Beranda / Lain / Ifat / Bab 6: Obsesi

Share

Bab 6: Obsesi

Penulis: Ayusqie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 6: Obsesi

BERBULAN-BULAN KEMUDIAN..,

**

Aku sudah membayangkannya, bahkan sebelum Ucon mengatakannya.

“Bayangkan.., bayangkan itu, Fat! Aku akan jadi penulis terkenal!”

Dia mencengkeram bahuku dengan sebelah tangan, lalu menggguncangkannya penuh semangat. Aku menerima saja, ikut dalam irama dorong dan tarikan tangannya itu. Kupaksakan juga menyungging senyum untuk menghargai ceritanya yang berapi-api.

”Aku tak perlu lagi membongkar ekskavator sambil berpanas-panasan di bawah terik matahari, atau mengelas sambil tiarap di kolong alat berat.”

”Aku tak perlu keluar masuk hutan untuk menyambung tangan alat berat yang patah, atau menyambung rantai tracklink buldoser...”

Mendapatiku yang hanya tersenyum, memandangnya sesekali tanpa melepas perhatian pada lalu lalang kendaraan di jalan, dia mengguncang bahuku lagi.

”Bayangkan itu, Fat!”

”Aku bisa merdeka dari payaunya air gambut, nyamuk malaria yang kejam!”

”Aku bisa terbebas dari oli kotor, gemuk, solar busuk, juga engkol mesin diesel!!”

Kuangguk-anggukkan kepala, sekali menoleh padanya, lalu kembali kulemparkan pandangan ke jalan. Sorotku tertuju pada oplet—angkutan kota—berwarna hijau tua yang berhenti di lampu merah, penuh sesak dengan penumpang, ikut menyesaki badan jalan dengan mobil-mobil lain.

Dari dalam oplet itu terdengar suara musik dengan beat yang cepat, berdentam-dentum. Sementara dari jendelanya dapat kulihat beberapa penumpang lelaki yang menggoyangkan kepala kanan-kiri, ikut dalam irama musik yang ajib-ajib itu. Norak sekali.

Tampak pula seorang ibu yang menekan dadanya, tersiksa dentum musik yang sangat tak sebanding dengan mobil angkutan yang kecil, juga asap rokok yang diembuskan penumpang lain.

Ia semakin tersiksa dengan ketidakacuhan sang sopir yang menambah volume musik untuk menarik perhatian para calon penumpang yang ramai berbondong keluar dari areal mal SKA (Sentra Komersial Arengka), sebuah pusat perbelanjaan elit di jantung kota Bandar Baru ini.

Ucon di sampingku terus mengoceh,

”Aku  bisa merdeka dari para pemborong yang menipu!”

”Aku bisa bebas dari tauke alat berat yang menekan ongkos kerja sampai ke jempol kaki! ”Aku juga bisa merdeka dari persaingan harga tenaga para kuli.!”  

”Ah, indahnyaa..!”

Sementara aku terus saja berpikir, tentang bagaimana mungkin sopir oplet itu bisa memanggil calon penumpang, sedang di dalam mobil yang ditambangnya sudah tak ada lagi ruang, untuk satu orang pun.

Namun kemudian aku menyadari satu hal yang selanjutnya membuatku asyik pula memperhatikan aktifitas orang-orang lima puluh meter di depanku itu.

Yakni, para calon penumpang yang dielu-elukan para sopir oplet itu hampir seratus persennya adalah wanita! Para wanita sales promotion girl mal SKA! Dengan beribu-ribu daya magnet yang ada padanya, pada rona merah make up pipinya, merah lipstik yang menyala, juga pada rok mininya, ditambah pletak-pletok hak tinggi sepatunya yang ternyata membawa konsekuensi mendebarkan; pinggulnya berjungkat-jungkit umpama neraca timbang.

Semuanya itu tampak jelas walau hanya dengan penerangan lampu-lampu jalan.

”Bagaimana, Fat? Indah, kan?”

”Iya, Con, memang indah,” sahutku pelan, dengan pandangan yang terus terpaku pada wanita-wanita SPG dari mall SKA tadi.

