”Sudah punya anak?” Ulangku bertanya.
”Belum,” jawab Mira. ”Belum rejeki, mungkin.”
Berarti, dugaanku tadi salah. Aku kembali memokuskan pandanganku ke luar mobil. Aku berusaha menghafal apa yang bisa aku lihat, seiring dengan laju mobil Mira yang tergolong cukup lambat ini.
Teringat sesuatu, aku kembali menoleh pada Mira. Aku kemudian mengalihkan pandanganku ke bagian tengah konsol mobil Mira ini. Suasananya cukup temaram. Aku mencari keberadaan botol minum milikku yang tadi kusodorkan padanya.
”Itu,” batinku.
Di situ, persis di samping tuas hand break, bersisian dengan paha kiri Mira.
”Minumnya sudah?” Tanyaku.
”Sudah, sudah kok,” sahut Mira agak terkejut.
Aku mengambil botol minum kesayanganku dari konsol tengah mobil, lalu kembali memasukkannya ke dalam tas sandangku. Tas ranselku sendiri aku letak di bawah kaki.
”Terima kasih air minumnya.” Kata Mira.
”Sama-sama.”
”Maaf, aku habiskan.”
”Tidak apa-apa.” Sahutku lagi, lalu menelan ludah, masih haus, tapi hanya bisa pasrah.
Mobil Mira kini sudah memasuki jalan Bambu Kuning. Selang tak berapa lama kemudian berhenti di depan sebuah rumah besar dengan kelir ungu muda.
Rumah model minimalis yang kuyakini harganya tidak minimalis. Pasad atau tampak mukanya saja keren. Lalu dimensinya, wow, besar sekali.
Setelah lima kali Mira membunyikan klakson, seorang wanita berbusana daster keluar dari rumah itu. Dari ketergesa-gesaannya membuka pagar teralis kuduga wanita itu adalah asisten rumah tangga di rumah Mira.
Benar saja, karena setelah kami masuk ke dalam, dengan enteng tapi tetap sopan Mira memintanya menyediakan minuman untuk kami berdua.
Dengan sopan pula wanita itu menjawab permintaan majikannya. Aha, dari logatnya kupastikan dia orang Jawa. Dari Jawa Tengah, Tegal tepatnya.
”Silahkan duduk, Ifat.” Kata Mira padaku.
Aku mengangguk dan melolosi tas ransel di punggugku.
"Terima kasih."
”Aku tinggal sebentar ya,” kata Mira lagi. ”Aku mau ganti baju dulu.”
Aku mengangguk lagi, lalu mengambil duduk di sebuah sofa dan segera termangu. Aku memandangi tiap sudut rumah Mira, juga pernak-pernik dan semua ornamen yang mengisinya.
Aku mulai dengan tangan-tangan kursi jati yang sedang aku duduki ini. Kuelus perlahan. Jepara, batinku. Meja tamu, juga Jepara. Lemari besar di depanku, berisi pernak-pernik, juga Jepara. Kayu jati kelas premium, kinclong dan berkelas.
”Rumahnya bergaya minimalis,” batinku. ”Tapi ornamen pengisinya berselera klasik.”
”Unik.”
Di sebelah lemari antik itu ada sebuah vas besar dengan lukisan perempuan Cina meniup seruling. Ke kiri, menempel di dinding, sebuah foto besar nampak mencolok. Ada Mira dan suaminya di dalam foto itu.
Pose Mira sedang duduk manis di sebuah kursi antik. Di pangkuannya, ia meletakkan jaket terbuat dari bulu binatang. Lalu suami Mira berdiri setengah membungkuk di belakangnya. Kedua tangan lelaki itu menempel mesra di pundak Mira.
Dengan latar belakang padang rumput yang hijau, dihiasi dua pohon kelapa gading yang tumbuh menyilang, ditambah teknik olah grafis yang sempurna, maka yang kulihat betul-betul pasangan hidup yang bahagia, dan, kaya.
”Ini Mas, minumnya.” Suara pembantu Mira menyentak lamunanku.
