Beranda / Lain / Ifat / Bab 4: Cuma Cleaning Service

Share

Bab 4: Cuma Cleaning Service

Penulis: Ayusqie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Keesokan harinya, pukul delapan pagi aku terbangun di rumah Mira. Aku keluar dari kamar yang kutempati semalam. Sembari membawa handuk aku berjalan menuju kamar mandi.

Usai mandi dan bersalin baju, aku dipanggil oleh pembantu Mira untuk menyantap sarapan pagi yang telah ia siapkan.

Aku pun keluar lagi dari kamar, lalu duduk di ruang makan. Di sini, sebentar tercipta obrolan antara aku dan asisten rumah tangga Mira ini.

”Bu Mira mana, Mbak?” Tanyaku kemudian pada sang pembantu.

”Hemm..,” sang pembantu menolah-noleh seperti mencari. Pandangannya lalu mengarah ke luar melewati jendela yang ada di ruang makan ini.

”Tuh.”

Rupanya, di seberang jendela situ ada halaman samping, di mana sekarang Mira sedang berjalan mondar-mandir sembari berbincang dengan seseorang melalui ponselnya. Aku pun mengangguk.

”Silahkan, Mas,” kata sang pembantu, beri isyarat pada hidangan di atas meja.

”Terima kasih, Mbak.”

********

Mira menepati janjinya. Setelah hampir seharian penuh telepon sana telepon sini, akhirnya ia berhasil mendapatkan sebuah pekerjaan untuk aku. Salah satu kolega, relasi, atau mungkin teman arisannya memberi kabar gembira.

”Tapi, cuma cleaning service, mau?” Tanyanya padaku, dengan raut sedikit kecewa.

Aku tersenyum lega. Mira menggunakan kata ’cuma’, sedang bagiku pekerjaan itu adalah segala-galanya, anugerah besar untukku saat ini. Dalam hati aku mengucap Alhamdulillah.

”Di mana?” Tanyaku penuh harap.

”Di hotel Mustika Bumi, bintang lima, jalan Sukarno Hatta.”

Segera saja aku mengiyakan. Lagi pula, untuk jual mahal, punya ijazah apa aku ini. Satu yang terpenting bagiku adalah segera pergi dari rumah Mira, untuk menyelamatkan imanku yang kerdil.

Sebenarnya, Mira berusaha menahan aku. Ia memintaku untuk tinggal saja di rumahnya. Dia bilang rumahnya terlalu besar untuk ditinggali oleh dirinya, suami dan dua orang pembantunya.

Akan tetapi, mengingat bagaimana rautnya tadi malam saat menerima sentuhan tanganku, semakin berkeras saja aku hendak pergi.

Aku adalah lelaki yang sehat dan normal, juga tak pernah berinteraksi secara khusus dengan wanita. Aku takut khilaf dan tergelincir. Jika itu terjadi, aku akan sangat malu pada almarhumah Ibu dan Ainun yang sampai kini wajahnya tetap membayangi.

 Atas bantuan Mira pula, keesokan harinya aku berhasil mendapatkan sebuah ’rumah petak’—istilah untuk rumah kontrakan di Bandar Baru—di daerah Sidomulyo, tak jauh dari Pasar Pagi Arengka.

”Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan telepon aku ya,” kata Mira ketika ia mengantarku ke rumah kontrakan itu.

Ia lalu melungsurkan sebuah kartu nama padaku, tersenyum, balik badan, dan melangkah pergi meninggalkan aku. Akan tetapi.,

”Mmmm...” Mira hentikan langkah, seperti ada yang terlupa, lalu berbalik lagi padaku.

”Sering main ke rumahku ya.”   

********

Selang satu hari kemudian, tanpa menunggu tempo aku segera pergi menuju ke hotel Mustika Bumi. Aku mengikuti saja apa pun arahan dan petunjuk dari Mira.

Aku mengenakan pakaian terbaik yang aku punya. Aku juga memakai sepatu, satu-satunya yang aku punya. Aku membawa tas selempang yang sebelumnya telah aku isi dengan ijazah SMA dan beberapa dokumen lain. Tak ketinggalan botol minum bergambar Winnnie The Pooh kesayanganku.

Aku membutuhkan waktu hampir setengah jam menaiki oplet—angkot—untuk sampai pada tujuanku. Pukul sepuluh pagi, aku turun dari oplet lalu berjalan menuju area hotel dan berhenti di gapura. Ada sebuah pos sekuriti dan menurut hematku, aku harus mampir ke situ.

Aku langsung bingung, karena petugas keamanan yang menyambutku ini ternyata mempunyai semacam paradoks, yaitu; badannya tinggi tegap dan besar macam algojo, tapi nama yang tertera di seragamnya adalah Banowati.

