All Chapters of Panglima Kalamantra : Chapter 91 - Chapter 100

164 Chapters

91: Jalan yang Dipilih Panglima Rawarontek

“Eknath!” sapa Catto yang sudah kembali menjadi remaja tanggung dengan senyum ceria. “Kau membuat Tuanku susah, Catto!” keluh Eknath. Jenderal Macan Kuning itu terlihat menyesal. Dia melemparkan tatapan tajam dan tak suka secara terang-terangan pada Rion. “Aku sudah memberinya apel agar bisa membawamu pergi, tapi dia tak tahu diri!” Rion terperangah. Dia tak mengira jika apel yang diberikan Catto adalah suap agar dia bisa merebut Eknath. Pemuda berambut biru tua yang baru muncul dari dalam gua itu berlutut di depan Rion. “Hormat dan salam saya, Eknath, untuk Penyihir Merah!” Rion terlihat ragu-ragu. “Panglima Rawarontek? “Dia memang Eknath si Panglima Rawarontek yang legendaris itu,” bisik Karuna sambil memalingkan wajah dari Eknath. “Bangkitlah, Eknath!” pinta
Read more

92: Kembali Utuh

Saat Haridra masuk ke lab bawah tanah yang berantakan dan tergenang cairan kehijauan dengan banyak serpihan kaca berserakan, diam-diam Keiko sadar dari pingsannya meski terluka parah. Eknath bangkit dari tidur panjangnya dengan tubuh telanjang. Dia melindungi Aoi yang sudah hampir mati di tangan Keiko. Pria berambut biru gelap itu mengeluarkan tombak mata satunya dari telapak tangan kanan. Keiko tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Selama di dalam inkubator, Eknath disedot energinya sampai ke titik terendah hingga dia hanya bisa terlelap. Energi yang disedot itu diserap oleh Ron untuk peremajaan tubuhnya agar selalu tampil muda. Kini, Keiko tahu Eknath selama ini hanya berpura-pura melemah. “Tapi, untuk apa dia melakukan semua itu jika bisa kapan saja pergi dari lab?” batin Keiko. Dia tak mengerti apa yang sedang dipikirkan dan direncanakan oleh sang Panglima Rawarontek ini. “Memang dari awal dia terlihat janggal. Bagaim
Read more

93: Misteri Kolam Air Panas

“Panglima Rengkah Gunung!” ujar Kamiya Aoi. Karuna dan Rion terkesiap. Haridra dan Silver kebingungan. “Kalian tahu sesuatu tentangnya? Bertahun-tahun Ron memerintahkan para pemburu Selter Agung untuk mencari dan membawanya. Akan tetapi, tak ada satu pun manusia di Jawa Dwipa yang tahu tentang legenda ini. Di dalam buku-buku tua yang aku baca juga tidak pernah menyebutkan sosok ini.” Aoi tampak berpikir keras dan mengira-ngira siapa sosok ini. “Dia... Panglima kedelapan!” tutur Rion datar yang diiyakan oleh Karuna. Haridra dan Silver semakin tak mengerti. “Aku pikir, panglima legenda hanya ada tujuh dan semuanya berasal dari sihir pancasona yang berhasil diciptakan oleh Ratu Shima.” “Seorang pria tua jembel!” Rion seketika tersadar. “Sewaktu aku terbangun di dasar jurang, ada seorang pria tua jembel yang memasukkan
Read more

94: Pertemuan Kembali

“Sudah kukatakan untuk bermalam di hutan saja!” keluh Karuna yang bangkit dengan kapara di tangannya untuk menebas tiga perempuan yang badannya berubah menjadi ular dan membelit Haridra. Rion berlari ke ruang ganti untuk mengambil celurit, tapi diadang oleh dua orang perempuan yang masih muda dan sangat cantik. Mereka menyeringai dengan taring-taring tajam dan lidah belah yang menjulur panjang. Seputar leher sampai dada kedua perempuan itu ditumbuhi sisik-sisik putih yang berkilau saat terkena cahaya lampu. Mereka menyerang Rion dan ingin menancapkan taring berbisanya. Aoi yang bersembunyi di kolong tempat tidur merangkak keluar dan memeriksa kunai-kunai yang bertancapan di ranjang dan dinding. Kunai-kunai itu dilapisi oleh bisa ular. Di depan pintu kamarnya terlihat bayangan sesuatu yang mendekat. Aoi mengeluarkan pedangnya dan kabur mengendap-endap melalui jendela ke halaman belakang. Silver yang muntah kar
Read more