”Eh, iya, terima kasih, Bu.”
Setelah pembantu Mira itu masuk ke dalam, aku kembali terhisap pusaran kemewahan di rumah Mira. Banyak yang bisa aku kagumi dari ruang tamu ini. Salah satunya adalah akuarium besar berisi seekor ikan arwana jenis golden red.
Penataan cahaya dalam akuarium benar-benar membuatku takjub. Perpaduan lampu hias di dalamnya menciptakan komposisi menawan dengan warna sisik arwana. Membuat penampilan ikan siluk itu laksana naga melayang turun dari langit. Tanpa sadar aku berdecak.
Ck, ckk, ckkk..!
”Ikan arwana itu cantik sekali,” batinku.
”Harganya pasti gila-gilaan.”
Di sebelah akuarium, sebuah bonsai cemara udang bergaya slanting kontemporer tak ketinggalan memamerkan pesonanya. Namun yang kemudian membuatku terpaku, adalah boneka beruang di pojok itu.
Jujur saja, aku sampai bergidik memandangnya. Boneka beruang berbulu hitam mengkilat itu benar-benar tampak asli, real, seperti binatang hidup.
Aku kembali menatap ikan arwana, tapi kilatan cahaya di mata boneka beruang itu menarik perhatianku. Maka kembali aku memperhatikannya.
Beruang itu sedang berdiri, mulutnya terbuka, menunjukkan dua pasang taring yang mengerikan. Juga kuku-kukunya... ah, aku penasaran!
”Tak mungkin itu hanya boneka,” kataku dalam hati.
Perlahan aku mendekat pada boneka beruang itu. Setelah sampai aku pun berjongkok di depannya, lalu memperhatikan betul-betul. Semua bulu, semua kuku, mata, taring, tak luput ekspresinya yang sesungguhnya jika dilihat dari dekat sini amat menyedihkan.
Tiba-tiba saja..,
”Itu beruang asli.”
Aku terkejut. Ternyata Mira sudah berada di belakangku. Ia sekarang mengenakan kimono berbahan satin yang lembut. Tangannya sedang memegang sebuah kotak kecil.
”Diawetkan air keras,” sambungnya lagi dengan senyum.
”Oo.. luar biasa,” sahutku, sembari menoleh kembali pada beruang.
Namun hatiku berkata; ”tega sekali.”
Mira mengambil duduk. Lalu dengan santai ia mengangkat sebelah kaki dan menumpangkannya ke kaki yang lain. Kain kimononya tersingkap sedikit, menampakkan kulit kaki bagian atas yang.., hemm, kinclong dan berkelas.
Oh tidak, cepat pula kuambil duduk, di kursi yang berbeda, sedikit jauh, untuk menyelamatkan mataku yang mulai nakal hendak melawan tuannya.
”Hayo, jawab pertanyaanku yang tadi,” kata Mira seraya mengambil kapas dan sebotol betadine dari kotak kecil yang ia bawa tadi itu.
Dengan santai dan cuek ia mengangkat sedikit lagi kakinya, bermaksud membasuh luka di lututnya dengan cairan betadine. Itu adalah luka yang ia dapat ketika terjatuh akibat insiden perampokan tadi.
”Mmm, pertanyaan yang mana?” Tanyaku.
”Pernah belajar beladiri di mana?”
”Oh..” Aku tersenyum.
”Tahu, gak?” sambung Mira, ”yang tadi itu, keren! Padahal perampok itu pakai pisau, tapi semua serangannya bisa kamu hindari seperti Keanu Reaves di film The Matrix.”
”Apalagi, kamu menendang sambil melompat berputar begitu... ah, luar biasa!” Mira terus-terusan ngoceh. Gerak tangannya membubuhkan cairan betadine sesekali terhenti.
”Ah, biasa saja,” sahutku merendah.
”Cuma kebetulan mungkin, perampok itu menusuknya tidak pakai mata.”
”Tidak mungkin, tidak mungkin.” Mira menggeleng.