Bano? Wati? Laki-laki atau perempuan?

”Permisi, eemm.., Bu, atau Pak,” sapaku dengan kikuk.

”Ya? Ada yang bisa dibantu?” Sahut sang sekuriti, bangkit dari kursi dan keluar dari posnya.

Suaranya sih, terdengar lembut seperti perempuan. Tapi wajah dan posturnya, oh, aku sampai melirik ke arah dadanya, barangkali ada dua tonjolan di situ. Memang ada!

”Saya Ifat, saya mau menemui Ibu  Rose.”

”Dari mana?”

”Saya dari Sidomulyo.” Aku menyebut tempat tinggalku sekarang ini. 

”Sudah  ada janji sebelumnya?”

”Ee..,”Aku bingung sebentar. ”Kalau janji sih, tidak ada. Tapi, saya disuruh menemui Ibu  Rose, kapan saja, Ibu Rose akan menerima saya.”

”Disuruh? Siapa yang menyuruh kamu?”

”Mira,” jawabku sedikit gugup.

”Oh, Bu Mira?”

”Iya.”

Aku menyebut ’Mira’, sementara petugas sekuriti itu menyebut dengan menggunakan kata ’Bu’. Aku jadi penasaran, ”Siapa sebenarnya Mira itu? Dan mengapa sekuriti bernama Banowati ini tampak begitu menghormatinya?”

”Sebentar ya.”

Petugas sekuriti kembali masuk ke dalam posnya. Ia melakukan panggilan lewat telepon intercom. Aku berdiri menunggu di depan pos, tepat di tepi gapura hotel.

Tak lama kemudian, petugas Banowati mengeluarkan kepalanya melewati ambang pintu pos. Ia masih menelepon. Kabel telepon intercom terjulur panjang di samping kepalanya.

”Siapa nama kamu tadi?”

”Ifat.”

Petugas Banowati kembali melanjutkan pembicaraannya di telepon. Aku yang  menunggu di luar semakin harap-harap cemas. Aku kemudian mengedarkan pandanganku ke seantero hotel.

Halamannya luas, sangat asri dengan pohon peneduh dan aneka macam tanaman hias. Lobbynya juga luas. Sementara gedung hotelnya sendiri terdiri dari.., aku pun menengadah, sepuluh lantai.

”Oke, Ifat,” suara Banowati menginterupsi pemikiranku.

”Silahkan kamu masuk ke dalam. Sudah ditunggu Ibu Rose.”

”Eee.., maaf, ke arah mana ya Bu?”

Dengan sebelah tangannya petugas Banowati memberikan petunjuk. Katanya;

”Silahkan kamu masuk ke dalam. Sampai di recepsionis kamu belok kiri. Naik ke lantai dua. Tak usah pakai lift. Pakai tangga saja. Nah, ruangan kantor Bu Rose ada di sisi kiri. Ada tulisan di pintunya kok.”

Aku mengangguk.

”Terima kasih, Bu Wati,”

”Jangan panggil saya Wati.”

”Oh, maaf.”

”Panggil saya Bano.”

”Oh, iya, terima kasih Bu Bano.”

”Bano saja.”

”Bano.”

********

Sesuai arahan Bano tadi, aku pun memasuki hotel. Ketika melewati lobby dan selanjutnya front desk, aku menganggukkan kepala pada petugas resepsionis dan beberapa petugas hotel yang ada di situ.

Aku belok kiri ke arah belakang, lalu menaiki tangga menuju lantai dua. Setelah melewati anak tangga teratas, aku pun berbelok untuk..,

”Eiittss..!” Ada pekikan tertahan dari seorang perempuan. Secara bersamaan pula aku terkejut dan sontak hentikan langkah.

”Upss..! Maaf,” kataku.

Fiuh, nyaris saja aku bertabrakan dengan seorang wanita cantik, yang jika kulihat dari setelannya, sepertinya ia karyawan hotel ini juga.

Apakah ini Bu Rose? Aku pun melirik emblem nama yang ada di dada kanannya. Bukan. Nama yang tertera di situ adalah Leony DA.

”Maaf, tamu ya?” Tanya si wanita padaku..  

”Eee.., bukan,” jawabku cepat.

Setelah mengetahui aku ini bukan tamu hotel, sekonyong-konyong saja ia mendampratku.

”Kalau jalan itu pakai mata dong!”    

Duh, galaknya!           