Mungkin merasa tidak kuacuhkan, Ucon yang sedari tadi bercerita di sampingku ini kesal. Ia menarik daguku.

”Bayangkan itu, Faaatt..! Aku akan jadi novelis!!”

Aku tersentak, dan wanita-wanita SPG nan semlohai itu selamat dari sepasang mata liarku, tapi tidak dari belasan pasang mata sopir oplet tadi.

”Jadi, kalau naskah sudah kamu kirim, kapan kamu bisa menerima konfirmasi dari penerbit itu?” Tanyaku kemudian.

”Sebulan.”

”Sebulan?”

”Ya, itu minimal. Dari FAQ yang kubaca di halaman situsnya, penerbit itu akan mengembalikan naskahku jika tidak diterima.”

”Nah, kalau naskah kamu tidak diterima?”

”Aku akan mencoba opsi kedua.”

”Apa itu?”

Self Publishing, menerbitkan sendiri karyaku. Butuh modal sih, tapi modal kan bisa dicari.”

Aku mengangguk-angguk. Kuputar posisi dudukku sedikit ke kanan, dan kukalungkan tanganku ke bahu sahabatku ini.

”Oke, aku doakan naskahmu diterima, jadi novelis, dan tak perlu lagi jadi tukang las..”

”Terima kasih, terima kasih..” sahutnya sambil tersenyum padaku.

”Tapi kalau sudah sukses, banyak royalti, jangan lupakan aku ya?”

”Tenang saja, aku kasih kamu modal untuk usaha. Tak perlu lagi kamu jadi cleaning service di hotel itu.”

Aku tersenyum, terbuai dengan kata-kata Ucon barusan. Dia selalu ingin menunjukkan bahwa dia akan membuktikan perkataan yang pernah ia sampaikan padaku dulu, ketika kami berkenalan.

Bahwa; kasih ibu akan dibawa mati, kasih saudara sama berada, dan kasih sahabat sama merasa.

Dia tidak akan melupakan aku. Namaku ia masukkan ke dalam daftar orang-orang spesial dalam hatinya. Setidaknya, untuk saat ini, dia mau berbagi khayalannya.

”Kalau naskahku diterima, terus dibaca masyarakat pembaca seluruh Indonesia, aakh.. senangnya! Itu akan jadi kisah cinta yang paling menggetarkan abad ini..!”

Tepat ketika Ucon akan melanjutkann kata-katanya, ponselku yang ada di saku celana bergetar. Derrrt..! derrrtt..! Cepat aku mengambilnya. Hemm, ada pesan masuk rupanya.

Dari siapakah?

Ternyata, tidak ada namanya. Alias nomor asing.

Aku ingin langsung membuka pesan dan membaca isinya, akan tetapi aku sungkan pada Ucon yang kembali menggebu-gebu.

”Bayangkan Fat, aku akan menghadirkan kisah cinta seperti roman Nabi Yusuf dan Zulaikha di altar sastra milenium ini. Orang-orang akan menikmati romantika dari kitab suci Al-Qur’an.”

”Ada cinta yang terlarang di sana, nafsu yang terkekang, cinta tak berbalas, bertepuk sebelah tangan, penolakan, penampikan, perjuangan, pengorbanan, pertarungan, tetes darah, airmata, juga..,”

Lanjutan kata-kata Ucon tidak sempat aku dengar. Karena secara diam-diam aku mengalihkan fokus pada ponsel di tanganku. Aku membuka isi pesan tadi dan segera membacanya.

”Apa kabar, Fat?”

Nah, lho? Ini siapa ya? Tanyaku dalam hati.

