Home / Pernikahan / Istri Manis sang Pewaris / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Istri Manis sang Pewaris: Chapter 81 - Chapter 90

252 Chapters

81. Ke Tempat yang Akan Membuatmu Bahagia

“Aku pernah menamparmu?!”“Hm. Pernah.” Davin tersenyum samar, ia duduk di kursi dan menatap Jingga yang sudah duduk di hadapannya. “Kamu menamparku sangat keras, dan rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang.”Jingga ternganga mendengarnya. Keningnya berkerut, berusaha menggali memori tentang kapan tepatnya ia menampar Davin. Namun Jingga yakin sekali, ia tidak pernah melakukannya.“Dave, apa kamu yakin aku pernah menamparmu? Sungguh?” tanya Jingga, memastikan.“Ya. Aku nggak berbohong.” Davin mengangguk penuh keyakinan.“Nggak mungkin. Aku sama sekali nggak ingat aku pernah melakukannya.” Lalu Jingga menatap Davin dengan tatapan serius, menatap bola matanya dalam-dalam, yang membuat pipi Davin memerah.“Kenapa menatapku seperti itu?”“Kapan dan di mana aku menamparmu? Tolong ingatkan aku.”Helaan napas Davin terdengar panjang, lalu pria itu terkekeh dan memajukan wajahnya ke depan Jingga. Diraihnya satu tangan wanita itu dan ia menghadiahkan kecupan pada punggung tangan. Davin meli
Read more

82. Tawa Bahagia

Davin menghentikan laju kendaraannya di bawah sebuah pohon yang berdiri kokoh dan rindang. Ia membiarkan mesin tetap menyala, lalu melepas sabuk pengaman dan menolehkan kepalanya ke kiri.Wanita itu sedang tidur, sangat nyenyak. Entah sejak kapan dia tertidur, tahu-tahu saat Davin menoleh sepuluh menit yang lalu kelopak matanya yang berbulu lentik itu sudah terpejam.Davin tidak mau mengganggu tidurnya. Ia menurunkan kaca mobil dan seketika aroma laut tercium. Deburan ombak terdengar mengalun lembut, menenangkan.Sambil melipat tangan kiri di belakang kepala, tangan kanan Davin sibuk dengan ponsel, lalu teleponnya terhubung dengan Arum di seberang sana.“Sore ini saya dan Jingga akan pulang terlambat, Bibik jemput Oliver di daycare,” ujar Davin seraya menempelkan ponsel di telinga, sikunya bertumpu pada pintu yang kacanya terbuka. “Ya, pastikan dia makan dengan benar dan jaga dia baik-baik. Segera kabari saya kalau ada apa-apa.”Setelah Davin memutus sambungan telepon, ia menoleh dan
Read more

83. Untuk Ke Pesta

Jingga dan Davin saling bertukar pandangan saat keduanya baru menyadari baju mereka basah kuyup.Dua pasang mata itu sama-sama mengerjap, seolah-olah mereka memiliki pikiran yang sama saat ini.“Dave, kamu bawa baju ganti?”“Kamu nggak bawa baju ganti, ‘kan?”Dua pertanyaan itu dilontarkan dalam waktu bersamaan. Lantas, keduanya sama-sama tertawa.“Aku nggak bawa baju ganti,” jawab Jingga lebih dulu. “Lagi pula, gimana ceritanya aku bawa baju, kamu tahu sendiri aku berangkat dari studio dan cuma bawa tas kecil doang.” Jingga menunjuk ke arah mobil yang teronggok membisu di samping mereka.Davin menghela napas panjang seraya memperhatikan tubuh Jingga yang mulai menggigil. Angin yang berembus kencang terasa menembus tulang.Davin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mustahil ia bisa menemukan penjual pakaian di sekitar mereka. Yang ada hanyalah warung-warung penjual makanan dan minuman.“Kalau begitu, kamu pakai bajuku saja. Aku bawa baju ganti di mobil. Tunggu sebentar,” uca
Read more

