Beranda / Pendekar / Panglima Kalamantra / Bab 101 - Bab 110

Semua Bab Panglima Kalamantra : Bab 101 - Bab 110

164 Bab

SERI B: DARATAN BARU

PROLOG Tanah di sepanjang jalan setapak hutan Suci terasa bergetar dengan debu-debu kekuningan mulai berterbangan. Burung-burung yang tengah bertengger di sekitaran lebat hutan Suci jadi terusik dan berterbangan. Suara kaokan dan kepakan sayap mereka menggema ke hutan terdalam. Suara bekantan-bekantan jantan menguak panjang saling bersahutan di kejauhan. Entakan berpasang-pasang kaki kuda membuat jalanan setapak kering itu menjadi diselimuti debu. Di punggung kuda-kuda itu terdapat sejumlah pria dalam balutan penutup wajah. Masing-masing dari mereka membawa senjata beraneka rupa. Satu penunggang kuda terdepan berhenti tepat di persimpangan jalan setapak. Kuda-kuda di belakangnya ikut berhenti dan meringkik. Kedua kaki depan mereka terangkat tinggi. Pria terdepan mengangkat satu tangan memberi perintah agar pasukan di belakangnya tenang. Pria itu menelengkan kepala mendengarkan dengan saksama sua
Baca selengkapnya

1: Butiran Salju

Aroma wangi dupa dari pohon gaharu mengusik indera penciuman Rion. Dia tersengal dan tersedak oleh udara wangi yang tiba-tiba membanjiri paru-paru dan otaknya. Matanya berkunang-kunang. Dia menatap langit-langit dengan lampu gas tergantung di sana. “Malam?” bisiknya. Rion terduduk dengan cepat sambil memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. “Di mana aku?” Dia gelagapan. Pemuda itu tak mencium aroma asin air laut lagi. Dia tatap tubuhnya yang terbalut kimono dan selimut kapas super tebal. Seketika tubuhnya menggigil hebat. Dia tak pernah merasa sedingin ini. Perapian di dekat kasur hangatnya masih menyala. Arang penghangat air juga masih menyala. Sraak! Pintu geser di sudut ruangan terbuka. Seorang perempuan duduk di luar pintu sambil menyorongkan sebaki makanan. Perempuan itu terlihat sedikit aneh. Wajahnya pucat dengan rambut yang dibentuk seperti gelungan super besar.
Baca selengkapnya

2: Tujuh Gadis Shinsengumi

“Kenapa kau tidak membunuh mereka? Mereka melihat semuanya!” protes Saito sambil mengejar langkah Hiji yang berjalan cepat di depannya. “Kita akan putuskan nanti saat kita pulang,” jawab Hiji dengan datar dan terus berjalan. Saito berdiri di tengah jalan di bawah guyuran butiran salju. Dia tatap punggung Hiji yang berbalut haori berwarna biru muda dengan aksen putih. Rambut hitam panjangnya dikuncir ekor kuda dengan ikat kepala putih. Gadis itu selalu berwajah dingin dan bersikap praktis. “Aku harap kau akan membuat keputusan yang tepat, Hiji-san,” bisik Saito pada dirinya sendiri. Dada gadis itu naik turun dengan napas yang beruap. Matahari pagi berkilauan saat menimpa permukaan salju yang putih. Burung-burung berkicau di dahan-dahan pohon yang membeku. Atap bangunan, tembok, pagar, dan seluruh permukaan tanah berselimutkan salju putih. Bruuk!
Baca selengkapnya

3: Hukuman untuk Para Pria

“Jangan bicara sembarangan!” tegur Isami pada anak buahnya. “Pejabat negara tidak bisa membunuh orang yang tidak bersalah seperti itu!” Dengan wajah tenang dan senyum masih terkembang di bibirnya, Okita menjawab, “Jangan berwajah seperti itu, Isami. Aku hanya bercanda.” Rion tidak merasakan keuntungan apa pun jika membuat keributan atau bermusuhan dengan para gadis-gadis shinsengumi itu. Dia mengulurkan tangan ke tengkuk Silver dan mendorongnya agar menunduk bersamaan. “Kami mohon, kami tak akan mengatakan apa pun! Kami... Kami hanya orang asing yang tersesat di sini!” pinta Rion. Silver kesal karena dipaksa menunduk di hadapan para gadis aneh itu. Tapi, dia tak bisa melawan karena tak ingin membuat suasana menjadi semakin buruk. Dia sama sekali tak memahami arah pembicaraan Rion dan para gadis yang ada di sana. “Sudah cukup! Bawa mereka pergi!&rd
Baca selengkapnya

4: Harem

“Kalian!” teriak Isami. “Tentu saja aku tak akan menginginkan mereka telanjang. Tutup kembali pakaianmu, Pemuda!” pintanya pada Silver yang baru membuka bagian atas kimononya. “Isami, tolong tenanglah!” bujuk si gadis berkacamata. Dia menatap pada Silver. “Kalian bilang datang dari negeri Jawa Dwipa? Beberapa minggu yang lalu aku mendengar kabar ada sekelompok pendatang juga dari negeri asing. Mereka singgah di utara Tokyo dan membuat keributan di sana.” Rion sangat antusias. “Apa kau tahu siapa mereka?” Rion sangat berharap jika itu adalah salah satu anggota dari Mahapanca atau anak buah Raja Ragnart. Jika memang mereka juga singgah di Tokyo, maka akan ada kesempatan bagi Rion dan Silver untuk mengejar Nara dengan lebih cepat. “Hei, seberapa banyak yang kau tahu?” tanya Saito pada Rion. “Seberapa banya
Baca selengkapnya

