Semua Bab Panglima Kalamantra : Bab 81 - Bab 90

164 Bab

81: Penjara Suku Banyu

Keiko berdiri di luar jeruji penjara. Di belakangnya ada Anila yang menodongkan sebilah belati ke pangkal leher perempuan Yanbian itu. Wajah Keiko memucat dan sangat ketakutan. “Buka!” sentak Anila pada Keiko. Perempuan Yanbian itu mendesis dan tak bergerak. Anila menekan ujung belatinya ke leher kanan Keiko hingga menggores kulit putihnya dan merembeskan sedikit darah pekat. Keiko mengernyit dan terpaksa berjalan mendekati jeruji. Dari dalam qipaonya, dia mengeluarkan anak kunci yang dibuat khusus dan berukuran sangat kecil. Pintu jeruji terbuka. Anila menendang Keiko hingga tersungkur di dalam sel. Dia terlutut di depan kaki Silver yang juga masih merasa kesakitan di kepalanya. “Lepaskan belenggunya!” Keiko dan Silver menoleh pada Anila. Mereka pikir, Anila datang untuk Xavier, nyatanya tidak. Keiko tak punya pilihan lain. Dia melepa
Baca selengkapnya

82: Ikrar Setia Panglima Perang Bondowoso

“Hentikan, Ayah! Jangan menimbulkan perang di sini. Warga suku Banyu sudah cukup miskin dan menderita, sedang kalian hidup berfoya-foya di puri ini,” teriak Xavier pada ketua suku Banyu. “Aku akan melupakan segala perbuatan burukmu dalam hidupku selama menderita di Selter Agung. Tapi, aku tak akan berdiam diri jika kau mengorbankan rakyat kota ini. Serahkan kepemimpinanmu padaku!” Para panglima di bawah kepemimpinan Bayu Sagara semakin marah. Tapi, Bayu Sagara sendiri terbahak-bahak. “Kau benar-benar anak yang bodoh. Aku mengirimmu ke Selter Agung agar kau bisa lebih kuat dan mampu memimpin suku bahkan negeri ini. Tapi, sekarang kau kembali sendirian dan melakukan pemberontakan?”cibir Bayu Sagara. “Pasukan, bunuh dia! Eksekusi di depan semua rakyat kota ini agar mereka belajar untuk tidak menjadi bodoh seperi anakku!” Xavier mengeluarkan cakar-cakarnya. “Hentikan, Aya
Baca selengkapnya

83: Kultivator Sihir Hitam

Rion kembali ke lembah kematian dengan membawa inti rubah emas yang sudah menghitam. Hutan Sonyu di malam hari terlihat lebih terang dari sebelum-sebelumnya setelah Rion menyerap sebagian energi gelapnya. Akan tetapi, kabut hitam tipis masih menyelimuti. Saat dia memeriksa keadaan di sekitar lembah kematian dari udara bersama elang pancasona, kabut hitam mulai menebal lagi secara perlahan. “Kabut hitam ini tak akan berhenti dan terus bermunculan jika lubangnya tidak ditutup.” Kekhawatiran Rion hanya dijawab kaokan oleh elang besar yang ditungganginya. Elang itu terbang rendah dan menurunkan Rion di dekat lembah kematian. Di sisi lain lembah, ada seseorang yang berusaha memurnikan kabut-kabut itu. “Maitreya?” Rion menyapa ragu-ragu. Maitreya terbatuk dan jatuh bersimpuh. Dia memuntahkan darah pekat hingga menodai gaun putihnya. Rion berlari ingin membantu, tapi ahirnya dia hany
Baca selengkapnya

