di atas meja.”Terima kasih, Mbak.”********Mira menepati janjinya. Setelah hampir seharian penuh telepon sana telepon sini, ak
Read more

Bab 5: Bukan Lelaki Jahat

Bu Rose mencermati ijazah SMA-ku. Sebentar saja, toh tidak ada yang menarik. Terlebih dulu membenahi kacamatanya, ia kemudian beralih pada surat lamaran kerjaku. Yang ini malah lebih cepat. Berarti lebih tidak menarik.”Kamu punya hubungan apa dengan Mbak Mira?” Tanya Bu Rose.Pertanyaan ini spontan membuatku gugup.”Eee.., saya tidak punya hubungan apa-apa, Bu.””Temannya?””Bukan.””Saudara, saudara jauh, mungkin?””Bukan, bukan Bu.””Tapi kenapa Mbak Mira merekomendasikan kamu ke sini?””Eee.., mungkin, ini hanya keberuntungan bagi saya.””Saya tidak menemukan CV kamu di sini.” Bu Rose menunjuk dokumenku yang masih ia pegang.”Eee..,” Aku semakin gugup. Karena, aku memang tidak menyiapkan CV untuk proses lamaran kerja ini. Toh, sebelumnya Mira juga bilang begitu.”Sebelum ini kamu bekerja di mana?””Di bidang industri forestry, Bu.””Kehutanan ya?””Iya, betul, kehutanan industri.””Di mana itu?””Di Pulau Lawan.””Industri kehutanan, hemm.., berarti kamu tinggalnya di hutan?””Yah
Read more

Bab 6: Obsesi

Bab 6: Obsesi BERBULAN-BULAN KEMUDIAN..,**Aku sudah membayangkannya, bahkan sebelum Ucon mengatakannya.“Bayangkan.., bayangkan itu, Fat! Aku akan jadi penulis terkenal!”Dia mencengkeram bahuku dengan sebelah tangan, lalu menggguncangkannya penuh semangat. Aku menerima saja, ikut dalam irama dorong dan tarikan tangannya itu. Kupaksakan juga menyungging senyum untuk menghargai ceritanya yang berapi-api.”Aku tak perlu lagi membongkar ekskavator sambil berpanas-panasan di bawah terik matahari, atau mengelas sambil tiarap di kolong alat berat.””Aku tak perlu keluar masuk hutan untuk menyambung tangan alat berat yang patah, atau menyambung rantai tracklink buldoser...”Mendapatiku yang hanya tersenyum, memandangnya sesekali tanpa melepas perhatian pada lalu lalang kendaraan di jalan, dia mengguncang bahuku lagi.”Bayangkan itu, Fat!””Aku bisa merdeka dari payaunya air gambut, nyamuk malaria yang kejam!””Aku bisa terbebas dari oli kotor, gemuk, solar busuk, juga engkol mesin diesel!
Read more

Bab 7: Tak Secerdas Andrea

Sementara aku menerka-nerka subjek pengirim pesan tadi, Ucon sahabatku yang blekutuk ini tak henti-hentinya ngoceh tentang obsesinya menjadi novelis.Ia malah semakin kebablasan, dan menceritakan pula kisah Nabi Yusuf seperti termaktub dalam Al-Quran. Yusuf yang berhasil menundukkan hawa nafsunya dari pengaruh pesona kecantikan Zulaikha, istri sang pembesar Mesir.Yusuf yang ketampanannya menyihir para istri pembesar lain sehingga tanpa sadar mereka mengiris tangannya sendiri dengan pisau.Yusuf yang selanjutnya dijebloskan ke dalam penjara karena mendapat fitnah. Ucon juga menceritakan tentang Zulaikha yang akhirnya ’bertemu’ dan ’mencintai’ Tuhan. Zulaikha yang akhirnya mencintai Yusuf karena Tuhan dan bukan karena ketertarikan ragawi semata.Tanpa mengalihkan wajahku dari Ucon, aku kemudian membalas pesan yang masuk ke ponselku tadi.”Kabarku baik. Maaf, ini siapa?”Hanya berselang detik, balasan dari nomor asing ini pun masuk. Derrrt!”Ini Mira.”Oh, Mira! Batinku yang terkejut.B
Read more

Bab 8: Idah dan Ainun — part 1

 Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku.  Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.Lahan ko
Read more

Bab 9: Idah dan Ainun — part 2

Bab 9: Idah dan Ainun — part 2 Kepergian Ainun menjadi cobaan terberat Ibu setelah ditinggal Ayah. Ibu kembali sakit-sakitan. Tepat dua bulan setelah kepergian Ainun, Ibu juga pergi meninggalkan aku.Aku merasa sedih.  Aku marah. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan?Ya, aku kecewa pada-Nya. Mungkin karena itu, sampai sekarang aku merasa ’alergi’ dengan hal-hal yang berbau Tuhan atau agama.Selanjutnya, beberapa peristiwa besar terus melandaku. Waktu itu prosesnya sejalan dengan arus reformasi negeri ini, medio 2000-an. Ayah angkatku terjerat kasus korupsi. Rumah dan kendaraan disita negara.Vonis lima tahun penjara membuatnya depresi berat. Kesehatannya memburuk, menderita komplikasi diabetes dan lever.Ayah angkatku kemudian meninggal bersama catatan kelamnya selama menjadi pegawai pemerintahan. Sedang ibu angkatku, akibat kasus ayah, ia mengalami stress. Puncaknya pad
Read more

Bab 10 : Si Buruak Kamba – part 1

 Kutarik nafas sekali. Bersamaan dengan angin malam yang berembus tipis sesaat tadi aku pun kembali ke masa kini.Suara batuk Pak Latif sudah berhenti. Aku pun meneruskan langkahku menuju rumah, sembari mengetik-ngetik keypad ponsel untuk untuk membalasi pesan dari Mira. Aku balas seperlunya saja.”Lambek pulang—lambat pulang, Fat?” Sapa Bang Idris, tetanggaku, dengan bahasa Minang.Ia sedang duduk sendirian di teras rumahnya, menikmati rokok dan sesekali mengipas-ngipaskan baju ke tubuhnya, menyingkap gerah. Sudah hampir pukul satu dini hari, tapi suhu belum turun juga.Bang Idris bekerja sebagai tukang bubut di sebuah perbengkelan dekat Tambusai Ujung, sekitar satu kilometer dari mal SKA. Sering ketika pulang kerja kami bertemu dalam satu oplet.”Eh, iyo Da.. basuo kawan tadi—iya, Bang, tadi aku bertemu teman,” jawabku pula dalam Bahasa Minang yang tak fasih.&rdqu
Read more
PREV
123456
...
24
DMCA.com Protection Status