Home / Lain / Ifat / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Ifat: Chapter 11 - Chapter 20

232 Chapters

Bab 11: Si Buruak Kamba – part 2

 Aku abaikan saja telepon dari Mira itu. Sekarang, kembali lagi pada kisah Joni dan Johan.Ketika mengamen, penampilan mereka selalu memukau banyak orang. Masing-masing kakak beradik itu memainkan gitar, juga mengalungkan besi kecil di lehernya untuk menambat harmonika.Di sepatu kirinya, Johan mengaitkan tutup botol yang dirangkai, berguna untuk mengeluarkan suara tamborin; kicrik-kicrik. Di sepatu kanan, Johan juga mengaitkan dua lempeng baja tipis untuk mengeluarkan suara simbal; cesss, persis seperti simbal.Karena Johan lebih banyak memainkan rithme dan bass, maka dengan kreasinya sendiri, ia meletakkan potongan fiberglass dekat senar terbawah gitarnya. Mulanya aku tak tahu untuk apa potongan fiberglass itu, setelah Johan memainkannya; senar drum!Jadi, sambil merambas gitar mencipta ritme, salah satu ujung jarinya memukul potongan fiberglass itu. Dalam waktu yang sama kedua kakinya bergoyang
Read more

Bab 12: Keping-keping Intan

  ”Tidak selamanya kita hidup di dunia ini, Fat..”Kalimat Joni yang terakhir itu mengiang-ngiang di dalam kepalaku. Seperti sebuah suara yang terpantul di dinding-dinding gua. Suara itu tetap berada di sana, tak dapat keluar dan terperangkap selamanya. Menggaung dan menggema hingga akhir masa.Aku ingin tak mendengarnya, tapi suara itu selalu berhasil mencabik hati dan jiwaku dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Lebih menyedihkan lagi, suara gaung dan gema itu menerbitkan pula rasa rindu dalam di dalam hatiku ini.Bukan rindu pada Ayah, Ibu, Ainun, Bapak dan Ibu Dibyo, atau kampung halamanku di Surabaya sana. Akan tetapi, rindu pada sesuatu yang aku sebut; ”entah apa”—aku memang tak dapat mendefinisikannya.Seperti rindu pada sesuatu yang dekat tapi aku menjauhkannya, pada sesuatu yang indah tapi aku menodainya.Rindu pada sesuatu yang tenang, damai, dan syahdu, tapi aku merusakn
Read more

Bab 13: Tangan Basah Leony

  ”Hei..,”Aku menoleh.Ternyata Leony, si resepsionis itu. Dia yang belakangan aku tahu seorang janda kembang, baru saja keluar dari rest room. Ia menahan langkahku. Tangan kanannya yang masih sedikit basah menyentuh dadaku.”Sering-sering ya,” katanya pelan, menyindir keterlambatanku pagi ini. Kembali aku tersenyum.”Sering-sering juga ya,” kataku pula ketika ia sudah dua langkah meninggalkanku.”What?” Tanya dia dalam bahasa Inggris, serentak berhenti dan menoleh padaku.Posisinya sebagai resepsionis di hotel ini memang mewajibkan dirinya bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dan ia jauh melewati kualifikasi itu; fluently in English speaking, karena ia punya syarat utama, yaitu cantik.Alasan terakhir itu pula yang mungkin secara misterius membuatku berlama-lama membersihkan dinding kaca di samping mejanya.
Read more