84. Balasan Davin

Davin sedang menatap berkas di hadapannya dengan pandangan dingin saat pintu ruangannya diketuk. Lalu disusul suara Vincent setelahnya.“Pak Davin, Reynaldi Wijaya sudah datang.”“Bawa dia masuk!”Suara Davin terdengar membahana, membuat wajah Rey di luar sana semakin pucat dan jantungnya berdebar-debar ngeri.Rey masuk. Itu pertama kalinya ia menginjakkan kaki di ruangan sang CEO. Ekspresi Davin yang datar dengan tatapannya yang menusuk, adalah pemandangan pertama yang Rey dapati saat ia berdiri di depan meja Davin dengan kaki sedikit gemetaran.Davin menunduk, membuka lembaran berkas di hadapannya. Tanpa menatap Rey lagi, Davin bertanya dengan suara beratnya, “Kamu tahu kenapa saya menyuruhmu datang ke sini?”Rey menelan saliva. Ada dua kemungkinan yang ia pikirkan tentang apa alasan ia dipanggil kemari.Pertama, Davin akan membahas apa yang terjadi di restoran, kemarin, lalu meminta penjelasan atas sikap Pelangi dan Rey yang keterlaluan kepada Jingga.Dan yang kedua, karena Davin t
Read more

85. Pusat Perhatian

Jingga meremas clutch dalam genggamannya, ia merasa gugup dan salah tingkah. Lalu, ia memalingkan wajahnya ke arah lain, selain kepada Davin yang sejak tadi tak berhenti memandanginya.“Jangan terus-terusan menatapku seperti itu,” gumam Jingga, berdehem. “Aku jadi merasa aku aneh dan jelek berpenampilan seperti ini.”Tangan Davin terulur, menyentuh pipi Jingga dengan lembut. “Kamu cantik,” bisiknya, yang membuat pipi Jingga seketika merona. “Aku jadi berpikir, lebih baik kita pulang lagi sekarang. Kita nggak perlu menghadiri pesta malam ini.”Mata Jingga sedikit terbelalak mendengarnya. Ia menatap pintu ballroom yang terbuka dan banyak orang hilir mudik di sana, lalu menatap wajah Davin kembali. “Kenapa kita pulang lagi? Sekarang kita tinggal selangkah lagi untuk sampai di lokasi pesta, Dave.”Rahang Davin mengeras. Ia merangkul pinggang Jingga dan berbisik di dekat telinganya, “Dalam urusan uang, aku memang dermawan,” akunya dengan jumawa. “Tapi jika itu kamu, aku sangat pelit dan ng
Read more

86. Membalas Dengan Senyuman

Jingga merasa tidak nyaman, tatapan orang-orang terasa aneh untuknya. Walaupun hanya sekali melihat, tapi Jingga tahu tatapan mereka bukan memandang rendah atau mencemooh dirinya—seperti yang selalu ia dapatkan di masa lalu.Jingga menarik napas sepelan mungkin, ia merasa sedikit lebih nyaman saat genggaman tangan Davin mengerat. Jingga lantas mendongak, menatap suaminya yang sedang asyik mengobrol dengan seorang pria paruh baya.Jingga mengagumi bagaimana cara Davin bicara yang penuh karisma. Sesekali pria itu tertawa, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian memberikan argumen dengan bahasa tubuh yang berwibawa.Ternyata seperti ini saat Davin berhadapan dengan orang-orang dari kalangan para pengusaha, pikir Jingga.Sambil mengobrol, Davin sama sekali tidak melepaskan tangan Jingga dari genggamannya.“Aku tahu kamu mengagumiku,” bisik Davin di dekat telinga Jingga, sesaat setelah pria paruh baya itu pergi dari hadapan mereka. Keduanya masih berdiri sambil memandang ke arah MC y
Read more

87. Riuh

Jingga keluar dari toilet. Pada saat yang sama, ia berpapasan dengan Chelsea, yang juga baru keluar dari salah satu bilik toilet tersebut.Jingga sama sekali tidak memiliki ide untuk memulai pembicaraan, jadi ia hanya diam seraya mencuci tangannya di wastafel. Chelsea juga melakukan hal yang sama di sampingnya.Selesai mencuci tangan, Jingga menganggukkan sedikit kepalanya kepada Chelsea sebagai isyarat ia akan pergi lebih dulu. Chelsea hanya tersenyum dan mengangguk.Kini Jingga berjalan di selasar, tapi langkahnya seketika terhenti saat Chelsea menyusul dan berbicara kepadanya.“Bisa kita bicara sebentar, Jingga?”Jingga memutar tubuh, berhadapan dengan wanita bergaun merah itu. “Kamu ingin berbicara denganku?”“Iya.” Chelsea melihat ke sekeliling. “Tapi di sini terlalu bising. Gimana kalau kita menjauh sebentar dari keramaian?”Sejujurnya Jingga merasa tidak nyaman jika harus berbicara hanya berdua dengan Chelsea. Namun, ia juga penasaran tentang apa yang akan Chelsea bicarakan den
Read more