5: Musuh di Balik Selimut

Di sebuah gang yang sempit dan gelap, dua sosok berpakaian hitam menunggu kedatangan Okita. Rion memperhatikan dari kejauhan.“Apa mereka musuh? Atau kawan? Tapi, itu bukan urusanku, bukan?” Rion memilih mundur dan hanya mengawasi.Okita kembali ke markas. Dia berjalan melewati Rion begitu saja. Gadis itu terlihat murung sampai-sampai tak sadar Rion sudah ada di sana.“Kau baik-baik saja, Okita-san?”Gadis itu menatap Rion dengan muak dan berlari kembali ke markas shinsengumi.Silver duduk di ruang makan dikelilingi oleh gadis-gadis shinsengumi. Ada Okita si rambut sepundak yang suka melipat rambutnya ke atas, Heisu yang paling muda dengan rambut panjang sepantat, Saito gadis berambut ungu panjang yang disampirkan ke pundak, dan Shin gadis yang suka bercanda dengan dada berisi dan penuh.Sraak!Okita menggeser pintu ruang makan dan berdiri di sana dengan wajah pucat. Di tangannya ada selembar surat yang baru di
Baca selengkapnya

6: Lawan Aku!

Okita dan Silver sama-sama mendapat hukuman. Mereka harus membersihkan markas sampai ke titik debu paling kecil sekalipun. Hal itu terjadi karena baik Okita maupun Silver menolak mengakui kesalahannya. Mereka berkeras bahwa mereka tidak bersalah. Silver akhirnya mengalah dan ikut menerima hukuman meski dengan jelas Okita yang salah memasuki kamarnya saat sedang mabuk semalam. Di halaman depan, para pasukan shinsengumi yang lain terlihat sibuk. Mereka menyambut kepulangan Asami, Hiji, dan Shana yang katanya terluka. Gadis berkacamata yang menjabat sebagai ketua shinsengumi itu terlihat baik-baik saja. Dia masih menampilkan senyum hangatnya meski tangan kanan diperban dan tak bisa beraktivitas seperti biasanya. “Aku tak apa-apa. Ini bukan cedera serius.” Akan tetapi, semua orang menatap Shana dengan pandangan mengiba dan kasihan. “Aku baik-baik saja, astaga, ada apa dengan kalian? Ini
Baca selengkapnya

7: Patroli Bersama Gadis Shinsengumi

“Untuk seseorang yang tak pernah memegang pedang katana, kau cukup lumayan Rion,” puji Okita menyerahkan kembali pedang Rion yang terlempar. “Saito adalah master pedangnya sendiri. Tapi dengan begini, kami tidak perlu khawatir kau akan menghambat kami saat patroli nanti, kecuali....” Okita melirik pada Silver. “Kami berjanji tak akan merepotkan kalian,” tunduk Rion. “Baiklah, kami akan meminta izin Wakil Kapten untuk membawa kalian berpatroli pagi ini,” janji Okita. Silver dan Rion membungkuk untuk memberi hormat. “Kau sengaja bermain-main, Penyihir Merah?” sindir Silver. “Apa aku harus membunuhnya?” sentak Rion. “Itu kesempatan yang bagus untuk kabur, bukan?” “Tapi, mereka bukan musuh kita, Silver.” &l
Baca selengkapnya

8: Pembawa Pesan

Salah satu dari kelima pria itu menyerang Rion tanpa peringatan. Ruangan kedai yang sempit dan banyak bangku membuat Rion kesulitan menarik pedang dari pinggangnya. Ayunan pedang pria berjambul itu sudah melayang lebih dulu ke arah kepala Rion. Tang! Rion membuka lebar matanya dan tak berkedip sama sekali. “Dasar bodoh!” teriak Okita yang muncul di sana dan sudah menangkis serangan pedang itu untuk Rion. “Okita-san?” Rion menelan ludah. “Untuk apa pedang itu kau bawa? Sebagai pajangan?” desis Okita. Rion nyengir dan merasa kikuk. Dia merutuki diri sendiri karena tak terbiasa menggunakan pedang katana yang panjang dan berat jika dibandingkan dengan celurit. “Kau sungguh beruntung. Apa yang harus kita lakukan dengan orang-orang ini?” lirik Okita pada kelima pria berpedang di kedai.&nbs
Baca selengkapnya

9: Energi Kuat yang Asing

Rion berlari dengan terengah-engah. Dia bahkan tak bisa memanggil singanya karena celurit tak ada di tangan. Berulang dia menggeram karena kesal. “Hosh... Hosh... Pertemuan di Distrik B. Aku harus memberi tahu pasukan Hiji bahwa Distrik A hanya pengalihan. Mereka harus pergi ke Distrik B.” Di Distrik B tempat pertemuan dan penjualan senjata ilegal dilakukan, pasukan shinsengumi yang dipimpin oleh Isami dengan anggota Heisu, Okita, dan Saito sudah mulai menggerbek kedai ramen itu. Silver yang dikirim ke Distrik B untuk memberi peringatan dan bantuan, belum tiba saat Isami dan pasukannya mulai menyerang kedai ramen. Tak satu pun dari mereka yang mengira bahwa lokasi itu tengah diintai oleh pasukan yang lebih besar. Di kedai ramen ada sekitar sepuluh pria berpedang. Kelompok Isami terbelah. Isami dan Saito menghadapi sekelompok lawan di halaman. Sedangkan Okita dan Heisu menghadapi lawan di dalam kedai.&
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
910111213
...
17
DMCA.com Protection Status