Sementara aku menerka-nerka subjek pengirim pesan tadi, Ucon sahabatku yang blekutuk ini tak henti-hentinya ngoceh tentang obsesinya menjadi novelis.
Ia malah semakin kebablasan, dan menceritakan pula kisah Nabi Yusuf seperti termaktub dalam Al-Quran. Yusuf yang berhasil menundukkan hawa nafsunya dari pengaruh pesona kecantikan Zulaikha, istri sang pembesar Mesir.
Yusuf yang ketampanannya menyihir para istri pembesar lain sehingga tanpa sadar mereka mengiris tangannya sendiri dengan pisau.
Yusuf yang selanjutnya dijebloskan ke dalam penjara karena mendapat fitnah. Ucon juga menceritakan tentang Zulaikha yang akhirnya ’bertemu’ dan ’mencintai’ Tuhan. Zulaikha yang akhirnya mencintai Yusuf karena Tuhan dan bukan karena ketertarikan ragawi semata.
Tanpa mengalihkan wajahku dari Ucon, aku kemudian membalas pesan yang masuk ke ponselku tadi.
”Kabarku baik. Maaf, ini siapa?”
Hanya berselang detik, balasan dari nomor asing ini pun masuk. Derrrt!
”Ini Mira.”
Oh, Mira! Batinku yang terkejut.
Baru aku ingat sekarang. Dari sejak awal bertemu dengann Mira aku memang tidak memiliki nomor ponselnya. Akan tetapi dialah yang memiliki nomorku karena aku yang pernah memberikannya. Lagipula, nomornya ini memang nomor baru. Ganti lagi? Batinku bertanya. Hemm, bisa jadi.
”Ifat, kamu sibuk?” Pesan Mira lagi.
Tidak kubalas. Perhatianku kembali kepada Ucon yang masih bersemangat menceritakan kisah Yusuf dan Zulaikha yang..,
Derrttt..! Pesan Mira masuk lagi.
”Kok, tidak kamu balas? Kamu sibuk?”
Tetap tidak kubalas. Perhatianku kembali pada kisah Ucon yang semakin berbusa-busa.
Derrtt..!
”Fat? Sekarang kamu kok sombong begini sih??”
Sementara itu..,
Debu-debu di jalan membaur dengan asap kendaraan yang diembuskan knalpot segala rupa. Perkawinan keduanya di udara Bandar Baru yang pengap ini membuatnya tampak laksana kabut yang mengandung serpih emas dan tembaga.
Semua itu disebabkan sinar kuning dari lampu-lampu kota yang menggantung pada tiang galvanis sepanjang trotoar.
Sebentar angin berhembus, menyaput serpih emas dan tembaga itu, berpusar. Pohon-pohon mahoni peneduh jalan bergoyang, beberapa daunnya jatuh dan diterkam angin, larut dalam pusaran-pusaran kecil itu.
Hmm, sepertinya angin ini membawa kabar bahwa subuh nanti akan turun hujan. Kuharap begitu. Seperti yang sudah terjadi beberapa hari belakangan ini. Jika siang, hingga tengah malam, gerahnya bukan main. Namun menjelang pagi, hujan turun seperti ditumpahkan dari bak raksasa oleh malaikat, deras sekali.
Malam merayap perlahan, memerangkap kami berdua dalam putaran waktunya. Ucon masih bercerita tentang kisah dalam novel, inspirasi, semangat dan minatnya dalam menulis. Sementara aku larut dalam perenungan tentang hidupku sendiri.
Tanpa terasa perempatan jalan Sukarno Hatta dan Nangka Raya ini mulai lengang. Wanita-wanita SPG shif malam mal SKA sudah sedari tadi habis di jalan. Buskota juga sudah habis.
Hanya satu atau dua oplet yang sesekali masih tampak melintas, diselingi mobil-mobil pribadi dan beberapa sepeda motor.
”Jam berapa sekarang, Ucon?” Tanyaku, mencoba memutus obrolan.
Ucon mengambil ponsel dari saku celana. Melihat layarnya sebentar.
”Jam dua belas lewat sikit.”
”Sudah malam, aku mau pulang.” kataku seraya bangkit. Aku khawatir tak mendapat oplet untuk jurusan yang kutuju. Berbeda ketika aku masih tinggal di Jakarta dulu, jam berapa pun aku kelayapan di jalan, tak perlu khawatir dengan angkutan.
