Bu Rose mencermati ijazah SMA-ku. Sebentar saja, toh tidak ada yang menarik. Terlebih dulu membenahi kacamatanya, ia kemudian beralih pada surat lamaran kerjaku. Yang ini malah lebih cepat. Berarti lebih tidak menarik.
”Kamu punya hubungan apa dengan Mbak Mira?” Tanya Bu Rose.
Pertanyaan ini spontan membuatku gugup.
”Eee.., saya tidak punya hubungan apa-apa, Bu.”
”Temannya?”
”Bukan.”
”Saudara, saudara jauh, mungkin?”
”Bukan, bukan Bu.”
”Tapi kenapa Mbak Mira merekomendasikan kamu ke sini?”
”Eee.., mungkin, ini hanya keberuntungan bagi saya.”
”Saya tidak menemukan CV kamu di sini.” Bu Rose menunjuk dokumenku yang masih ia pegang.
”Eee..,” Aku semakin gugup. Karena, aku memang tidak menyiapkan CV untuk proses lamaran kerja ini. Toh, sebelumnya Mira juga bilang begitu.
”Sebelum ini kamu bekerja di mana?”
”Di bidang industri forestry, Bu.”
”Kehutanan ya?”
”Iya, betul, kehutanan industri.”
”Di mana itu?”
”Di Pulau Lawan.”
”Industri kehutanan, hemm.., berarti kamu tinggalnya di hutan?”
”Yah, bisa dibilang begitu. Tapi saya tinggalnya di barak kok, Bu. Atau mess karyawan, seperti itulah kira-kira.”
”Kamu bekerja sebagai apa di situ?”
”Sebagai kerani, atau petugas pencatat hasil kerja kehutanan.”
”Seperti mandor?”
”Lebih kurang seperti itu.”
”Bisa kamu jelaskan lebih detil?”
Aku mengangguk.
”Jadi, di lokasi proyek kehutanan, kayu-kayu tanaman industri akan ditanam, dirawat, hingga mencapai usianya untuk dipanen.”
”Kayu atau pohon jenis apa itu?” Potong Bu Rose.
”Akasia dan Eucalyptus. Kedua jenis kayu inilah yang nanti akan diolah untuk menjadi ’pulp’ atau bubur kertas, untuk selanjutnya nanti akan diolah lagi menjadi aneka macam kertas, karton, termasuk tisu, dan lain-lain.”
”Nah, dalam industri ini tentu banyak menggunakan alat berat dan truk angkutan. Jadi, sebagai kerani saya mencatat hasil kerja dari para opetor alat berat atau sopir tersebut. Misalnya, nomor unit, nama operator, bobot tonase, jam kerja, lembur, dan lain sebagainya.”
Bu Rose menangguk-anggukkan kepalanya.
”Berapa lama kamu bekerja di situ?”
”Hampir dua tahun, Bu.”
”Lalu kamu berhenti?”
”Betul, Bu.”
”Kenapa?”
”Saya mendapat PHK, Bu.”
”Kenapa di-PHK?”
”Perusahaan tempat saya bekerja itu kolaps, Bu. Bangkrut. Ada beberapa petinggi perusahaannya yang ditangkap polisi, karena terlibat penyalahgunaan HPH.”
”HPH, apa itu?”
”Hak Pengelolaan Hutan. Jadi, ternyata perusahaan saya dulu itu telah melewati izin dari pemerintah. Hutan Lindung milik negara yang seharusnya tidak dirambah, digunduli juga oleh perusahaan saya itu.”
Bu Rose menangguk-angguk dengan wajah yang sedikit sinis.
”Jahat juga kamu ya.”
Nah, lho? Kok, aku yang jahat? Gerutuku dalam hati.
”Emm, mohon maaf,” kataku berusaha membela diri. ”Untuk kata ’jahat’, sepertinya Ibu salah sasaran.”
