IFAT
Bab 1: Bukan Superman.
Bandar Baru, Februari 2008.
”Tolooong..!”
Aku terkesiap. Suara teriakan minta tolong itu sontak memutus lamunanku yang sudah terlalu jauh entah ke mana. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari asal suara.
”Tolooong..!”
Samar-samar suara teriakan itu terdengar lagi. Desauan angin malam di tiang-tiang lampu dan pohon peneduh membuatku kesulitan untuk menerka sumber suara.
”Sepertinya dari sana,” pikirku, di arah kanan dari tempatku duduk ini. Aku segera bangkit, meraih tas ranselku dari trotoar dan berjalan menuju asal teriakan tadi.
Pukul sebelas malam. Suasana kota Bandar Baru begitu sepi semenjak disiram gerimis maghrib tadi. Tidak ada mobil atau motor yang melintas di jalan. Penduduk kota ini sepertinya terlalu cepat beranjak ke peraduan.
Aku terus tergopoh-gopoh sembari menggendong tas ranselku. Setelah melewati sebuah perempatan, aku segera belok kanan, dan, di situ rupanya..,
”Toloooong..!”
Aku melihat seorang wanita yang berjalan mundur-mundur, penuh ketakutan, berusaha menjauhi dua orang lelaki yang sedang memburunya dari dua arah yang berbeda.
Beberapa detik aku tercekat, menelan ludah. Aku bingung pada pilihan-pilihan yang akan aku lakukan selanjutnya.
Sang wanita terus berputar-putar di sekitar mobilnya, sembari memukul-mukulkan tas jinjingnya pada dua lelaki yang kuduga sebagai perampok itu.
”Serahkan uangmu!” Ancam mereka sembari menghunus pisau belati.
”Aku sudah tidak punya uang lagi!” Pekik sang wanita bercampur pasrah.
”Semuanya sudah aku serahkan ke kalian!”
”Serahkan tas kamu!” Ancam perampok lagi.
”Toloooong..!” Pekik sang wanita histeris.
Menyaksikan itu darahku berdesir, jantungku berdegup kencang. Aku ingin kembali ke tepi jalan Sudirman tadi dan berpura-pura tidak melihat kejadian itu, lalu menganggap bahwa aku ini hanyalah kucing buduk kelaparan di tengah kota.
Jika aku turun menyelamatkan wanita itu, bisa mati konyol aku. Aku memang punya kemampuan bela diri, tapi itu dulu, dan itu pun hanya seujung kuku. Lagi pula, sejujurnya aku belum pernah menghadapi orang bersenjata.
Ketika aku menyelamatkan seorang penumpang sewaktu masih jadi kondektur bus di Jakarta dulu, aku tidak tahu bahwa preman itu memiliki senjata. Jika tahu, mungkin ceritanya akan berbeda.
Kejadian selanjutnya berlangsung amat cepat. Perampok itu kian merangsek. Mereka merampas dan membetot tas jinjing milik korban.
Namun, sang wanita itu berusaha untuk bertahan. Tarik menarik pun terjadi.
”Toloooong!” Teriaknya semakin takut dan panik.
”Serahkan tas kamu!” Bentak sang perampok yang kian marah.
”Serahkan kunci mobil kamu!” Bentak perampok yang satu lagi.
”Cepat!”
”Tolooong..!”
Aku menolah-noleh, berharap ada orang lain yang melintas supaya bisa kuajak untuk membebaskan wanita itu dari todongan perampok. Tak ada, tak ada orang yang melintas. Kota Bandar Baru ini tampak serupa kota mati.
Aku pun berharap pada petugas sekuriti yang ada di gedung sebuah bank, tak jauh dari lokasi perampokan itu terjadi.
Namun rupanya, petugas itu tengah tertidur hingga tidak mendengar suara pekikan sang wanita.
”Tolooong..!”
”Mau mati kamu ya??”
”Serahkan tas kamu, cepaaat..!!”
Akibat tarikan paksa perampok, wanita itu terjatuh di aspal, lututnya berdarah. Namun ia tetap gigih mempertahankan tasnya. Ia cepat berdiri dan tanpa henti berteriak minta tolong.