Bagiku Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur. Namun Bandar Baru, jangan sampai pulang terlalu larut jika tak ingin berjalan kaki untuk sampai ke rumah.
”Duluan ya,” pamitku pada Ucon.
”Hei, mau ke mana?” Cepat Ucon menahanku. Cepat pula ia melangkah ke tepi jalan untuk menghampiri sepeda motornya, sebuah Astuti; Astrea Tujuh Tiga.
Maksudku motor bebek generasi pertama keluaran Jepang. Sekali menyelah ia berhasil menghidupkan motor tua itu. Tumben, si Astuti tidak rewel.
”Ayo naik!” Serunya, ”aku antar kau sampai ke rumah.”
Menerima tawarannya aku bimbang, namun menerima isyarat kepalanya cepat aku melompat, memboncengnya di belakang. Lumayan, bisa menghemat ongkosku.
Jujur, aku cukup bangga menaiki motor Ucon ini. Walau uzur tapi semua aksesorinya masih utuh, catnya masih mengilap, dan perawatan telaten sang pemilik menjadikannya antik. Lalu seperti biasa, sambil menarik gas Ucon mengeluarkan omelan khasnya.
”Kamu ini, seperti aku ini bukan temanmu saja.”
Angin malam berkesiuran lembut di telingaku, seirama dengan laju motor Ucon yang santai. Bulan terang benderang hampir bulat sempurna, mengiringi putaran roda motor yang kami naiki. Sesekali sosok sang bulan terhalangi gumpal awan yang melintas sekejap.
Derrtt..! Derrrtt..! Ponselku bergetar di kantong celana. Pasti dari Mira lagi. Ketika aku mengambil dan memeriksa layarnya.., nah, benar, dari Mira lagi.
Kok, ngoyo banget sih Mira mengirim pesan sedari tadi? Pikirku heran. Tak menggubris, aku kemudian mencondongkan badanku sedikit ke depan.
”Besok kamu kerja, Con?” Tanyaku.
”Enggak. Pekerjaanku sudah selesai tadi sore. Alat berat yang aku las sudah berangkat lagi ke lokasi proyek. Rehat dululah, sambil menunggu ada job lain.”
“Kuliah?” Sambungku.
“Kan, masih libur semester.”
”Oo..”
Lucu juga perjalanan hidup sahabatku yang satu ini. Dulu, dia pernah bersekolah di pesantren. Bahkan sampai ke Jawa. Dia kemudian merantau di Bandar Baru ini dan bekerja sebagai teknisi bidang fabrikasi, spesialisasinya pengelasan alat berat.
Padahal, konon dulu ia bercita-cita ingin menjadi da’i atau penceramah. Maka, antara penceramah dan tukang las, kesasar—begitu ia menyebutnya.
Lalu sekarang, sambil bekerja ia kuliah pada jurusan Teknik Informatika Komputer kelas malam di STMIK (Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer). Ia juga punya istilah lain untuk dirinya sendiri, yakni ”semakin kesasar”. Karena selain cita-cita, sekolah, pekerjaan dan kuliah, dia mempunyai hobi yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan semua itu. Hobinya adalah menulis, terutama sekali novel.
Weleh-weleh! Gak nyambung blas! Pikirku. Akan tetapi, aku harus berkomentar bagaimana? Toh kehidupanku juga banyak tidak nyambungnya.
Berbicara tentang karya, ya menulis tadi, Ucon ini sangat obsesif. Maka, kalau aku bertemu dengannya, selalu, topik utama pembicaraan adalah novel yang sedang ia garap.
”Pekerjaanku sebagai mekanik atau tukang las ini telah membuatku lupa untuk mengasah kemampuan menulis,” katanya dulu.
Obsesinya menjadi novelis tumbuh dari ketidak-sengajaannya membaca sebuah novel terkenal. Biasanya, pembicaraan diakhiri dengan menunjukkan novel yang telah menginspirasinya itu.
Dia tak bosan bercerita, tapi aku bosan membaca judul di cover novel itu: Laskar Pelangi. Novel fenomenal itu ia angkat sejajar dada, mimiknya serius, matanya tajam.
”Walaupun aku tidak secerdas Andrea Hirata, tapi aku punya cerita yang tak kalah seru dibanding Laskar Pelangi!” Katanya mantap.
”Lihatlah,” jarinya menunjuk tegas pada foto sang pengarang novel itu. ”Suatu saat nanti kamu akan membaca novel dengan nama pengarangnya Yusron Baqie..” sambungnya mantap.