”Kamu menebang pohon di hutan lindung milik negara, itu artinya kamu merusak lingkungan dan juga hutan saya.”
”Tetapi, saya kan..,”
”Kamu juga terlibat kan? Toh kamu yang mencatat hasil kerja para operator alat berat penebang hutan itu?”
Aku tercekat, menelan ludah, lalu menunduk. Aku sedang butuh kerja saat ini, maka aku tak boleh berdebat, demikian pikirku.
”Iya kan?”
”I.., i.., iya, Bu.”
”Kamu jahat, kan?”
”Iya, Bu.”
”Lalu untuk apa saya menerima kamu bekerja di hotel ini?”
Fiuh! Dengkulku langsung lemas. Aku menautkan kedua tanganku dan saling meremas-remaskan jari. Bu Rose ini begitu piawai dalam bermain kata-kata.
”Oke, oke, jahat atau tidaknya kamu, saya tidak berhak memvonis,” ujarnya lagi. ”Nah, sebelum di industri kehutanan itu, kamu pernah bekerja di mana lagi?”
”Di Bandung, sebagai operator mesin konveksi. Emmh, kemudian di Jakarta, sebagai kondektur bus metromini.”
”Hemm..,” Bu Rose menghela nafas yang dalam.
”Tak ada satu kualifikasi pun yang cocok untuk kamu.”
Aku sontak menelan ludah. Kerongkonganku terasa kering tiba-tiba.
”Mohon maaf ya, kalau bukan karena Mbak Mira, saya tidak akan menerima kamu bekerja di sini. Tetapi, kalau kamu memang benar-benar butuh pekerjaan, saya bisa menempatkan kamu untuk menjadi cleaning service.”
”Siap, Bu, saya siap,” sahutku cepat.
”Mungkin, ke depannya.., oh ya, sebagai mantan operator mesin konveksi dan kondektur bus, tentu kamu bisa sedikit utak-atik kan?”
”Utak-atik, maksud Ibu, membengkel, atau membongkar-bongkar, begitu?”
”Iya, mesin, atau peralatan, semacam itu.”
”Bisa, Bu, bisa. Saya bisa sedikit utak-atik. Dulu saya sering membantu mekanik alat berat kok.”
”Nah, ke depannya, nanti kamu bisa merangkap sebagai petugas maintenance, untuk mem-back up teknisi. Sebelum itu, yah, kamu belajar dulu lah dengan senior di sini.”
”Siap, Bu.” Sahutku lagi dengan semangat.
”Oke, jadi kapan kamu bisa mulai bekerja?”
”Hari ini juga saya bisa, Bu.”
”Jangan hari ini, besok saja. Jadi, besok pagi kamu datang lagi ke sini. Kamu akan saya perkenalkan dengan karyawan yang lain, dan akan saya ajak tour singkat, untuk mengarahkan kamu pada tanggung jawab dan pekerjaan kamu sebagai cleaning service.”
”Terima kasih, Bu, terima kasih banyak.”
********
Keesokan harinya, aku datang cepat. Lebih pagi dari siapa pun orang di Bandar Baru ini ketika berangkat bekerja. Aku ingin menunjukkan kesungguhanku pada Bu Rose terkait keinginanku bekerja.
Sebab, kalau aku gagal mendapat pekerjaan hari ini, dalam tiga hari ke depan aku pasti akan berpuasa, dan itu tanpa sahur dan juga tanpa berbuka. Sungguh, isi dompetku memang sebegitu mengenaskannya!
Aku lalu diperkenalkan oleh Bu Rose pada Irham dan Tommy, dua orang petugas maintenance di hotel Mustika Bumi ini.
Sembari berjalan mengitari gedung hotel, aku diberi arahan oleh Bu Rose terkait sekop pekerjaanku sebagai cleaning service.
Kebetulan, ada beberapa karyawan yang berlalu di dekat kami. Aku pun diperkenalkan juga kepada mereka.