84: Haridra Sang Petarung

Prang! Setumpuk piring pecah dan makanan di atasnya berserakan ke lantai. Seluruh pengunjung kedai hanya melirik ke sumber keributan. Mereka tak berani menatap pria yang membuat kekacauan itu yang hanya berdiri mematung dengan wajah tegang dan beku. Tubuhnya kekar berotot dengan kulit sewarna zaitun. Rambutnya putih keperakan dan dipangkas pendek, terlihat kontras dengan kulitnya. Pakaiannya sedikit nyentrik, jaket kulit hitam dengan banyak hiasan belt di bagian lengan. Bagian dadanya terbuka sebagian berpadu dengan celana jin hitam ketat. Sepatu botnya setinggi betis. Pada tangan kanannya terdapat sarung tangan aneh serupa besi berwarna merah. Tangan kirinya hanya dibalut sarung tangan kulit yang menampakkan dua ruas buku-buku jemarinya. Pria menakutkan itu adalah pelayan kedai. Dia baru keluar dari dapur untuk menyajikan makanan bagi pelanggan. Di tangannya, dia membawa banyak piring bertumpuk-tumpuk. Saat berjalan men
Baca selengkapnya

85: Penguntit

“Siapa pun, tolong aku!” jerit Aoi dalam hati. Dia selalu lemah setiap kali berhadapan dengan wanita. Akalnya ingin menolak, tapi kesopanan menuntut berlaku sebaliknya. Dia menjadi kikuk. Perempuan berkimono merah itu membisikkan sesuatu di telinga Aoi dalam bahasa Jepang yang baik dan benar. Aoi sedikit terperanjat. Pada umumnya, para samurai generasi kedua dan ketiga yang tinggal di negeri Jawa Dwipa, mereka sudah tak menggunakan bahasa Jepang murni. Perempuan itu melepas satu persatu kimono di tubuhnya. Terakhir, dia menarik tusuk konde di rambutnya hingga rambut hitam panjang itu tergerai sempurna menutupi dada dan bagian belakang tubuhnya. Aoi memejamkan mata. Dia bahkan berusaha berpaling. Tapi, perempuan itu bergayut manja di tubuhnya dan membisikkan sesuatu. “Memalingkan wajah dari perempuan itu perbuatan yang tidak sopan, Tuan Ronin!” “Si-siapa kau?”
Baca selengkapnya

86: Panglima dari Barat dan Timur

“Siapa mereka?” desak Aoi saat berdiri saling membelakangi dengan Haridra. “Entah apa aku harus menyebutnya? Para warok, pendekar, atau bandit?” jawab Haridra asal. “Apa maksudmu dengan semua itu?” Mereka berdua berdiskusi sambil menghadapi musuh masing-masing. Aoi dengan jurus hihona ittou-nya dengan mudah menjatuhkan sejumlah warok dalam pakaian hitam. Haridra dengan kekuatan tinju mautnya sekali pukul membuat lawannya tak bergerak lagi. Tangan kanan Haridra yang terbuat dari metal berwarna merah terdengar bergemeretak saat dia menggerak-gerakkan jarinya. Dia menyerang dengan gaya bertinju menggunakan tangan kosong. Aoi menyadari bahwa Haridra kebal senjata. Para warok yang Haridra sebutkan, berulang kali menyabetkan pedang, tapi dia tak terluka sama sekali. “Orang sakti yang lain lagi,” keluh Aoi sambil menghunuskan pedang pada l
Baca selengkapnya

87: Kampung Reog di Kota Porog

Perayaan gerbeg suro di Kota Porog dilakukan dengan sangat meriah, bahkan jauh lebih meriah dibandingkan dengan festival air di Kota Banyu. Para warga Kota Porog turun ke jalan-jalan melakukan pesta dengan membagikan makanan dan minuman secara cuma-cuma kepada para pelancong dan pengembara. “I-ni seheti su-ha?” Silver berbicara dengan mulut penuh makanan. Di tangan kanan dan kirinya membawa dua kantung berisi makanan beraneka jenis. Wajah Karuna memerah menahan kesal. “Jangan berbicara dengan mulut penuh makanan!” Silver menelannya dan nyengir. “Di sini seperti surga makanan. Rakyatnya juga makmur dan sangat ramah. Aku ingin tinggal di sini lebih lama.” Karuna tampak masih gelisah. Wajahnya terus menegang dengan sepasang alis yang mengerut. Dia terus memegangi tangan kanannya yang terasa berdenyut. Rion sendiri sudah tak terlihat. Pemuda itu pergi sendiri begitu me
Baca selengkapnya