Bab 14: Gadis Tak Tahu Adat

Bab 14: Gadis Tak Tahu Adat “Bajixngaaan!” Maki gadis itu tiba-tiba.“Dasar laki-laki bajixngaaan!”Ia kembali menjatuhkan wajahnya untuk menekuri lutut.Sampai beberapa menit berlalu aku masih tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku ingin enyah, tapi mengingat akulah yang pertama duduk di sini, aku urung.Gadis itu sudah menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menyeka airmata, juga ingusnya. Terakhir, aku tak tahan juga. Semua tisu yang berserakan di lantai ini, toh aku juga nanti yang akan membersihkannya.“Adik?” Tanyaku hati-hati.Ia mengangkat wajah. Matanya sembab, celaknya belepotan di kantong mata.“Adik tadi memaki saya?” Sebenarnya itu pertanyaan yang kurang tepat, karena gadis itu tidak menjawab, tapi…“Bajixngaaaaaann!!”Kembali aku tersentak, dan kembali gadis itu menjatuhkan wajahnya di lutut. Benar-benar tak nyaman
Read more

Bab 15: Tabloid

Bab 15: Tabloid  Pukul 17:30. Matahari bulat memerah di langit barat Bandar Baru, yang sejak kemarin sore mulai diselimuti asap hasil kebakaran hutan.Hujan yang turun di kota Bandar Baru ini sepertinya tidak turun di wilayah lain, dan hal itu membuat orang-orang yang tak bertanggung jawab bisa dengan mudah membersihkan lahannya, yaitu dengan cara membakar, sehingga dengan cepat bisa ditanami dengan kelapa sawit.Aku yang pernah bekerja di bidang industri kehutanan, cukup mengerti bahwa hampir delapan puluh persen daratan di Riau ini gambut atau rawa-rawa. Sehingga api yang terlanjur tersulut itu sangat sulit untuk dipadamkan.Ia seperti api di dalam sekam. Jika kita melihat asap di permukaan, maka di dalamnya, bahkan hingga mencapai dua meter lebih, api menyala serupa bara api dari neraka.Aku, seperti kebanyakan warga kota lainnya, hanya bisa pasrah. Walau tak nyaman karena asap, akhirnya aku m
Read more

Bab 16: Dua Tahun Pencarian

Bab 16:  Dua Tahun Pencarian “Jadi begini,” Wisnu mulai bicara.“Bang Ifat jangan berprasangka yang tidak-tidak dengan kami. Kedatangan kami hanya untuk menyampaikan pesan yang aku yakin, ini pasti kabar baik untuk Bang Ifat.”    Aku mengangguk-angguk. Sedari tadi mereka menyebutku ‘abang’, padahal aku yakin usia mereka di kisaran tiga puluhan. Namun begitulah, mereka memang benar-benar sopan.“Kabar baik apa itu Bang?”“Kami berdua datang ke sini, menyampaikan undangan secara lisan dari Pak Josep.”“Undangan? Pak Josep?”“Ya, beliau adalah atasan kami berdua. Beliau mengundang Bang Ifat untuk hadir di kantornya, kapan pun Abang bisa. Tapi kalau bisa, secepatnya.” “Mmm.., saya tidak kenal dengan Pak Josep, kok, beliau bisa kenal saya ya?”Lelaki gondrong yang bernama Bondan mengeluarkan
Read more

Bab 17: Kebingungan Ucon

Bab 17: Kebingungan Ucon Ucon menghentikan kunyahannnya, lalu menerawang langit-langit kamarku. Ia mengunyah lagi, tapi kemudian berhenti lagi. Matanya melirik kanan kiri seperti ada yang lain dengan indera perasanya.“Aneh,” katanya sembari lanjutkan mengunyah.“Kenapa?”“Ikan asin yang pertama tadi enak. Tapi yang ini, kok pahit ya?”“Hahahaha,“ aku tertawa. Berarti itu ikan asinku yang  gosong tadi.Setelah makan malam, aku dan Ucon berbincang-bincang dengan begitu serunya. Aku menceritakan pada sahabatku ini tentang tawaran kerja yang kudapat dari Bondan dan Wisnu, juga hal-hal yang terkait dengan itu.“Jadi, kamu bisa beladiri, Fat?”Aku berdecak. “Ck, yah, sedikit lah, itu pun dulu. Kalau masalah Mira itu kan kamu sudah tahu, cuma kebetulan saja mungkin perampok itu lagi mabuk.”Topik dari aku sudah selesai, sekarang berganti
Read more