********

Bab terkait

  • Ifat   Bab 7: Tak Secerdas Andrea

    Sementara aku menerka-nerka subjek pengirim pesan tadi, Ucon sahabatku yang blekutuk ini tak henti-hentinya ngoceh tentang obsesinya menjadi novelis.Ia malah semakin kebablasan, dan menceritakan pula kisah Nabi Yusuf seperti termaktub dalam Al-Quran. Yusuf yang berhasil menundukkan hawa nafsunya dari pengaruh pesona kecantikan Zulaikha, istri sang pembesar Mesir.Yusuf yang ketampanannya menyihir para istri pembesar lain sehingga tanpa sadar mereka mengiris tangannya sendiri dengan pisau.Yusuf yang selanjutnya dijebloskan ke dalam penjara karena mendapat fitnah. Ucon juga menceritakan tentang Zulaikha yang akhirnya ’bertemu’ dan ’mencintai’ Tuhan. Zulaikha yang akhirnya mencintai Yusuf karena Tuhan dan bukan karena ketertarikan ragawi semata.Tanpa mengalihkan wajahku dari Ucon, aku kemudian membalas pesan yang masuk ke ponselku tadi.”Kabarku baik. Maaf, ini siapa?”Hanya berselang detik, balasan dari nomor asing ini pun masuk. Derrrt!”Ini Mira.”Oh, Mira! Batinku yang terkejut.B

  • Ifat   Bab 8: Idah dan Ainun — part 1

    Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku. Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.Lahan ko

  • Ifat   Bab 9: Idah dan Ainun — part 2

    Bab 9:Idah dan Ainun — part 2Kepergian Ainun menjadi cobaan terberat Ibu setelah ditinggal Ayah. Ibu kembali sakit-sakitan. Tepat dua bulan setelah kepergian Ainun, Ibu juga pergi meninggalkan aku.Aku merasa sedih. Aku marah. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan?Ya, aku kecewa pada-Nya. Mungkin karena itu, sampai sekarang aku merasa ’alergi’ dengan hal-hal yang berbau Tuhan atau agama.Selanjutnya, beberapa peristiwa besar terus melandaku. Waktu itu prosesnya sejalan dengan arus reformasi negeri ini, medio 2000-an. Ayah angkatku terjerat kasus korupsi. Rumah dan kendaraan disita negara.Vonis lima tahun penjara membuatnya depresi berat. Kesehatannya memburuk, menderita komplikasi diabetes dan lever.Ayah angkatku kemudian meninggal bersama catatan kelamnya selama menjadi pegawai pemerintahan. Sedang ibu angkatku, akibat kasus ayah, ia mengalami stress. Puncaknya pad

  • Ifat   Bab 10 : Si Buruak Kamba – part 1

    Kutarik nafas sekali. Bersamaan dengan angin malam yang berembus tipis sesaat tadi aku pun kembali ke masa kini.Suara batuk Pak Latif sudah berhenti. Aku pun meneruskan langkahku menuju rumah, sembari mengetik-ngetik keypad ponsel untuk untuk membalasi pesan dari Mira. Aku balas seperlunya saja.”Lambek pulang—lambat pulang, Fat?” Sapa Bang Idris, tetanggaku, dengan bahasa Minang.Ia sedang duduk sendirian di teras rumahnya, menikmati rokok dan sesekali mengipas-ngipaskan baju ke tubuhnya, menyingkap gerah. Sudah hampir pukul satu dini hari, tapi suhu belum turun juga.Bang Idris bekerja sebagai tukang bubut di sebuah perbengkelan dekat Tambusai Ujung, sekitar satu kilometer dari mal SKA. Sering ketika pulang kerja kami bertemu dalam satu oplet.”Eh, iyo Da.. basuo kawan tadi—iya, Bang, tadi aku bertemu teman,” jawabku pula dalam Bahasa Minang yang tak fasih.&rdqu

  • Ifat   Bab 11: Si Buruak Kamba – part 2

    Aku abaikan saja telepon dari Mira itu. Sekarang, kembali lagi pada kisah Joni dan Johan.Ketika mengamen, penampilan mereka selalu memukau banyak orang. Masing-masing kakak beradik itu memainkan gitar, juga mengalungkan besi kecil di lehernya untuk menambat harmonika.Di sepatu kirinya, Johan mengaitkan tutup botol yang dirangkai, berguna untuk mengeluarkan suara tamborin; kicrik-kicrik. Di sepatu kanan, Johan juga mengaitkan dua lempeng baja tipis untuk mengeluarkan suara simbal; cesss, persis seperti simbal.Karena Johan lebih banyak memainkan rithme dan bass, maka dengan kreasinya sendiri, ia meletakkan potongan fiberglass dekat senar terbawah gitarnya. Mulanya aku tak tahu untuk apa potongan fiberglass itu, setelah Johan memainkannya; senar drum!Jadi, sambil merambas gitar mencipta ritme, salah satu ujung jarinya memukul potongan fiberglass itu. Dalam waktu yang sama kedua kakinya bergoyang