”Aku lihat sendiri, semua gerakan kamu tadi seperti refleks. Cuma profesional saja yang bisa begitu. Jadi kalau kamu bilang tidak pernah belajar silat, karate atau apalah, tidak mungkin!”
”Mmm, yah, dulu memang aku pernah belajar bela diri. Selebihnya mungkin hanya karena kemurahan Tuhan saja.”
Hening sesaat. Kulirik jam dinding, menunjukkan pukul dua dini hari. Aku sudah mengantuk, tapi segan, karena Mira belum menunjukkan di mana aku akan tidur.
”Eh, diminum tehnya,” kata Mira seperti terkejut. Diletakkannya kapas dan botol betadine tadi. Ia mengambil secangkir teh dan menyeruputnya pelan.
”Terima kasih,” sahutku seraya mengambil cangkir teh yang lain.
”Mmm... bisa minta tolong, tidak?” Kata Mira kemudian, seraya meletakkan cangkirnya.
”Apa itu?”
”Mmm, anu.. mmm,” Mira plin-plan, sinar matanya sedikit aneh.
”Ini, tolong bubuhi obat di bibirku ini.”
Aku terkesiap sebentar.
”Terlalu manja,” batinku.
Mira bisa mengobati lututnya sendiri, maka ia bisa mengobati bibirnya yang pecah akibat pukulan perampok tadi juga sendiri. Tak perlu terlalu cerdas untuk mengambil cermin sebagai alat bantu. k pecah akibat pukulan rampok tadi juga senri biasa. na biasa!"suh luka di lututnya dengan cairan betadine. namun rafis
Kutatap Mira, wajahnya mengharap. Aku berusaha berpikir positif, maka kemudian, sambil meyakinkan diriku sendiri bahwa Mira memang bukan wanita cerdas aku pun menghampirinya.
Aku mengambil sedikit kapas, menetesinya dengan cairan betadine, lalu kutotolkan perlahan ke bibir Mira. Rautnya tampak sedikit cemas.
”Aduhh.. ssshhh... sakiiitt..” rintih Mira perlahan, menebarkan aroma harum mulutnya. Aroma yang natural, bukan aroma obat kumur atau parfum mulut.
Aroma itu pula yang mengencangkan degup jantungku. Dag dig dug umpama bedug subuh menghentak gulita.
Edan! Aku tak pernah menghadapi situasi ini, dan tak bisa bersikap biasa. Aku gugup, semakin gugup, dan tanganku mulai gemetar.
Mira cantik, sedang mataku hanya satu jengkal dari wajahnya, hidung bangirnya, bahkan, tanganku menyentuh dagunya, ah.., juga bibirnya.
Ya Tuhan, dadaku kian menghentak. Bibir Mira yang berkilat dan sedikit basah, dengan garis-garis halus membujurnya, juga getaran-getaran halus akibat menahan sakit, semakin meramaikan degup jantungku. Gerabrag-gerubrug umpama seratus bedug malam hari raya.
Ketika Mira memejamkan mata, serentak pula mataku melancarkan kudeta, dan memberontak pada tuannya. Dengan pandanganku yang semakin liar, aku pun merayapi sekujur wajah Mira. Terus ke bawah, sepanjang lehernya. Terus ke bawah, di belahan baju kimononya.
Aku tak kuasa meredam huru-hara di negeri batinku. Rusuh dan kisruh. Aku prihatin, menelan ludah.
