Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.
Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.
Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku.
Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.
Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.
Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.
Lahan kosong itu milik seorang pejabat, tapi gubuk itu milik Pak Latif, seorang pemulung. Ia diizinkan empunya tanah menempati lahan itu.
Jika pejabat itu mengusirnya, hendak membangun rumah di lahan itu misalnya, entah akan di mana lagi Pak Latif tinggal. Jangankan rumah atau tanah, KTP pun ia tak punya. Pak Latif, satu dari sekian banyak orang yang namanya abadi dalam daftar orang-orang marginal.
Aku menghela nafas. Kasihan sekali Pak Latif, batinku. Lelaki usia lima puluhan itu berjuang melawan penyakit sejak hampir sebulan lalu. Entah apa penyakitnya, namun dari batuk yang terdengar tampaknya sangat menyiksa.
Dalam keadaan seperti itu ia harus berjuang pula untuk menghidupi istri dan empat anaknya yang masih kecil. Menarik gerobak, memulung barang-barang bekas.
Sering kulihat Pak Latif membawa serta istri dan keempat anaknya memulung. Idah, Razak dan Alim, sembari bermain mereka berlomba mencari barang bekas. Sedang Ifah, si bungsu, di gendongan ibunya yang membantu dorong gerobak.
Aku prihatin, tak seharusnya anak-anak mereka ikut memulung. Masa kanak-kanak adalah masa bermain, dan untuk Idah si sulung itu, seharusnya sekarang sudah bersekolah. Tapi pahitnya hidup merampas hak pendidikannya.
Aku pernah mengutarakan hal itu pada Pak Latif. Mendengar penuturanku ia malah tersenyum pahit, menggeleng kepala kemudian.
”Uda caliak lah surang, untuk ambo makan sakaluargo sajo susah, ba’a pulo nak manyakolahkan anak?” Begitu katanya dalam bahasa Minang.
Artinya;
”Abang lihatlah sendiri. Untuk makan kami sekeluarga saja susah. Bagaimana pula mau menyekolahkan anak.”
Ketika aku bertanya mengapa ia membawa serta keempat anaknya memulung, ia menjawab; ”Aku ingin mengajarkan perjuangan hidup kepada anak-anakku sejak dini. Agar mereka tidak ringan tangan menadah di lampu merah, mengemis, meminta-minta.”
”Dalam menghadapi tantangan hidup,” sambungnya, ”aku ingin mereka menjadi petarung sejati. Petarung yang tidak akan menyerah sebelum berjuang sampai tetes darah penghabisan.”
Salut. Orang-orang seperti beliaulah yang menginspirasiku untuk selalu tegar menjalani hidup. Andai aku orang yang mempunyai nasib lebih baik, ingin sekali aku membantu Pak Latif.
Tidak terlalu muluk, cukup membantu biaya sekolah seorang anaknya. Dengan harapan, kelak anak itu dapat mengangkat martabat keluarganya, orangtua dan adik-adiknya.
Satu yang spesial bagiku dari anak-anak Pak Latif, adalah Idah, anaknya yang sulung itu. Hamidah nama lengkapnya, cantik dan manis parasnya. Namun pesona itu tersembunyi di balik kumal bajunya, kuning kering rambutnya, dan kusam kulitnya.
Perempuan 7 tahun itu sangat mirip dengan Ainun Bilqis, adik kandungku yang meninggal akibat wabah demam berdarah 15 tahun lalu.
Idah dengan senyumnya, selalu mengingatkan aku pada Ainun, almarhumah Ibu, dan almarhum Ayah yang wajahnya hanya sempat kurekam lewat foto hitam putih di dinding rumah.
********
Aku dan Ainun kehilangan Ayah sejak aku pandai berjalan dan Ainun dalam kandungan. Kata Ibu, ayahku meninggal karena dikeroyok sekelompok preman yang ingin merebut lahan parkir yang dikelola Ayah. Dulu, di Surabaya.
Sejak Ayah meninggal, Ibu menjadi goyah, sakit-sakitan. Padahal ia harus menyiapkan kondisi fisiknya untuk menyambut kelahiran Ainun.
Dalam keadaan demikian Ibu menjual tenaga kepada orang-orang, menawarkan jasa mencuci, menyetrika dan beres-beres rumah.
Keadaan Ibu semakin payah. Hingga datanglah malaikat penolong; Bapak dan Ibu Dibyo, orang yang selanjutnya mengangkat aku sebagai anaknya.