Perampok pun semakin kalap. Oh, teganya, ia memukul wanita itu!
Jadi begitukah? Tidak ada sesiapa yang menolongnya? Sampai detik ini aku masih tak tahu apa yang harus kuperbuat.
Melihat pantulan sinar lampu kota di pisau belati perampok itu hatiku kecut, sangat. Aku berharap semoga satpam bank mendengar pekikan wanita itu, menunda mimpinya memiliki uang sebanyak isi bank yang dijaganya.
Perampok semakin naik pitam. Juga kepanikan, membuatnya gelap mata. Dia, dia, oh tidak! Dia menghunjamkan pisau belati ke arah wanita itu!
Jadi begitukah? Tak ada orang yang menolong wanita malang itu? Juga satpam bank itu, tidak terbangun juga?
Ah, barangkali sudah nasib wanita cantik itu tamat riwayat di tangan perampok, supaya ada berita untuk ditulis para kuli tinta.
Tapi ternyata, dugaanku meleset. Tepat dua inci sebelum belati sang perampok menghunjam lambung wanita itu, tiba-tiba saja, ada sebuah tangan lain bergerak cepat, tap! menahan deras laju belati.
Kejadian selanjutnya juga sangat cepat. Sebuah kaki bersepatu hitam sol karet putih menyasar dada perampok itu, bug! Gerakannya cepat sekali, hampir tak mampu diikuti pandangan mata. Perampok pun terjengkang.
Melihat seseorang yang tiba-tiba muncul sebagai pahlawan, layaknya Superman baru keluar dari boks telepon, perampok lain yang masih mencengkeram tas sang wanita terkejut bukan kepalang. Namun sedetik kemudian amarah kembali mendidihkannya.
”Heeii.. anjiang!” makinya dalam bahasa daerah.
”Jangan ikut campur ya!! Siapa kau?!!” Ancamnya pula seraya mengacungkan belati.
Dengan tenang, santai, dan berkesan tak takut mati, pemuda konyol bersepatu sol karet itu menjawab.
”Ah, bukan siapa-siapa, cuma kebetulan lewat,” kataku.
Kataku?
Heii!! Konyol sekali aku!!
********
Lebih dari separuh niatku ini adalah kenekatan. Lalu jika ada yang bisa aku lakukan, ini semua adalah sisa-sisa dari kemampuanku sebagai mantan atlet juara PORDA;
Maka, inilah yang disebut dengan tendangan sapuan melingkar; bakk! Kakiku pun mendarat sempurna di kepala seorang perampok.
Lalu, ini yang disebut teknik bantingan menggunakan tenaga lawan; brugg! Perampok yang kedua pun terbanting di atas aspal.
Kemudian, inilah yang disebut dengan teknik kuncian bahu.
”Aaaakh! Aaa.., aduuhh..!” pekik seorang perampok yang berhasil aku cengkeram dengan kuncianku.
Ini bukan film, tapi kejadian selanjutnya persis seperti yang ada di film-film. Tak peduli itu memukaunya film Hollywood, melankolisnya film Bollywood, atau bahkan konyolnya film Indonesia.
Setelah kedua perampok itu kubikin keok, satpam bank pun terbangun. Dua petugas keamanan itu tergopoh-gopoh menghampiri, kasak-kusuk sebentar, menelepon polisi, lalu dengan tangkas memborgol dua perampok itu.
Tak berapa lama kemudian polisi datang dengan mobil patroli. Mereka bekerja amat profesional. Begitu cekatan mereka mengumpulkan informasi, bukti-bukti, dan ini yang paling aku suka, yaitu; mereka melemparkan tubuh kedua perampok itu ke dalam mobil patroli.
Brag!
Brug!
”Aaduuh..!”