********
Keesokan harinya, pukul delapan pagi aku terbangun di rumah Mira. Aku keluar dari kamar yang kutempati semalam. Sembari membawa handuk aku berjalan menuju kamar mandi.Usai mandi dan bersalin baju, aku dipanggil oleh pembantu Mira untuk menyantap sarapan pagi yang telah ia siapkan.Aku pun keluar lagi dari kamar, lalu duduk di ruang makan. Di sini, sebentar tercipta obrolan antara aku dan asisten rumah tangga Mira ini.”Bu Mira mana, Mbak?” Tanyaku kemudian pada sang pembantu.”Hemm..,” sang pembantu menolah-noleh seperti mencari. Pandangannya lalu mengarah ke luar melewati jendela yang ada di ruang makan ini.”Tuh.”Rupanya, di seberang jendela situ ada halaman samping, di mana sekarang Mira sedang berjalan mondar-mandir sembari berbincang dengan seseorang melalui ponselnya. Aku pun mengangguk.”Silahkan, Mas,” kata sang pembantu, beri isyarat pada hidangan di atas meja.”Terima kasih, Mbak.”********Mira menepati janjinya. Setelah hampir seharian penuh telepon sana telepon sini, ak
Bu Rose mencermati ijazah SMA-ku. Sebentar saja, toh tidak ada yang menarik. Terlebih dulu membenahi kacamatanya, ia kemudian beralih pada surat lamaran kerjaku. Yang ini malah lebih cepat. Berarti lebih tidak menarik.”Kamu punya hubungan apa dengan Mbak Mira?” Tanya Bu Rose.Pertanyaan ini spontan membuatku gugup.”Eee.., saya tidak punya hubungan apa-apa, Bu.””Temannya?””Bukan.””Saudara, saudara jauh, mungkin?””Bukan, bukan Bu.””Tapi kenapa Mbak Mira merekomendasikan kamu ke sini?””Eee.., mungkin, ini hanya keberuntungan bagi saya.””Saya tidak menemukan CV kamu di sini.” Bu Rose menunjuk dokumenku yang masih ia pegang.”Eee..,” Aku semakin gugup. Karena, aku memang tidak menyiapkan CV untuk proses lamaran kerja ini. Toh, sebelumnya Mira juga bilang begitu.”Sebelum ini kamu bekerja di mana?””Di bidang industri forestry, Bu.””Kehutanan ya?””Iya, betul, kehutanan industri.””Di mana itu?””Di Pulau Lawan.””Industri kehutanan, hemm.., berarti kamu tinggalnya di hutan?””Yah
Bab 6: Obsesi BERBULAN-BULAN KEMUDIAN..,**Aku sudah membayangkannya, bahkan sebelum Ucon mengatakannya.“Bayangkan.., bayangkan itu, Fat! Aku akan jadi penulis terkenal!”Dia mencengkeram bahuku dengan sebelah tangan, lalu menggguncangkannya penuh semangat. Aku menerima saja, ikut dalam irama dorong dan tarikan tangannya itu. Kupaksakan juga menyungging senyum untuk menghargai ceritanya yang berapi-api.”Aku tak perlu lagi membongkar ekskavator sambil berpanas-panasan di bawah terik matahari, atau mengelas sambil tiarap di kolong alat berat.””Aku tak perlu keluar masuk hutan untuk menyambung tangan alat berat yang patah, atau menyambung rantai tracklink buldoser...”Mendapatiku yang hanya tersenyum, memandangnya sesekali tanpa melepas perhatian pada lalu lalang kendaraan di jalan, dia mengguncang bahuku lagi.”Bayangkan itu, Fat!””Aku bisa merdeka dari payaunya air gambut, nyamuk malaria yang kejam!””Aku bisa terbebas dari oli kotor, gemuk, solar busuk, juga engkol mesin diesel!