88. Mengabulkannya

Jingga terdiam saat tatapan tajam Nita tertuju padanya. Emran hanya duduk diam di salah satu kursi tunggu di depan ruangan UGD.“Padahal kami sudah berbaik hati mengizinkanmu menginjakkan kaki di acara kami, tapi kamu….” Napas Nita memburu emosi. “Kamu malah mengacaukannya dan membuat anak saya celaka!” desis Nita dengan tajam.Jingga mengepalkan tangannya. Ia sendirian di sini, di antara orang tua dan kedua teman Chelsea. Tak ada yang bisa ia andalkan selain keberanian dirinya sendiri. Davin masih belum keluar dari ruang UGD. Mungkin saat ini, pria itu sedang menunggu Chelsea dengan khawatir.“Saya nggak mendorong Chelsea,” ucap Jingga membela diri, dengan bibir sedikit gemetar. Ia yang dikelilingi empat orang itu, merasa tidak nyaman. “Kami memang sedang mengobrol, lalu Chelsea jatuh, tapi saya nggak sempat menolong dia. Saya nggak mendorongnya.”“Kamu pikir, saya percaya dengan ucapanmu?” Nita menunjuk kedua teman Chelsea. “Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri kalau kam
Read more

89. Gosip

Jingga keluar dari kamar sambil menggendong Oliver. Keduanya telah siap untuk pergi ke daycare dan berangkat bekerja.Tepat setelah Jingga menutup pintu di belakangnya, Davin keluar dari kamar utama. Mereka bersitatap selama beberapa saat. Sebelum akhirnya Jingga membuang muka dan pergi lebih dulu ke meja makan.Ya, setelah kejadian Sabtu malam itu, Jingga tidak menempati kamar utama. Ia bersama Oliver menginap di kamar yang dulu mereka tempati. Suasana hati Jingga sedang buruk dan ia enggan berkomunikasi dengan Davin. Dan selama dua malam terakhir, Jingga tidak bisa tidur. Kejadian itu benar-benar mengusik pikirannya.Davin mendekati Jingga dan menatap matanya yang terlihat seperti kurang tidur. “Selamat pagi,” sapanya, kaku. “Tidurmu nyenyak tanpaku?”“Tentu saja,” jawab Jingga singkat. Ia sama sekali tidak menatap Davin. Ia mendudukkan Oliver di baby chair lalu mengambil sarapan untuk putranya itu.Davin mengembuskan napas panjang. Ditariknya salah satu kursi di dekat Jingga dan me
Read more

90. Dia Istri Kamu

Mobil Davin berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya rumah khas Eropa. Ia turun dan disambut seorang pelayan berseragam. Kemudian pelayan rumah tangga itu membawa Davin masuk. Semua penghuni rumah ini sudah tahu siapa Davin dan apa hubungannya dengan sang majikan.Davin menunggu di ruang tamu beberapa saat selagi sang pelayan mengonfirmasi kehadirannya pada tuan rumah.“Pak Davin, mari ikut saya,” ucap wanita itu dan membawa Davin menuju sebuah ruangan keluarga.Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling dan ia melihat Chelsea sedang tidur setengah duduk di sofabed. Wanita itu seketika tersenyum cerah saat melihat kehadiran Davin.“Dave?” Chelsea segera menutup buku saat Davin menghampirinya. “Kok tumben pagi-pagi ke sini? Ada apa? Oh, maaf aku nggak bisa menemuimu di ruang tamu.”“Aku mengerti.” Davin mengangguk samar. Ia duduk di single sofa dan menatap pergelangan tangan kiri dan kaki kiri Chelsea yang sama-sama dibebat, akibat insiden yang terjadi malam itu. “Bagaimana tangan d
Read more
PREV
1
...
7891011
...
26
DMCA.com Protection Status