********

Bab terkait

  • Ifat   Bab 5: Bukan Lelaki Jahat

    Bu Rose mencermati ijazah SMA-ku. Sebentar saja, toh tidak ada yang menarik. Terlebih dulu membenahi kacamatanya, ia kemudian beralih pada surat lamaran kerjaku. Yang ini malah lebih cepat. Berarti lebih tidak menarik.”Kamu punya hubungan apa dengan Mbak Mira?” Tanya Bu Rose.Pertanyaan ini spontan membuatku gugup.”Eee.., saya tidak punya hubungan apa-apa, Bu.””Temannya?””Bukan.””Saudara, saudara jauh, mungkin?””Bukan, bukan Bu.””Tapi kenapa Mbak Mira merekomendasikan kamu ke sini?””Eee.., mungkin, ini hanya keberuntungan bagi saya.””Saya tidak menemukan CV kamu di sini.” Bu Rose menunjuk dokumenku yang masih ia pegang.”Eee..,” Aku semakin gugup. Karena, aku memang tidak menyiapkan CV untuk proses lamaran kerja ini. Toh, sebelumnya Mira juga bilang begitu.”Sebelum ini kamu bekerja di mana?””Di bidang industri forestry, Bu.””Kehutanan ya?””Iya, betul, kehutanan industri.””Di mana itu?””Di Pulau Lawan.””Industri kehutanan, hemm.., berarti kamu tinggalnya di hutan?””Yah

  • Ifat   Bab 6: Obsesi

    Bab 6: Obsesi BERBULAN-BULAN KEMUDIAN..,**Aku sudah membayangkannya, bahkan sebelum Ucon mengatakannya.“Bayangkan.., bayangkan itu, Fat! Aku akan jadi penulis terkenal!”Dia mencengkeram bahuku dengan sebelah tangan, lalu menggguncangkannya penuh semangat. Aku menerima saja, ikut dalam irama dorong dan tarikan tangannya itu. Kupaksakan juga menyungging senyum untuk menghargai ceritanya yang berapi-api.”Aku tak perlu lagi membongkar ekskavator sambil berpanas-panasan di bawah terik matahari, atau mengelas sambil tiarap di kolong alat berat.””Aku tak perlu keluar masuk hutan untuk menyambung tangan alat berat yang patah, atau menyambung rantai tracklink buldoser...”Mendapatiku yang hanya tersenyum, memandangnya sesekali tanpa melepas perhatian pada lalu lalang kendaraan di jalan, dia mengguncang bahuku lagi.”Bayangkan itu, Fat!””Aku bisa merdeka dari payaunya air gambut, nyamuk malaria yang kejam!””Aku bisa terbebas dari oli kotor, gemuk, solar busuk, juga engkol mesin diesel!

  • Ifat   Bab 7: Tak Secerdas Andrea

    Sementara aku menerka-nerka subjek pengirim pesan tadi, Ucon sahabatku yang blekutuk ini tak henti-hentinya ngoceh tentang obsesinya menjadi novelis.Ia malah semakin kebablasan, dan menceritakan pula kisah Nabi Yusuf seperti termaktub dalam Al-Quran. Yusuf yang berhasil menundukkan hawa nafsunya dari pengaruh pesona kecantikan Zulaikha, istri sang pembesar Mesir.Yusuf yang ketampanannya menyihir para istri pembesar lain sehingga tanpa sadar mereka mengiris tangannya sendiri dengan pisau.Yusuf yang selanjutnya dijebloskan ke dalam penjara karena mendapat fitnah. Ucon juga menceritakan tentang Zulaikha yang akhirnya ’bertemu’ dan ’mencintai’ Tuhan. Zulaikha yang akhirnya mencintai Yusuf karena Tuhan dan bukan karena ketertarikan ragawi semata.Tanpa mengalihkan wajahku dari Ucon, aku kemudian membalas pesan yang masuk ke ponselku tadi.”Kabarku baik. Maaf, ini siapa?”Hanya berselang detik, balasan dari nomor asing ini pun masuk. Derrrt!”Ini Mira.”Oh, Mira! Batinku yang terkejut.B

  • Ifat   Bab 8: Idah dan Ainun — part 1

    Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku. Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.Lahan ko

  • Ifat   Bab 9: Idah dan Ainun — part 2

    Bab 9:Idah dan Ainun — part 2Kepergian Ainun menjadi cobaan terberat Ibu setelah ditinggal Ayah. Ibu kembali sakit-sakitan. Tepat dua bulan setelah kepergian Ainun, Ibu juga pergi meninggalkan aku.Aku merasa sedih. Aku marah. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan?Ya, aku kecewa pada-Nya. Mungkin karena itu, sampai sekarang aku merasa ’alergi’ dengan hal-hal yang berbau Tuhan atau agama.Selanjutnya, beberapa peristiwa besar terus melandaku. Waktu itu prosesnya sejalan dengan arus reformasi negeri ini, medio 2000-an. Ayah angkatku terjerat kasus korupsi. Rumah dan kendaraan disita negara.Vonis lima tahun penjara membuatnya depresi berat. Kesehatannya memburuk, menderita komplikasi diabetes dan lever.Ayah angkatku kemudian meninggal bersama catatan kelamnya selama menjadi pegawai pemerintahan. Sedang ibu angkatku, akibat kasus ayah, ia mengalami stress. Puncaknya pad