Sementara aku menerka-nerka subjek pengirim pesan tadi, Ucon sahabatku yang blekutuk ini tak henti-hentinya ngoceh tentang obsesinya menjadi novelis.Ia malah semakin kebablasan, dan menceritakan pula kisah Nabi Yusuf seperti termaktub dalam Al-Quran. Yusuf yang berhasil menundukkan hawa nafsunya dari pengaruh pesona kecantikan Zulaikha, istri sang pembesar Mesir.Yusuf yang ketampanannya menyihir para istri pembesar lain sehingga tanpa sadar mereka mengiris tangannya sendiri dengan pisau.Yusuf yang selanjutnya dijebloskan ke dalam penjara karena mendapat fitnah. Ucon juga menceritakan tentang Zulaikha yang akhirnya ’bertemu’ dan ’mencintai’ Tuhan. Zulaikha yang akhirnya mencintai Yusuf karena Tuhan dan bukan karena ketertarikan ragawi semata.Tanpa mengalihkan wajahku dari Ucon, aku kemudian membalas pesan yang masuk ke ponselku tadi.”Kabarku baik. Maaf, ini siapa?”Hanya berselang detik, balasan dari nomor asing ini pun masuk. Derrrt!”Ini Mira.”Oh, Mira! Batinku yang terkejut.B
Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku. Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.Lahan ko
Bab 9:Idah dan Ainun — part 2Kepergian Ainun menjadi cobaan terberat Ibu setelah ditinggal Ayah. Ibu kembali sakit-sakitan. Tepat dua bulan setelah kepergian Ainun, Ibu juga pergi meninggalkan aku.Aku merasa sedih. Aku marah. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan?Ya, aku kecewa pada-Nya. Mungkin karena itu, sampai sekarang aku merasa ’alergi’ dengan hal-hal yang berbau Tuhan atau agama.Selanjutnya, beberapa peristiwa besar terus melandaku. Waktu itu prosesnya sejalan dengan arus reformasi negeri ini, medio 2000-an. Ayah angkatku terjerat kasus korupsi. Rumah dan kendaraan disita negara.Vonis lima tahun penjara membuatnya depresi berat. Kesehatannya memburuk, menderita komplikasi diabetes dan lever.Ayah angkatku kemudian meninggal bersama catatan kelamnya selama menjadi pegawai pemerintahan. Sedang ibu angkatku, akibat kasus ayah, ia mengalami stress. Puncaknya pad
Kutarik nafas sekali. Bersamaan dengan angin malam yang berembus tipis sesaat tadi aku pun kembali ke masa kini.Suara batuk Pak Latif sudah berhenti. Aku pun meneruskan langkahku menuju rumah, sembari mengetik-ngetik keypad ponsel untuk untuk membalasi pesan dari Mira. Aku balas seperlunya saja.”Lambek pulang—lambat pulang, Fat?” Sapa Bang Idris, tetanggaku, dengan bahasa Minang.Ia sedang duduk sendirian di teras rumahnya, menikmati rokok dan sesekali mengipas-ngipaskan baju ke tubuhnya, menyingkap gerah. Sudah hampir pukul satu dini hari, tapi suhu belum turun juga.Bang Idris bekerja sebagai tukang bubut di sebuah perbengkelan dekat Tambusai Ujung, sekitar satu kilometer dari mal SKA. Sering ketika pulang kerja kami bertemu dalam satu oplet.”Eh, iyo Da.. basuo kawan tadi—iya, Bang, tadi aku bertemu teman,” jawabku pula dalam Bahasa Minang yang tak fasih.&rdqu
Aku abaikan saja telepon dari Mira itu. Sekarang, kembali lagi pada kisah Joni dan Johan.Ketika mengamen, penampilan mereka selalu memukau banyak orang. Masing-masing kakak beradik itu memainkan gitar, juga mengalungkan besi kecil di lehernya untuk menambat harmonika.Di sepatu kirinya, Johan mengaitkan tutup botol yang dirangkai, berguna untuk mengeluarkan suara tamborin; kicrik-kicrik. Di sepatu kanan, Johan juga mengaitkan dua lempeng baja tipis untuk mengeluarkan suara simbal; cesss, persis seperti simbal.Karena Johan lebih banyak memainkan rithme dan bass, maka dengan kreasinya sendiri, ia meletakkan potongan fiberglass dekat senar terbawah gitarnya. Mulanya aku tak tahu untuk apa potongan fiberglass itu, setelah Johan memainkannya; senar drum!Jadi, sambil merambas gitar mencipta ritme, salah satu ujung jarinya memukul potongan fiberglass itu. Dalam waktu yang sama kedua kakinya bergoyang
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.