Pak Dibyo adalah seorang pejabat teras di kantor pemerintahan Surabaya. Sudah 20 tahun menikah namun tak dikaruniai anak.
Keluarga Dibyo sangat baik. Mereka tidak ingin memisahkan aku dari asal darahku. Secara rutin mereka mengantarku untuk menjenguk Ibu. Lewat kunjungan-kunjungan itulah aku mengenal Ainun sebagai adikku.
Jika berkunjung mereka selalu meninggalkan sejumlah uang untuk Ibu. Keluarga Dibyo pula yang membiayai persalinan Ainun.
”Ainun, ah, Ainun..,” desisku lirih.
”Mengapa wajahnya dijelmakan Tuhan kembali lewat Idah, anak Pak Latif itu?”
Entahlah. Aku hanya memahami hal-hal sederhana seputar hidupku. Seperti sekarang ini, aku berdiri menatap gubuk Pak Latif, seolah aku melihat layar yang menyajikan setiap fragmen dari masa kecilku, potongan adegan yang berlalu cepat, melesat-lesat, dan memerangkapku dalam pilinan memori yang indah.
Di pintu gubuk Pak Latif yang doyong itu, seakan-akan aku bisa melihat Aku Kecil sedang berdiri, mengetuk pintu rumahku, memanggil Ibu, memanggil Ainun.
Dan kulihat mereka berdua keluar menyambutku. Ibu memberiku pelukan yang hangat dan Ainun memberiku senyum yang sangat manis ketika kuhaturkan padanya kembang gula bertangkai lidi.
Sambil mengulum kembang gula Ainun menarik tanganku ke halaman samping. Ia memintaku mendorongkan ayunan untuknya. Dia gembira, tertawa-tawa, dan aku bahagia. Ainun bercerita banyak tentang sekolahnya, dan aku, lebih sering menjadi pendengar setia.
Ainun memang jauh lebih cerdas dariku. Berbeda dengannya yang pintar, bisa dikatakan aku adalah penghuni urutan terakhir ranking kelas. Aneh, aku lebih tertarik mempelajari seni beladiri daripada mengulang-ulang pelajaran.
Barangkali ini berdasar pada cerita Ibu tentang kematian Ayah akibat dikeroyok preman. Seperti ada dendam, atau mungkin tekad untuk dapat melindungi orang-orang yang kusayangi.
Maka sejak kelas satu SD aku sudah aktif belajar beladiri. Tak tanggung-tanggung, aku belajar silat dan taekwondo sekaligus.
Di masa SMP aku mempelajari karate di sebuah dojo dekat sekolahku. Lalu di masa SMA, aku bergabung di sebuah satlat (satuan latihan) boxer, yakni Keluarga Olahraga Tarung Derajat (KODRAT).
Di boxer ini, dalam waktu singkat aku menyandang sabuk biru ban dua, juga menyandang predikat ’petarung’. Petarung, adalah sebutan untuk atlet beladiri Tarung Derajat yang mengikuti pertandingan atau turnamen.
Melihat obsesiku dengan beladiri, Pak Dibyo, ayah angkatku geleng-geleng kepala, namun ibu angkatku sangat mendukung.
Alasannya, toh kalau aku tidak berprestasi di sekolah, setidaknya aku bisa berprestasi di luar sekolah. Ibu angkatku berharap aku menjadi seorang atlet kelak, dan harapan itu aku bayar dengan medali emas yang kuraih di PORDA, Pekan Olah Raga Daerah di Surabaya dari cabang boxer.
Tapi kemudian, aku menyadari bahwa segala jurus, kecepatan gerak, daya tahan gempuran dan daya gedor serangan tidak berarti apa-apa jika dihadapkan dengan sang maut.
Aku tak bisa membela Ainun dari kejamnya penyakit demam berdarah. Akibat terjangkit wabah itu kondisi fisiknya menurun drastis, lalu meninggal di puskesmas sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.
Mendengar Ainun sakit, aku berlari menelusuri trotoar, melewati pemukiman kumuh di pinggiran Surabaya. Sesaat sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir, aku masih sempat melihat senyumnya.
Ia meminta air minum kepadaku. Aku pun memberinya minum dari botol Winnie The Pooh yang pernah aku hadiahkan kepadanya. Setelah mereguk air putih satu kali, ia lantas berbisik lirih kepadaku.