Satu, dua, tiga, empat.., aku tidak langsung ingat nama-nama rekan itu. Akan tetapi yang terakhir..,
”Leony,” sebut seorang wanita, seraya menjabat tanganku dengan hanya ujung telapak tangannya.
”Ifat,” sebutku.
Sudah, begitu saja, dan si wanita itu segera berlalu dengan wajah juteknya, menuju bagian depan hotel sana.
”Leony”, batinku.
Aku ingat, dia adalah wanita yang kemarin nyaris bertabrakan denganku di lantai dua.
”Dia recepsionis,” kata Bu Rose seraya kembali mengajakku teruskan langkah ke halaman belakang hotel.
Resepsionis? Batinku heran. Petugas penerima tamu, kok jutek begitu?
Cantik sih, cantik. Akan tetapi, entahlah, menurutku wajah Leony mirip dengan tokoh antagonis yang biasa ada di sinetron televisi itu.
Singkat cerita, aku mendapat tugas di seluruh lantai satu, basement, halaman, dan seluruh areal parkir. Sebenarnya, sudah ada karyawan yang menempati pos yang baru aku tempati ini.
Akan tetapi, karyawan tersebut kini dialihkan Bu Rose ke posisi housekeeping. Masih seputar kebersihan juga, tetapi untuk bagian dalam hotel, khususnya kamar.
********
Pukul sebelas tepat, aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku di halaman depan, lantai satu dan basement.
Untuk halaman belakang, masih ada kotak-kotak sampah yang isinya belum aku bereskan. Sudah, tinggal itu saja.
Kalau semuanya sudah selesai, aku bisa beristirahat sembari menunggu waktu periodik di mana aku akan kembali membersihkan area-area tadi.
Matahari sedang terik. Aku kehausan, sementara air minumku sudah habis. Maka, berjalanlah aku menuju.., ruangan karyawan?
”Ah, kelewat jauh,” pikirku.
”Ini saja, di kantin belakang sini.”
Aku akan meminta air minum kepada Ibu pemilik kantin itu. Hitung-hitung, sekalian memperkenalkan wajah baruku ini kepada semua orang di lingkungan hotel.
Setelah diberi izin, aku pun mengisi botol minum kesayanganku pada dispenser yang terletak di pojok. Aku dan Ibu kantin terlibat pembicaraan yang wajar, sebagai sesama orang asing yang baru mengenal.
Tanpa sepengetahuanku, Leony si resepsionis, si cantik manis nan antagonis, rupanya tengah berada di kantin ini juga, hanya saja aku tidak menyadarinya.
Ia memperhatikan aku, khususnya botol minum yang aku pegang. Aku juga tidak menyadari ketika ia tersenyum mencibir, memandang sepele pada botol minumku yang baik warna maupun bentuknya sangat tidak menarik.
”Lelaki dewasa, dengan botol minum bergambar tokoh kartun anak-anak, Winnie The Pooh??” Begitu kira-kira arti tatapannya padaku.
Namun, siapa sangka, bermula dari botol minum Winnie The Pooh inilah kelak dia akan menyukai aku, dan mengukir kisah cinta yang amat menyentuh bagi kami berdua.
Dalam waktu bersamaan, Mira pun berusaha untuk merebut hatiku. Ia yang bersuami bahkan sampai menghalalkan segala cara, termasuk menipu dan memperdayai aku.
Sayangnya, kejadian tentang aku yang menyelamatkan Mira dari perampok itu, menjadi berita dan terpampang pula kisahnya di media. Di mana itu akan menjadi cikal bakal dari seluruh penderitaanku di perantauan ini.
Ah, Mira.., seandainya aku tak pernah bertemu dia, tentu akan lain ini cerita!