Bab 18: SMS

Bab 18: SMS Pagi yang cerah. Walaupun aku tidak bisa bangun subuh, tapi aku tidak kesiangan. Kuawali hari ini dengan sebuah semangat baru. Semangat yang mekar dari berita yang dibawa Bondan dan Wisnu ke marin.Sebenarnya bukan pagi yang cerah, tapi pagi yang putih. Tak ada hujan. Artinya, asap hasil kebakaran hutan ada di mana-mana, semakin merajalela.Setelah semalaman kehilangan panas dan mendapatkan kembali bobotnya, pagi seperti ini asap menggantung di pucuk-pucuk daun, atap rumah, bahkan rerumputan.Penampakannya seperti kabut yang mencengkeram seluruh penjuru kota. Alangkah menderitanya orang-orang yang menderita ISPA karena asap. Dan mungkin, mengingat batuknya sejak hampir sebulan lalu salah satunya adalah Pak Latif.Ah, kasihan lelaki pemulung itu, batinku.Ketika aku berjalan menyusuri gang, belum tampak kegiatan rutin pagi hari yang biasa kulihat dari Pak Latif, yaitu menyiapkan gerobaknya. Pintu gubuknya se
Read more

Bab 19: Nasihat Saudara

Bab 19: Nasihat Saudara Aku masih memikirkan SMS Ucon ketika menyusuri gang rumah. Menjadi diri sendiri itu susah? Bagaimana bisa begitu? Entahlah.Yang kutahu hanya, banyak orang terganggu jiwanya karena kehilangan dirinya sendiri. Dan kuharap, karena obsesinya menulis Ucon tidak sampai gila.Suara tangis menghentikan langkahku di depan gubuk Pak Latif. Kulihat Razak dan Alim sedang bermain mobil-mobilan menggunakan potongan balok. Di ayunan bawah pohon belimbing itu, ada Idah yang sedang menggendong Ifah, adiknya yang bungsu.Ia sedang gelisah. Rupanya dari mulut Ifah itulah suara tangis keluar. Pak Latif dan Bu Latif tidak kulihat di antara mereka. Gerobaknya juga tidak tampak. Perlahan kuhampiri mereka.“Kakak, kakak,” sambut Razak dan Alim, berebut memeluk kakiku.Aku bermain-main sebentar dengan mereka berdua. Aku berlagak menjadi penjahat dan mereka menjadi jagoannya. Berduel pura-pura.Ketika mereka&m
Read more

Bab 20: Suaranya Bergetar, Serak dan Nestapa

Bab 20: Suaranya Bergetar, Serak dan Nestapa “Fat, kamu sudah di rumah?”Cepat saja aku membalas.“Belum.”Aku bohong? Biar saja, pikirku.Aku pun mempercepat langkah menuju rumah. Aku menjadi bersemangat karena teringat besok aku akan dijemput Bondan dan Wisnu untuk menemui Pak Josep.Aku melihat Uni Fitri menggendong Keysha di beranda rumahnya. Menggunakan kain jarit yang diselempangkan ke bahu ia meninabobokan putrinya itu dengan mendendangkan lagu Hari Rayo Indak Bapitih.Lagu terkenal dari Ocu, Melayu Kampar itu menceritakan kemiskinan sebuah keluarga yang di saat lebaran tidak mempunyai pitih alias uang. Aku suka sekali lagu itu. Selain alunan nadanya yang rancak, juga vokal seorang ayah dan anak yang menyentuh dalam lagu itu, terlebih karena memotret epidemi abadi negeri ini, yakni kemiskinan.“Bang Idris sudah pulang, Ni?” Sapaku pada Uni Fitri.
Read more
PREV
123456
...
24
DMCA.com Protection Status