”Mas, jaga ibu ya..”
Dan, Ainun pun pergi.
********
Bab 9:Idah dan Ainun — part 2Kepergian Ainun menjadi cobaan terberat Ibu setelah ditinggal Ayah. Ibu kembali sakit-sakitan. Tepat dua bulan setelah kepergian Ainun, Ibu juga pergi meninggalkan aku.Aku merasa sedih. Aku marah. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan?Ya, aku kecewa pada-Nya. Mungkin karena itu, sampai sekarang aku merasa ’alergi’ dengan hal-hal yang berbau Tuhan atau agama.Selanjutnya, beberapa peristiwa besar terus melandaku. Waktu itu prosesnya sejalan dengan arus reformasi negeri ini, medio 2000-an. Ayah angkatku terjerat kasus korupsi. Rumah dan kendaraan disita negara.Vonis lima tahun penjara membuatnya depresi berat. Kesehatannya memburuk, menderita komplikasi diabetes dan lever.Ayah angkatku kemudian meninggal bersama catatan kelamnya selama menjadi pegawai pemerintahan. Sedang ibu angkatku, akibat kasus ayah, ia mengalami stress. Puncaknya pad
Kutarik nafas sekali. Bersamaan dengan angin malam yang berembus tipis sesaat tadi aku pun kembali ke masa kini.Suara batuk Pak Latif sudah berhenti. Aku pun meneruskan langkahku menuju rumah, sembari mengetik-ngetik keypad ponsel untuk untuk membalasi pesan dari Mira. Aku balas seperlunya saja.”Lambek pulang—lambat pulang, Fat?” Sapa Bang Idris, tetanggaku, dengan bahasa Minang.Ia sedang duduk sendirian di teras rumahnya, menikmati rokok dan sesekali mengipas-ngipaskan baju ke tubuhnya, menyingkap gerah. Sudah hampir pukul satu dini hari, tapi suhu belum turun juga.Bang Idris bekerja sebagai tukang bubut di sebuah perbengkelan dekat Tambusai Ujung, sekitar satu kilometer dari mal SKA. Sering ketika pulang kerja kami bertemu dalam satu oplet.”Eh, iyo Da.. basuo kawan tadi—iya, Bang, tadi aku bertemu teman,” jawabku pula dalam Bahasa Minang yang tak fasih.&rdqu
Aku abaikan saja telepon dari Mira itu. Sekarang, kembali lagi pada kisah Joni dan Johan.Ketika mengamen, penampilan mereka selalu memukau banyak orang. Masing-masing kakak beradik itu memainkan gitar, juga mengalungkan besi kecil di lehernya untuk menambat harmonika.Di sepatu kirinya, Johan mengaitkan tutup botol yang dirangkai, berguna untuk mengeluarkan suara tamborin; kicrik-kicrik. Di sepatu kanan, Johan juga mengaitkan dua lempeng baja tipis untuk mengeluarkan suara simbal; cesss, persis seperti simbal.Karena Johan lebih banyak memainkan rithme dan bass, maka dengan kreasinya sendiri, ia meletakkan potongan fiberglass dekat senar terbawah gitarnya. Mulanya aku tak tahu untuk apa potongan fiberglass itu, setelah Johan memainkannya; senar drum!Jadi, sambil merambas gitar mencipta ritme, salah satu ujung jarinya memukul potongan fiberglass itu. Dalam waktu yang sama kedua kakinya bergoyang
”Tidak selamanya kita hidup di dunia ini, Fat..”Kalimat Joni yang terakhir itu mengiang-ngiang di dalam kepalaku. Seperti sebuah suara yang terpantul di dinding-dinding gua. Suara itu tetap berada di sana, tak dapat keluar dan terperangkap selamanya. Menggaung dan menggema hingga akhir masa.Aku ingin tak mendengarnya, tapi suara itu selalu berhasil mencabik hati dan jiwaku dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Lebih menyedihkan lagi, suara gaung dan gema itu menerbitkan pula rasa rindu dalam di dalam hatiku ini.Bukan rindu pada Ayah, Ibu, Ainun, Bapak dan Ibu Dibyo, atau kampung halamanku di Surabaya sana. Akan tetapi, rindu pada sesuatu yang aku sebut; ”entah apa”—aku memang tak dapat mendefinisikannya.Seperti rindu pada sesuatu yang dekat tapi aku menjauhkannya, pada sesuatu yang indah tapi aku menodainya.Rindu pada sesuatu yang tenang, damai, dan syahdu, tapi aku merusakn
”Hei..,”Aku menoleh.Ternyata Leony, si resepsionis itu. Dia yang belakangan aku tahu seorang janda kembang, baru saja keluar dari rest room. Ia menahan langkahku. Tangan kanannya yang masih sedikit basah menyentuh dadaku.”Sering-sering ya,” katanya pelan, menyindir keterlambatanku pagi ini.Kembali aku tersenyum.”Sering-sering juga ya,” kataku pula ketika ia sudah dua langkah meninggalkanku.”What?” Tanya dia dalam bahasa Inggris, serentak berhenti dan menoleh padaku.Posisinya sebagai resepsionis di hotel ini memang mewajibkan dirinya bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dan ia jauh melewati kualifikasi itu; fluently in English speaking, karena ia punya syarat utama, yaitu cantik.Alasan terakhir itu pula yang mungkin secara misterius membuatku berlama-lama membersihkan dinding kaca di samping mejanya.
