Bab 17: Kebingungan Ucon
Ucon menghentikan kunyahannnya, lalu menerawang langit-langit kamarku. Ia mengunyah lagi, tapi kemudian berhenti lagi. Matanya melirik kanan kiri seperti ada yang lain dengan indera perasanya.
“Aneh,” katanya sembari lanjutkan mengunyah.
“Kenapa?”
“Ikan asin yang pertama tadi enak. Tapi yang ini, kok pahit ya?”
“Hahahaha,“ aku tertawa. Berarti itu ikan asinku yang gosong tadi.
Setelah makan malam, aku dan Ucon berbincang-bincang dengan begitu serunya. Aku menceritakan pada sahabatku ini tentang tawaran kerja yang kudapat dari Bondan dan Wisnu, juga hal-hal yang terkait dengan itu.
“Jadi, kamu bisa beladiri, Fat?”
Aku berdecak. “Ck, yah, sedikit lah, itu pun dulu. Kalau masalah Mira itu kan kamu sudah tahu, cuma kebetulan saja mungkin perampok itu lagi mabuk.”
Topik dari aku sudah selesai, sekarang berganti
Bab 18: SMSPagi yang cerah. Walaupun aku tidak bisa bangun subuh, tapi aku tidak kesiangan. Kuawali hari ini dengan sebuah semangat baru. Semangat yang mekar dari berita yang dibawa Bondan dan Wisnu ke marin.Sebenarnya bukan pagi yang cerah, tapi pagi yang putih. Tak ada hujan. Artinya, asap hasil kebakaran hutan ada di mana-mana, semakin merajalela.Setelah semalaman kehilangan panas dan mendapatkan kembali bobotnya, pagi seperti ini asap menggantung di pucuk-pucuk daun, atap rumah, bahkan rerumputan.Penampakannya seperti kabut yang mencengkeram seluruh penjuru kota. Alangkah menderitanya orang-orang yang menderita ISPA karena asap. Dan mungkin, mengingat batuknya sejak hampir sebulan lalu salah satunya adalah Pak Latif.Ah, kasihan lelaki pemulung itu, batinku.Ketika aku berjalan menyusuri gang, belum tampak kegiatan rutin pagi hari yang biasa kulihat dari Pak Latif, yaitu menyiapkan gerobaknya. Pintu gubuknya se
Bab 19: Nasihat SaudaraAku masih memikirkan SMS Ucon ketika menyusuri gang rumah. Menjadi diri sendiri itu susah? Bagaimana bisa begitu? Entahlah.Yang kutahu hanya, banyak orang terganggu jiwanya karena kehilangan dirinya sendiri. Dan kuharap, karena obsesinya menulis Ucon tidak sampai gila.Suara tangis menghentikan langkahku di depan gubuk Pak Latif. Kulihat Razak dan Alim sedang bermain mobil-mobilan menggunakan potongan balok. Di ayunan bawah pohon belimbing itu, ada Idah yang sedang menggendong Ifah, adiknya yang bungsu.Ia sedang gelisah. Rupanya dari mulut Ifah itulah suara tangis keluar. Pak Latif dan Bu Latif tidak kulihat di antara mereka. Gerobaknya juga tidak tampak. Perlahan kuhampiri mereka.“Kakak, kakak,” sambut Razak dan Alim, berebut memeluk kakiku.Aku bermain-main sebentar dengan mereka berdua. Aku berlagak menjadi penjahat dan mereka menjadi jagoannya. Berduel pura-pura.Ketika mereka&m
Bab 20: Suaranya Bergetar, Serak dan Nestapa“Fat, kamu sudah di rumah?”Cepat saja aku membalas.“Belum.”Aku bohong? Biar saja, pikirku.Aku pun mempercepat langkah menuju rumah. Aku menjadi bersemangat karena teringat besok aku akan dijemput Bondan dan Wisnu untuk menemui Pak Josep.Aku melihat Uni Fitri menggendong Keysha di beranda rumahnya. Menggunakan kain jarit yang diselempangkan ke bahu ia meninabobokan putrinya itu dengan mendendangkan lagu Hari Rayo Indak Bapitih.Lagu terkenal dari Ocu, Melayu Kampar itu menceritakan kemiskinan sebuah keluarga yang di saat lebaran tidak mempunyai pitih alias uang. Aku suka sekali lagu itu. Selain alunan nadanya yang rancak, juga vokal seorang ayah dan anak yang menyentuh dalam lagu itu, terlebih karena memotret epidemi abadi negeri ini, yakni kemiskinan.“Bang Idris sudah pulang, Ni?” Sapaku pada Uni Fitri.