  • Ifat   Bab 10 : Si Buruak Kamba – part 1

    Kutarik nafas sekali. Bersamaan dengan angin malam yang berembus tipis sesaat tadi aku pun kembali ke masa kini.Suara batuk Pak Latif sudah berhenti. Aku pun meneruskan langkahku menuju rumah, sembari mengetik-ngetik keypad ponsel untuk untuk membalasi pesan dari Mira. Aku balas seperlunya saja.”Lambek pulang—lambat pulang, Fat?” Sapa Bang Idris, tetanggaku, dengan bahasa Minang.Ia sedang duduk sendirian di teras rumahnya, menikmati rokok dan sesekali mengipas-ngipaskan baju ke tubuhnya, menyingkap gerah. Sudah hampir pukul satu dini hari, tapi suhu belum turun juga.Bang Idris bekerja sebagai tukang bubut di sebuah perbengkelan dekat Tambusai Ujung, sekitar satu kilometer dari mal SKA. Sering ketika pulang kerja kami bertemu dalam satu oplet.”Eh, iyo Da.. basuo kawan tadi—iya, Bang, tadi aku bertemu teman,” jawabku pula dalam Bahasa Minang yang tak fasih.&rdqu

  • Ifat   Bab 11: Si Buruak Kamba – part 2

    Aku abaikan saja telepon dari Mira itu. Sekarang, kembali lagi pada kisah Joni dan Johan.Ketika mengamen, penampilan mereka selalu memukau banyak orang. Masing-masing kakak beradik itu memainkan gitar, juga mengalungkan besi kecil di lehernya untuk menambat harmonika.Di sepatu kirinya, Johan mengaitkan tutup botol yang dirangkai, berguna untuk mengeluarkan suara tamborin; kicrik-kicrik. Di sepatu kanan, Johan juga mengaitkan dua lempeng baja tipis untuk mengeluarkan suara simbal; cesss, persis seperti simbal.Karena Johan lebih banyak memainkan rithme dan bass, maka dengan kreasinya sendiri, ia meletakkan potongan fiberglass dekat senar terbawah gitarnya. Mulanya aku tak tahu untuk apa potongan fiberglass itu, setelah Johan memainkannya; senar drum!Jadi, sambil merambas gitar mencipta ritme, salah satu ujung jarinya memukul potongan fiberglass itu. Dalam waktu yang sama kedua kakinya bergoyang

  • Ifat   Bab 12: Keping-keping Intan

    ”Tidak selamanya kita hidup di dunia ini, Fat..”Kalimat Joni yang terakhir itu mengiang-ngiang di dalam kepalaku. Seperti sebuah suara yang terpantul di dinding-dinding gua. Suara itu tetap berada di sana, tak dapat keluar dan terperangkap selamanya. Menggaung dan menggema hingga akhir masa.Aku ingin tak mendengarnya, tapi suara itu selalu berhasil mencabik hati dan jiwaku dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Lebih menyedihkan lagi, suara gaung dan gema itu menerbitkan pula rasa rindu dalam di dalam hatiku ini.Bukan rindu pada Ayah, Ibu, Ainun, Bapak dan Ibu Dibyo, atau kampung halamanku di Surabaya sana. Akan tetapi, rindu pada sesuatu yang aku sebut; ”entah apa”—aku memang tak dapat mendefinisikannya.Seperti rindu pada sesuatu yang dekat tapi aku menjauhkannya, pada sesuatu yang indah tapi aku menodainya.Rindu pada sesuatu yang tenang, damai, dan syahdu, tapi aku merusakn

Bab terbaru

  • Ifat   Bab 232: Maha Cinta

    Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”

  • Ifat   Bab 231: Belah Duren

    Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.

  • Ifat   Bab 230: Kehadiran

    Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge

  • Ifat   Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu

    Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su

  • Ifat   Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!

    Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be

  • Ifat   Bab 227: Sang Perantau

    Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan

  • Ifat   Bab 226: Tujuh Koin

    Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik

  • Ifat   Bab 225: Jemputan

    Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel

  • Ifat   Bab 224: Nol Koma Satu Persen

    Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.

DMCA.com Protection Status