********
Bab 6: Obsesi BERBULAN-BULAN KEMUDIAN..,**Aku sudah membayangkannya, bahkan sebelum Ucon mengatakannya.“Bayangkan.., bayangkan itu, Fat! Aku akan jadi penulis terkenal!”Dia mencengkeram bahuku dengan sebelah tangan, lalu menggguncangkannya penuh semangat. Aku menerima saja, ikut dalam irama dorong dan tarikan tangannya itu. Kupaksakan juga menyungging senyum untuk menghargai ceritanya yang berapi-api.”Aku tak perlu lagi membongkar ekskavator sambil berpanas-panasan di bawah terik matahari, atau mengelas sambil tiarap di kolong alat berat.””Aku tak perlu keluar masuk hutan untuk menyambung tangan alat berat yang patah, atau menyambung rantai tracklink buldoser...”Mendapatiku yang hanya tersenyum, memandangnya sesekali tanpa melepas perhatian pada lalu lalang kendaraan di jalan, dia mengguncang bahuku lagi.”Bayangkan itu, Fat!””Aku bisa merdeka dari payaunya air gambut, nyamuk malaria yang kejam!””Aku bisa terbebas dari oli kotor, gemuk, solar busuk, juga engkol mesin diesel!
Sementara aku menerka-nerka subjek pengirim pesan tadi, Ucon sahabatku yang blekutuk ini tak henti-hentinya ngoceh tentang obsesinya menjadi novelis.Ia malah semakin kebablasan, dan menceritakan pula kisah Nabi Yusuf seperti termaktub dalam Al-Quran. Yusuf yang berhasil menundukkan hawa nafsunya dari pengaruh pesona kecantikan Zulaikha, istri sang pembesar Mesir.Yusuf yang ketampanannya menyihir para istri pembesar lain sehingga tanpa sadar mereka mengiris tangannya sendiri dengan pisau.Yusuf yang selanjutnya dijebloskan ke dalam penjara karena mendapat fitnah. Ucon juga menceritakan tentang Zulaikha yang akhirnya ’bertemu’ dan ’mencintai’ Tuhan. Zulaikha yang akhirnya mencintai Yusuf karena Tuhan dan bukan karena ketertarikan ragawi semata.Tanpa mengalihkan wajahku dari Ucon, aku kemudian membalas pesan yang masuk ke ponselku tadi.”Kabarku baik. Maaf, ini siapa?”Hanya berselang detik, balasan dari nomor asing ini pun masuk. Derrrt!”Ini Mira.”Oh, Mira! Batinku yang terkejut.B
Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku. Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.Lahan ko
Bab 9:Idah dan Ainun — part 2Kepergian Ainun menjadi cobaan terberat Ibu setelah ditinggal Ayah. Ibu kembali sakit-sakitan. Tepat dua bulan setelah kepergian Ainun, Ibu juga pergi meninggalkan aku.Aku merasa sedih. Aku marah. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan?Ya, aku kecewa pada-Nya. Mungkin karena itu, sampai sekarang aku merasa ’alergi’ dengan hal-hal yang berbau Tuhan atau agama.Selanjutnya, beberapa peristiwa besar terus melandaku. Waktu itu prosesnya sejalan dengan arus reformasi negeri ini, medio 2000-an. Ayah angkatku terjerat kasus korupsi. Rumah dan kendaraan disita negara.Vonis lima tahun penjara membuatnya depresi berat. Kesehatannya memburuk, menderita komplikasi diabetes dan lever.Ayah angkatku kemudian meninggal bersama catatan kelamnya selama menjadi pegawai pemerintahan. Sedang ibu angkatku, akibat kasus ayah, ia mengalami stress. Puncaknya pad