88: Menyerang Puri Api

Suku api datang dengan berkuda dan membakar semua rumah-rumah yang ada di sepanjang perjalanan mereka. Rion dan Haridra berdiri di tengah jalan menyaksikan iring-iringan para penari reog, warok, dan gemblaknya yang tercerai-berai. Tak sedikit warga yang terluka. Lebih banyak lagi rumah yang terbakar. Asap pekat memenuhi langit. Kobaran api memerah dan berkeretak saat melahap bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu. Di sisi lain datang pasukan warok dalam pakaian hitam dan berudeng batik merah. Mereka berkuda dan berjalan kaki. Wajah mereka tak kalah kejam dan matanya dipenuhi dengan kebencian. Di antara kepulan asap pekat, terdengar suara desingan dan dentingan logam yang saling beradu. Rion menajamkan mata untuk memusatkan penglihatan. Dia mendapati sesosok pria berkumis baplang dalam pesak dan celana hitam. Pria itu tengah adu pedang dengan seorang pria lain  yang bertopeng iblis merah. “Draken!” gum
Baca selengkapnya

89: Catto sang Jenderal Macan Kuning

Rion dan ketiga panglimanya memimpin pasukan warok porog pergi ke Selter Agung. Dengan bantuan dan petunjuk dari Kamiya Aoi, mereka berhasil mencapai pusat Selter Agung tanpa banyak kesulitan. Jalan-jalan yang mereka lalui, membawa kembali ingatan Rion saat pertama kali terbangun pasca jatuh dari tebing. Dia mengulang kembali satu persatu kenangan dan jalan panjang yang sudah dia tempuh untuk menemukan ketujuh panglima Kalamantra dan membebaskan dirinya dari kutukan sebagai penyihir merah. “Benarkah aku menginginkannya? Benarkah aku ingin lepas dari ajian kutukan hidup abadi sebagai Penyihir Merah?” batinnya bergejolak. “Jika aku berhasil dengan misiku, apa aku siap akan kenyataan siapa diriku yang sebenarnya? Siapa diriku di masa lalu yang ingatan itu terhapus?” Pertentangan dan pergolakan batin terus berkecamuk di dalam kepalanya sepanjang memasuki kawasan perkampungan samurai sebelum menuju benteng Selter Agung. Be
Baca selengkapnya

90: Tidur Panjang Panglima Rawarontek

“Karuna!” teriak Rion yang dijawab Karuna dengan ayunan kaparanya. Sulur-sulur asap hitam dari tubuh Karuna memanjang dengan cepat dan membelit Catto—Jenderal Macan Kuning yang tangannya koyak oleh sabetan kapara. Tubuh mungil remaja tanggung itu menggeliat dan meronta. Di bawah belitan racun karang, tubuhnya malah membesar dan mengeluarkan cakar-cakar yang tajam dan panjang. Catto berhasil melepas belitan racun karang dan balas menerjang Karuna, tapi Haridra mengadangnya dengan tinju maut. Tubuh raksasa Catto sedikit terhuyung. Haridra terkejut karena tinjunya yang mematikan hanya memberikan efek yang tak terlalu besar bagi tubuh Catto. “Jangan meremehkan anak kecil, Haridra,” tutur Rion yang sedari tadi terlihat tak tenang. “Kemarahan hanya akan membuatnya semakin membesar. Jiwa kanak-kanaknya tertelan oleh kegelapan.” Catto bangkit dan menyerang lagi. Silv
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
17
DMCA.com Protection Status