********
Bab 2: Hare Gene Gak Punya PacarMobil sedan berwarna silver meluncur tenang, menyusuri jalan Sudirman, Pattimura, Diponegoro dan terus menuju bagian timur kota Bandar Baru.Dari dalamnya aku menikmati indahnya lampu-lampu, kelap-kelip sepanjang jalan dan di taman-taman kota.Jantungku masih berdegup kencang, sisa dari kengerian yang aku alami setelah menyelamatkan seorang wanita korban perampokan tadi.”Terima kasih, terima kasih ya, mmmm, siapa nama Abang tadi?” tanya Mira, demikian nama wanita yang berhasil aku tolong tadi dari balik kemudinya.Ia masih tampak shock akibat kejadian satu jam yang lalu itu. Tadi, beberapa kali ia menghentikan mobil, menekan dada dengan sebelah tangan, dan menarik nafas dalam-dalam.Sisa air minum milikku, yang kusodorkan padanya langsung ia minum sampai tandas. Padahal, aku sendiri masih sangat kehausan.”Fatih,” jawabku pendek, tanpa mengalihkan pandangan dari seantero jalan yang baru kali ini aku lewati.”Fatih.., nama lengkapnya?””Muhammad Fatih.
”Sudah punya anak?” Ulangku bertanya.”Belum,” jawab Mira. ”Belum rejeki, mungkin.”Berarti, dugaanku tadi salah. Aku kembali memokuskan pandanganku ke luar mobil. Aku berusaha menghafal apa yang bisa aku lihat, seiring dengan laju mobil Mira yang tergolong cukup lambat ini.Teringat sesuatu, aku kembali menoleh pada Mira. Aku kemudian mengalihkan pandanganku ke bagian tengah konsol mobil Mira ini. Suasananya cukup temaram. Aku mencari keberadaan botol minum milikku yang tadi kusodorkan padanya.”Itu,” batinku.Di situ, persis di samping tuas hand break, bersisian dengan paha kiri Mira.”Minumnya sudah?” Tanyaku.”Sudah, sudah kok,” sahut Mira agak terkejut.Aku mengambil botol minum kesayanganku dari konsol tengah mobil, lalu kembali memasukkannya ke dalam tas sandangku. Tas ranselku sendiri aku letak di bawah kaki.”Terima kasih air minumnya.” Kata Mira.”Sama-sama.””Maaf, aku habiskan.””Tidak apa-apa.” Sahutku lagi, lalu menelan ludah, masih haus, tapi hanya bisa pasrah. Mobi
Keesokan harinya, pukul delapan pagi aku terbangun di rumah Mira. Aku keluar dari kamar yang kutempati semalam. Sembari membawa handuk aku berjalan menuju kamar mandi.Usai mandi dan bersalin baju, aku dipanggil oleh pembantu Mira untuk menyantap sarapan pagi yang telah ia siapkan.Aku pun keluar lagi dari kamar, lalu duduk di ruang makan. Di sini, sebentar tercipta obrolan antara aku dan asisten rumah tangga Mira ini.”Bu Mira mana, Mbak?” Tanyaku kemudian pada sang pembantu.”Hemm..,” sang pembantu menolah-noleh seperti mencari. Pandangannya lalu mengarah ke luar melewati jendela yang ada di ruang makan ini.”Tuh.”Rupanya, di seberang jendela situ ada halaman samping, di mana sekarang Mira sedang berjalan mondar-mandir sembari berbincang dengan seseorang melalui ponselnya. Aku pun mengangguk.”Silahkan, Mas,” kata sang pembantu, beri isyarat pada hidangan di atas meja.”Terima kasih, Mbak.”********Mira menepati janjinya. Setelah hampir seharian penuh telepon sana telepon sini, ak
Bu Rose mencermati ijazah SMA-ku. Sebentar saja, toh tidak ada yang menarik. Terlebih dulu membenahi kacamatanya, ia kemudian beralih pada surat lamaran kerjaku. Yang ini malah lebih cepat. Berarti lebih tidak menarik.”Kamu punya hubungan apa dengan Mbak Mira?” Tanya Bu Rose.Pertanyaan ini spontan membuatku gugup.”Eee.., saya tidak punya hubungan apa-apa, Bu.””Temannya?””Bukan.””Saudara, saudara jauh, mungkin?””Bukan, bukan Bu.””Tapi kenapa Mbak Mira merekomendasikan kamu ke sini?””Eee.., mungkin, ini hanya keberuntungan bagi saya.””Saya tidak menemukan CV kamu di sini.” Bu Rose menunjuk dokumenku yang masih ia pegang.”Eee..,” Aku semakin gugup. Karena, aku memang tidak menyiapkan CV untuk proses lamaran kerja ini. Toh, sebelumnya Mira juga bilang begitu.”Sebelum ini kamu bekerja di mana?””Di bidang industri forestry, Bu.””Kehutanan ya?””Iya, betul, kehutanan industri.””Di mana itu?””Di Pulau Lawan.””Industri kehutanan, hemm.., berarti kamu tinggalnya di hutan?””Yah