Yusron Baqie, itu nama aslinya. Ucon, itu nama panggilannya.
Yup! Seorang sahabat yang pernah kukenal dari lokasi proyek kehutanan dulu, yang sempat hilang kontak itu, ya Ucon inilah orangnya! Syukurlah, akhirnya kami bisa bertemu lagi di kota ini, dan itu terjadi beberapa minggu yang lalu.
Tak lama kemudian kami sampai di perempatan Sukarno Hatta dan Subrantas. Traffic Light di perempatan ini hanya mengisyaratkan lampu kuning berkedip-kedip lambat. Karena Ucon akan mengantar ke rumah kontrakanku maka ia lurus saja, meneruskan jalan Sukarno Hatta ini.
Jika mau menuju ke tempat tinggalnya, ia harus belok ke kanan, mengambil jalan Subrantas.
”Oke, terima kasih banyak ya,” kataku ketika kami sampai di mulut gang rumah kontrakanku.
”Ya, santailah,” sahut Ucon seraya memutar arah motornya.
”Hati-hati, jangan ngebut.” kataku lagi.
”Hehehe..,” ia terkekeh. ”Motor tua begini ngebut? Asam uratnya tidak kumat saja sudah syukur..,”
Aku balas tertawa.
”Hahaha,”
Dalam waktu bersamaan, derrrt..! derrrttt! Ponselku bergetar lagi.
Dari Mira lagi??
********
Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku. Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.Lahan ko
Bab 9:Idah dan Ainun — part 2Kepergian Ainun menjadi cobaan terberat Ibu setelah ditinggal Ayah. Ibu kembali sakit-sakitan. Tepat dua bulan setelah kepergian Ainun, Ibu juga pergi meninggalkan aku.Aku merasa sedih. Aku marah. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan?Ya, aku kecewa pada-Nya. Mungkin karena itu, sampai sekarang aku merasa ’alergi’ dengan hal-hal yang berbau Tuhan atau agama.Selanjutnya, beberapa peristiwa besar terus melandaku. Waktu itu prosesnya sejalan dengan arus reformasi negeri ini, medio 2000-an. Ayah angkatku terjerat kasus korupsi. Rumah dan kendaraan disita negara.Vonis lima tahun penjara membuatnya depresi berat. Kesehatannya memburuk, menderita komplikasi diabetes dan lever.Ayah angkatku kemudian meninggal bersama catatan kelamnya selama menjadi pegawai pemerintahan. Sedang ibu angkatku, akibat kasus ayah, ia mengalami stress. Puncaknya pad
Kutarik nafas sekali. Bersamaan dengan angin malam yang berembus tipis sesaat tadi aku pun kembali ke masa kini.Suara batuk Pak Latif sudah berhenti. Aku pun meneruskan langkahku menuju rumah, sembari mengetik-ngetik keypad ponsel untuk untuk membalasi pesan dari Mira. Aku balas seperlunya saja.”Lambek pulang—lambat pulang, Fat?” Sapa Bang Idris, tetanggaku, dengan bahasa Minang.Ia sedang duduk sendirian di teras rumahnya, menikmati rokok dan sesekali mengipas-ngipaskan baju ke tubuhnya, menyingkap gerah. Sudah hampir pukul satu dini hari, tapi suhu belum turun juga.Bang Idris bekerja sebagai tukang bubut di sebuah perbengkelan dekat Tambusai Ujung, sekitar satu kilometer dari mal SKA. Sering ketika pulang kerja kami bertemu dalam satu oplet.”Eh, iyo Da.. basuo kawan tadi—iya, Bang, tadi aku bertemu teman,” jawabku pula dalam Bahasa Minang yang tak fasih.&rdqu
Aku abaikan saja telepon dari Mira itu. Sekarang, kembali lagi pada kisah Joni dan Johan.Ketika mengamen, penampilan mereka selalu memukau banyak orang. Masing-masing kakak beradik itu memainkan gitar, juga mengalungkan besi kecil di lehernya untuk menambat harmonika.Di sepatu kirinya, Johan mengaitkan tutup botol yang dirangkai, berguna untuk mengeluarkan suara tamborin; kicrik-kicrik. Di sepatu kanan, Johan juga mengaitkan dua lempeng baja tipis untuk mengeluarkan suara simbal; cesss, persis seperti simbal.Karena Johan lebih banyak memainkan rithme dan bass, maka dengan kreasinya sendiri, ia meletakkan potongan fiberglass dekat senar terbawah gitarnya. Mulanya aku tak tahu untuk apa potongan fiberglass itu, setelah Johan memainkannya; senar drum!Jadi, sambil merambas gitar mencipta ritme, salah satu ujung jarinya memukul potongan fiberglass itu. Dalam waktu yang sama kedua kakinya bergoyang