Kutarik nafas sekali. Bersamaan dengan angin malam yang berembus tipis sesaat tadi aku pun kembali ke masa kini.Suara batuk Pak Latif sudah berhenti. Aku pun meneruskan langkahku menuju rumah, sembari mengetik-ngetik keypad ponsel untuk untuk membalasi pesan dari Mira. Aku balas seperlunya saja.”Lambek pulang—lambat pulang, Fat?” Sapa Bang Idris, tetanggaku, dengan bahasa Minang.Ia sedang duduk sendirian di teras rumahnya, menikmati rokok dan sesekali mengipas-ngipaskan baju ke tubuhnya, menyingkap gerah. Sudah hampir pukul satu dini hari, tapi suhu belum turun juga.Bang Idris bekerja sebagai tukang bubut di sebuah perbengkelan dekat Tambusai Ujung, sekitar satu kilometer dari mal SKA. Sering ketika pulang kerja kami bertemu dalam satu oplet.”Eh, iyo Da.. basuo kawan tadi—iya, Bang, tadi aku bertemu teman,” jawabku pula dalam Bahasa Minang yang tak fasih.&rdqu
Aku abaikan saja telepon dari Mira itu. Sekarang, kembali lagi pada kisah Joni dan Johan.Ketika mengamen, penampilan mereka selalu memukau banyak orang. Masing-masing kakak beradik itu memainkan gitar, juga mengalungkan besi kecil di lehernya untuk menambat harmonika.Di sepatu kirinya, Johan mengaitkan tutup botol yang dirangkai, berguna untuk mengeluarkan suara tamborin; kicrik-kicrik. Di sepatu kanan, Johan juga mengaitkan dua lempeng baja tipis untuk mengeluarkan suara simbal; cesss, persis seperti simbal.Karena Johan lebih banyak memainkan rithme dan bass, maka dengan kreasinya sendiri, ia meletakkan potongan fiberglass dekat senar terbawah gitarnya. Mulanya aku tak tahu untuk apa potongan fiberglass itu, setelah Johan memainkannya; senar drum!Jadi, sambil merambas gitar mencipta ritme, salah satu ujung jarinya memukul potongan fiberglass itu. Dalam waktu yang sama kedua kakinya bergoyang
”Tidak selamanya kita hidup di dunia ini, Fat..”Kalimat Joni yang terakhir itu mengiang-ngiang di dalam kepalaku. Seperti sebuah suara yang terpantul di dinding-dinding gua. Suara itu tetap berada di sana, tak dapat keluar dan terperangkap selamanya. Menggaung dan menggema hingga akhir masa.Aku ingin tak mendengarnya, tapi suara itu selalu berhasil mencabik hati dan jiwaku dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Lebih menyedihkan lagi, suara gaung dan gema itu menerbitkan pula rasa rindu dalam di dalam hatiku ini.Bukan rindu pada Ayah, Ibu, Ainun, Bapak dan Ibu Dibyo, atau kampung halamanku di Surabaya sana. Akan tetapi, rindu pada sesuatu yang aku sebut; ”entah apa”—aku memang tak dapat mendefinisikannya.Seperti rindu pada sesuatu yang dekat tapi aku menjauhkannya, pada sesuatu yang indah tapi aku menodainya.Rindu pada sesuatu yang tenang, damai, dan syahdu, tapi aku merusakn
”Hei..,”Aku menoleh.Ternyata Leony, si resepsionis itu. Dia yang belakangan aku tahu seorang janda kembang, baru saja keluar dari rest room. Ia menahan langkahku. Tangan kanannya yang masih sedikit basah menyentuh dadaku.”Sering-sering ya,” katanya pelan, menyindir keterlambatanku pagi ini.Kembali aku tersenyum.”Sering-sering juga ya,” kataku pula ketika ia sudah dua langkah meninggalkanku.”What?” Tanya dia dalam bahasa Inggris, serentak berhenti dan menoleh padaku.Posisinya sebagai resepsionis di hotel ini memang mewajibkan dirinya bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dan ia jauh melewati kualifikasi itu; fluently in English speaking, karena ia punya syarat utama, yaitu cantik.Alasan terakhir itu pula yang mungkin secara misterius membuatku berlama-lama membersihkan dinding kaca di samping mejanya.
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.