Bab 21: Gigi TigaSekonyong-konyong, Ucon menepikan sepeda motornya, keluar dari aspal dan berhenti di bawah pohon mahoni peneduh jalan.Cepat ia mematikan mesin, menurunkan tuas stander, bertolak pinggang menghadapku, dan menatapku tajam.Aku yang masih duduk di jok motornya tak tahu harus bagaimana menerjemahkan tatapan Ucon itu.Segala jenis kendaraan berlalu lalang tak jauh di samping kami, menyemarakkan jalan Sukarno Hatta dengan lampu-lampunya. Sesekali lampu kendaraan itu menerangi wajah Ucon yang terus menatapku dengan tajam.“Aaaaakh!” Pekiknya tiba-tiba, seraya menepukkan tinjunya ke tangan yang lain.“Sudah sampai di situ?? Haahh?? Sudah sampai di situ??!!”Dengan ceritaku tentang Mira tadi, mungkin Ucon marah padaku. Atau mungkin kecewa, karena aku sahabatnya ini ternyata sempat tergoda juga mencicip dosa. Dia dan dan Buruak Kamba memang sama. Sama-sama menjaga diri dari perbu
Bab 22: Di Sparta PrahaSementara itu, di toko buku Sparta Praha..,“Terima kasih,” kata Jihan saat menerima karcis parkir dari petugas di dalam loket.Sebelum membawa motornya ke tempar parkir, terlebih dulu ia membetulkan jaket yang ia tutupkan ke bagian kaki yang tak tercakup roknya yang pendek dan ketat.“Tuh, kan? Ribet jadinya. Sudah aku bilang tadi pakai saja celana panjang kalau takut kulitmu kotor kena debu di jalan,” kata Ika di boncengan belakang.“Ih, kamu ini, seperti mamaku saja, suka merepet.”Selesai memarkirkan motornya pada tempat yang ditunjuk petugas parkir, Jihan meminta helm yang dipakai Ika dan menguncinya pada motor bersamaan dengan helm yang tadi dipakainya.Jihan mematut-matut diri sebentaar di depan kaca spion untuk membetulkan rambutnya. Menyusul kemudian Ika yang membetulkan jilbabnya pula.“Yuk.” Jihan menarik tangan Ika sa
Bab 23: Challenge 40 Hari“Berapa?” Tanya Ucon pada waxria itu.“Mau short atau long, Bang?” Sahut seorang waxria genit. Mereka berdua lantas mendekati kami.“Kalau short?” Tanya Ucon lagi.Ia sengaja tidak mematikan mesin motor. Sementara aku semakin panik ketika seorang waxria berpostur kecil menjawil daguku.“Lima puluh ribu saja, Bang.”“Bah, mahal sekali!”“Ada diskon kok, Bang. Hi..hi..hi..,”Dalam hati aku menyumpahi Ucon. Dasar, santri kesasar. Ia masih belum berhenti bertransaksi.“Berapa diskonnya?”“Lima puluh persen, tapi untuk Abang yang di belakang ini..” waxria kecil kembali menjawil daguku, “Gratissss… hi..hi..hi..!”“Besok-besoklah ya?” Sahut Ucon enteng.“Abang-abang ini niat tidak sih mau make’ &
Bab 24:Tentang Surat Surat? Surat apa? Dalam hati aku bertanya-tanya.Aku memang tidak pernah menerima surat apa pun dari Leony. Oh ya, mungkin ia salah kirim SMS, pikirku. Maka kubalas;“Leony, kamu salah kirim sms ya?”Balasannya segera masuk; “Gak! Aku kirim sms ke Muhammad Fatih, dan aku bertanya tentang surat!’”Kembali kukernyitkan kening.“Surat apa?” Balasku cepat.“Surat yang aku titip lewat Faisal!”“Gak ada tuh.”“Jadi, selama ini kamu tak pernah dapat surat yang aku titip lewat Faisal..??”“Gak ada.”Aku semakin penasaran dengan SMS-SMS Leony ini. Tanda tanya dalam kepalaku semakin membesar. Aku berusaha mencerna hal-hal seputar surat, Faisal, titip menitip dan kemungkinan kesalahan yang aku lakukan dalam bekerja.Faisal si room boy itu dititipi su
Bab 25: Tes Pertama “Jadi, kapan saya bisa bekerja, Pak?”“Eiiitt..! Jangan panggil saya ‘bapak’.. no.. no.. no..!” potongnya. Dua jarinya mewakili kepalanya menggeleng.“Jadi, saya harus panggil., “ Aku sengaja berhenti.“Panggil saja Josep. Pakai ‘J”, bukan ‘Y’..”Aku tersenyum sungkan. “Saya kira itu tidak pantas, Pak.”“Oke, kalau begitu. Sebagai calon atasanmu, saya perintahkan kamu agar tidak memanggil saya dengan ‘bapak’, dan sebagai orang yang nanti akan sangat akrab denganmu, saya mohon jangan dipanggil ‘bapak’. Setuju?”Aku mengangguk, kemudian kuulangi lagi pertanyaanku.“Jadi, kapan saya bisa bekerja, Jos?”“Nah, bagus itu! ‘Jos’.. Jee.. Oo.. eS… mmhm.. I like it.. “Aku kiku
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.