  • Ifat   Bab 12: Keping-keping Intan

    ”Tidak selamanya kita hidup di dunia ini, Fat..”Kalimat Joni yang terakhir itu mengiang-ngiang di dalam kepalaku. Seperti sebuah suara yang terpantul di dinding-dinding gua. Suara itu tetap berada di sana, tak dapat keluar dan terperangkap selamanya. Menggaung dan menggema hingga akhir masa.Aku ingin tak mendengarnya, tapi suara itu selalu berhasil mencabik hati dan jiwaku dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Lebih menyedihkan lagi, suara gaung dan gema itu menerbitkan pula rasa rindu dalam di dalam hatiku ini.Bukan rindu pada Ayah, Ibu, Ainun, Bapak dan Ibu Dibyo, atau kampung halamanku di Surabaya sana. Akan tetapi, rindu pada sesuatu yang aku sebut; ”entah apa”—aku memang tak dapat mendefinisikannya.Seperti rindu pada sesuatu yang dekat tapi aku menjauhkannya, pada sesuatu yang indah tapi aku menodainya.Rindu pada sesuatu yang tenang, damai, dan syahdu, tapi aku merusakn

  • Ifat   Bab 13: Tangan Basah Leony

    ”Hei..,”Aku menoleh.Ternyata Leony, si resepsionis itu. Dia yang belakangan aku tahu seorang janda kembang, baru saja keluar dari rest room. Ia menahan langkahku. Tangan kanannya yang masih sedikit basah menyentuh dadaku.”Sering-sering ya,” katanya pelan, menyindir keterlambatanku pagi ini.Kembali aku tersenyum.”Sering-sering juga ya,” kataku pula ketika ia sudah dua langkah meninggalkanku.”What?” Tanya dia dalam bahasa Inggris, serentak berhenti dan menoleh padaku.Posisinya sebagai resepsionis di hotel ini memang mewajibkan dirinya bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dan ia jauh melewati kualifikasi itu; fluently in English speaking, karena ia punya syarat utama, yaitu cantik.Alasan terakhir itu pula yang mungkin secara misterius membuatku berlama-lama membersihkan dinding kaca di samping mejanya.

  • Ifat   Bab 14: Gadis Tak Tahu Adat

    Bab 14:Gadis Tak Tahu Adat“Bajixngaaan!” Maki gadis itu tiba-tiba.“Dasar laki-laki bajixngaaan!”Ia kembali menjatuhkan wajahnya untuk menekuri lutut.Sampai beberapa menit berlalu aku masih tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku ingin enyah, tapi mengingat akulah yang pertama duduk di sini, aku urung.Gadis itu sudah menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menyeka airmata, juga ingusnya. Terakhir, aku tak tahan juga. Semua tisu yang berserakan di lantai ini, toh aku juga nanti yang akan membersihkannya.“Adik?” Tanyaku hati-hati.Ia mengangkat wajah. Matanya sembab, celaknya belepotan di kantong mata.“Adik tadi memaki saya?” Sebenarnya itu pertanyaan yang kurang tepat, karena gadis itu tidak menjawab, tapi…“Bajixngaaaaaann!!”Kembali aku tersentak, dan kembali gadis itu menjatuhkan wajahnya di lutut. Benar-benar tak nyaman

Bab terbaru

  • Ifat   Bab 232: Maha Cinta

    Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”

  • Ifat   Bab 231: Belah Duren

    Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.

  • Ifat   Bab 230: Kehadiran

    Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge

  • Ifat   Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu

    Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su

  • Ifat   Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!

    Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be

  • Ifat   Bab 227: Sang Perantau

    Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan

  • Ifat   Bab 226: Tujuh Koin

    Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik

  • Ifat   Bab 225: Jemputan

    Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel

  • Ifat   Bab 224: Nol Koma Satu Persen

    Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.

DMCA.com Protection Status