Bab 6: Obsesi BERBULAN-BULAN KEMUDIAN..,**Aku sudah membayangkannya, bahkan sebelum Ucon mengatakannya.“Bayangkan.., bayangkan itu, Fat! Aku akan jadi penulis terkenal!”Dia mencengkeram bahuku dengan sebelah tangan, lalu menggguncangkannya penuh semangat. Aku menerima saja, ikut dalam irama dorong dan tarikan tangannya itu. Kupaksakan juga menyungging senyum untuk menghargai ceritanya yang berapi-api.”Aku tak perlu lagi membongkar ekskavator sambil berpanas-panasan di bawah terik matahari, atau mengelas sambil tiarap di kolong alat berat.””Aku tak perlu keluar masuk hutan untuk menyambung tangan alat berat yang patah, atau menyambung rantai tracklink buldoser...”Mendapatiku yang hanya tersenyum, memandangnya sesekali tanpa melepas perhatian pada lalu lalang kendaraan di jalan, dia mengguncang bahuku lagi.”Bayangkan itu, Fat!””Aku bisa merdeka dari payaunya air gambut, nyamuk malaria yang kejam!””Aku bisa terbebas dari oli kotor, gemuk, solar busuk, juga engkol mesin diesel!
Sementara aku menerka-nerka subjek pengirim pesan tadi, Ucon sahabatku yang blekutuk ini tak henti-hentinya ngoceh tentang obsesinya menjadi novelis.Ia malah semakin kebablasan, dan menceritakan pula kisah Nabi Yusuf seperti termaktub dalam Al-Quran. Yusuf yang berhasil menundukkan hawa nafsunya dari pengaruh pesona kecantikan Zulaikha, istri sang pembesar Mesir.Yusuf yang ketampanannya menyihir para istri pembesar lain sehingga tanpa sadar mereka mengiris tangannya sendiri dengan pisau.Yusuf yang selanjutnya dijebloskan ke dalam penjara karena mendapat fitnah. Ucon juga menceritakan tentang Zulaikha yang akhirnya ’bertemu’ dan ’mencintai’ Tuhan. Zulaikha yang akhirnya mencintai Yusuf karena Tuhan dan bukan karena ketertarikan ragawi semata.Tanpa mengalihkan wajahku dari Ucon, aku kemudian membalas pesan yang masuk ke ponselku tadi.”Kabarku baik. Maaf, ini siapa?”Hanya berselang detik, balasan dari nomor asing ini pun masuk. Derrrt!”Ini Mira.”Oh, Mira! Batinku yang terkejut.B
Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku. Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.Lahan ko
Bab 9:Idah dan Ainun — part 2Kepergian Ainun menjadi cobaan terberat Ibu setelah ditinggal Ayah. Ibu kembali sakit-sakitan. Tepat dua bulan setelah kepergian Ainun, Ibu juga pergi meninggalkan aku.Aku merasa sedih. Aku marah. Tapi, kepada siapa? Kepada Tuhan?Ya, aku kecewa pada-Nya. Mungkin karena itu, sampai sekarang aku merasa ’alergi’ dengan hal-hal yang berbau Tuhan atau agama.Selanjutnya, beberapa peristiwa besar terus melandaku. Waktu itu prosesnya sejalan dengan arus reformasi negeri ini, medio 2000-an. Ayah angkatku terjerat kasus korupsi. Rumah dan kendaraan disita negara.Vonis lima tahun penjara membuatnya depresi berat. Kesehatannya memburuk, menderita komplikasi diabetes dan lever.Ayah angkatku kemudian meninggal bersama catatan kelamnya selama menjadi pegawai pemerintahan. Sedang ibu angkatku, akibat kasus ayah, ia mengalami stress. Puncaknya pad
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.