”Tidak selamanya kita hidup di dunia ini, Fat..”Kalimat Joni yang terakhir itu mengiang-ngiang di dalam kepalaku. Seperti sebuah suara yang terpantul di dinding-dinding gua. Suara itu tetap berada di sana, tak dapat keluar dan terperangkap selamanya. Menggaung dan menggema hingga akhir masa.Aku ingin tak mendengarnya, tapi suara itu selalu berhasil mencabik hati dan jiwaku dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Lebih menyedihkan lagi, suara gaung dan gema itu menerbitkan pula rasa rindu dalam di dalam hatiku ini.Bukan rindu pada Ayah, Ibu, Ainun, Bapak dan Ibu Dibyo, atau kampung halamanku di Surabaya sana. Akan tetapi, rindu pada sesuatu yang aku sebut; ”entah apa”—aku memang tak dapat mendefinisikannya.Seperti rindu pada sesuatu yang dekat tapi aku menjauhkannya, pada sesuatu yang indah tapi aku menodainya.Rindu pada sesuatu yang tenang, damai, dan syahdu, tapi aku merusakn
”Hei..,”Aku menoleh.Ternyata Leony, si resepsionis itu. Dia yang belakangan aku tahu seorang janda kembang, baru saja keluar dari rest room. Ia menahan langkahku. Tangan kanannya yang masih sedikit basah menyentuh dadaku.”Sering-sering ya,” katanya pelan, menyindir keterlambatanku pagi ini.Kembali aku tersenyum.”Sering-sering juga ya,” kataku pula ketika ia sudah dua langkah meninggalkanku.”What?” Tanya dia dalam bahasa Inggris, serentak berhenti dan menoleh padaku.Posisinya sebagai resepsionis di hotel ini memang mewajibkan dirinya bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dan ia jauh melewati kualifikasi itu; fluently in English speaking, karena ia punya syarat utama, yaitu cantik.Alasan terakhir itu pula yang mungkin secara misterius membuatku berlama-lama membersihkan dinding kaca di samping mejanya.
Bab 14:Gadis Tak Tahu Adat“Bajixngaaan!” Maki gadis itu tiba-tiba.“Dasar laki-laki bajixngaaan!”Ia kembali menjatuhkan wajahnya untuk menekuri lutut.Sampai beberapa menit berlalu aku masih tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku ingin enyah, tapi mengingat akulah yang pertama duduk di sini, aku urung.Gadis itu sudah menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menyeka airmata, juga ingusnya. Terakhir, aku tak tahan juga. Semua tisu yang berserakan di lantai ini, toh aku juga nanti yang akan membersihkannya.“Adik?” Tanyaku hati-hati.Ia mengangkat wajah. Matanya sembab, celaknya belepotan di kantong mata.“Adik tadi memaki saya?” Sebenarnya itu pertanyaan yang kurang tepat, karena gadis itu tidak menjawab, tapi…“Bajixngaaaaaann!!”Kembali aku tersentak, dan kembali gadis itu menjatuhkan wajahnya di lutut. Benar-benar tak nyaman
Bab 15:Tabloid Pukul 17:30. Matahari bulat memerah di langit barat Bandar Baru, yang sejak kemarin sore mulai diselimuti asap hasil kebakaran hutan.Hujan yang turun di kota Bandar Baru ini sepertinya tidak turun di wilayah lain, dan hal itu membuat orang-orang yang tak bertanggung jawab bisa dengan mudah membersihkan lahannya, yaitu dengan cara membakar, sehingga dengan cepat bisa ditanami dengan kelapa sawit.Aku yang pernah bekerja di bidang industri kehutanan, cukup mengerti bahwa hampir delapan puluh persen daratan di Riau ini gambut atau rawa-rawa. Sehingga api yang terlanjur tersulut itu sangat sulit untuk dipadamkan.Ia seperti api di dalam sekam. Jika kita melihat asap di permukaan, maka di dalamnya, bahkan hingga mencapai dua meter lebih, api menyala serupa bara api dari neraka.Aku, seperti kebanyakan warga kota lainnya, hanya bisa pasrah. Walau tak nyaman karena asap, akhirnya aku m
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.