Bab 14:Gadis Tak Tahu Adat“Bajixngaaan!” Maki gadis itu tiba-tiba.“Dasar laki-laki bajixngaaan!”Ia kembali menjatuhkan wajahnya untuk menekuri lutut.Sampai beberapa menit berlalu aku masih tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku ingin enyah, tapi mengingat akulah yang pertama duduk di sini, aku urung.Gadis itu sudah menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menyeka airmata, juga ingusnya. Terakhir, aku tak tahan juga. Semua tisu yang berserakan di lantai ini, toh aku juga nanti yang akan membersihkannya.“Adik?” Tanyaku hati-hati.Ia mengangkat wajah. Matanya sembab, celaknya belepotan di kantong mata.“Adik tadi memaki saya?” Sebenarnya itu pertanyaan yang kurang tepat, karena gadis itu tidak menjawab, tapi…“Bajixngaaaaaann!!”Kembali aku tersentak, dan kembali gadis itu menjatuhkan wajahnya di lutut. Benar-benar tak nyaman
Bab 15:Tabloid Pukul 17:30. Matahari bulat memerah di langit barat Bandar Baru, yang sejak kemarin sore mulai diselimuti asap hasil kebakaran hutan.Hujan yang turun di kota Bandar Baru ini sepertinya tidak turun di wilayah lain, dan hal itu membuat orang-orang yang tak bertanggung jawab bisa dengan mudah membersihkan lahannya, yaitu dengan cara membakar, sehingga dengan cepat bisa ditanami dengan kelapa sawit.Aku yang pernah bekerja di bidang industri kehutanan, cukup mengerti bahwa hampir delapan puluh persen daratan di Riau ini gambut atau rawa-rawa. Sehingga api yang terlanjur tersulut itu sangat sulit untuk dipadamkan.Ia seperti api di dalam sekam. Jika kita melihat asap di permukaan, maka di dalamnya, bahkan hingga mencapai dua meter lebih, api menyala serupa bara api dari neraka.Aku, seperti kebanyakan warga kota lainnya, hanya bisa pasrah. Walau tak nyaman karena asap, akhirnya aku m
Bab 16: Dua Tahun Pencarian“Jadi begini,” Wisnu mulai bicara.“Bang Ifat jangan berprasangka yang tidak-tidak dengan kami. Kedatangan kami hanya untuk menyampaikan pesan yang aku yakin, ini pasti kabar baik untuk Bang Ifat.” Aku mengangguk-angguk. Sedari tadi mereka menyebutku ‘abang’, padahal aku yakin usia mereka di kisaran tiga puluhan. Namun begitulah, mereka memang benar-benar sopan.“Kabar baik apa itu Bang?”“Kami berdua datang ke sini, menyampaikan undangan secara lisan dari Pak Josep.”“Undangan? Pak Josep?”“Ya, beliau adalah atasan kami berdua. Beliau mengundang Bang Ifat untuk hadir di kantornya, kapan pun Abang bisa. Tapi kalau bisa, secepatnya.”“Mmm.., saya tidak kenal dengan Pak Josep, kok, beliau bisa kenal saya ya?”Lelaki gondrong yang bernama Bondan mengeluarkan
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.