95: Pelabuhan Lama

Mereka berlima akhirnya berpisah untuk menempuh jalan masing-masing dan akan bertemu kembali di kota pelabuhan Grisse di mana pasukan Raja Ragnart sedang membuat basis pertahanan militer di sana. Rion sendiri memilih kembali ke Kalingga sebelum pergi ke Kota Grisse di pesisir utara negeri Jawa Dwipa. Dengan kudanya, dia menyisiri jalan-jalan yang selama ini ditutup dan dijaga ketat oleh para bandit utara. Namun, kini jalan-jalan di perbatasan antara Kota Kahuripan dan Kota Grisse tampak lengang. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya menerbangkan debu-debu yang selama beberapa tahun ini hujan hanya turun beberapa kali saja. Rion menunggangi kuda hitamnya. Dia mengenakan topi lebar dan bermantel hitam tanpa lengan. Rambut merah panjangnya berayun-ayun karena embusan angin. Dia memelankan laju kuda saat baru saja melintasi jembatan beton yang menjadi penghubung antara wilayah Kota Kahuripan dan Kota Grisse. Dia melirik ke arah air sungai di
Read more

96: Pertemuan dengan Raja Ragnart (1)

Rion memanggil dan menunggangi singanya di bawah guyuran hujan yang mulai mereda. Dia berpacu dengan waktu agar tiba di pelabuhan Grisse tepat waktu. Satu batalyon pasukan di bawah kepemimpinan Catto datang mengadang Rion di pusat kota. Di tengah-tengah simpang jalan beraspal yang lengang dengan bangkai-bangkai kendaraan dan sampah berserakan, Rion menghentikan singanya. Keberadaan singa raksasa itu sontak menarik perhatian. Dari arah utara yang terhubung dengan pelabuhan Grisse, Catto datang bersama pasukannya yang sangat menggentarkan dan membawa beragam jenis senjata. Sosok mereka khas layaknya para bandit yang berwajah bengis.Rion mendongak memeriksa rintik hujan. Dia tak bisa memanggil pasukan burungnya. Sedangkan dari arah utara sejumlah bandit mulai merentangkan jaring pemburu untuk menjebak dan menangkap pemuda itu. Awalnya mereka sedikit ragu karena kedatangan sang singa jantan yang sebesar sapi. Akan tetapi, pasukan penyihir di belakang mereka meyakinkan semua akan bisa dia
Read more

97: Pertemuan dengan Raja Ragnart (2)

Mendengar nama Sakka disebut, Rion mengernyit. “Diakah pria yang ingin sekali diselamatkan oleh Nara?” tanya Rion. “Jadi benar jika selama ini Shogun Sakka Kodaichi yang menjual informasi tentang Selter Agung pada Raja Ragnart?” “Itu tidak benar!” bantah Aoi. “Kita belum tahu pasti kebenarannya!” Rion berpikir keras. Dia memutar kudanya menghadap ke seluruh pasukan pendukungnya. “Mereka sedang membawa armada perangnya dan akan mendarat di pelabuhan Grisse. Jika sampai mereka berhasil membuat basis militer di sini, maka seluruh daratan Jawa Dwipa akan berhasil mereka kuasi.” “Apa rencanamu, Penyihir Merah?” tanya Kamiya Aoi. Rion tersentak. Dia hampir tak punya rencana. “Kita harus menguasai seluruh wilayah Grisse dan melindunginya dari dalam! Aku minta masing-masing dari kalian membentuk kelompok dan menyebar ke penjuru Kot
Read more

98: Sebuah Ilusi

Seorang pemuda berkaus oblong biru pudar dan celana katun selutut yang berlumuran debu sibuk mencangkuli tanah penuh batu. Punggungnya melengkung dengan peluh yang menderas. Kerongkongan pemuda itu terasa kering dan menyayat. Perutnya pun terus bergolak menahan lapar.“Aku tak sanggup lagi!” keluh pemuda itu sambil melemparkan cangkul sekenanya hingga terjatuh mengenai gundukan yang tertutup tikar pandan.Cangkul melorot. Dari balik tikar pandan, mencuat sebuah tangan mungil seorang anak perempuan yang mengenakan cincin dengan huruf K yang menjadi simbol dari klan Kalingga. Seorang pria berusia akhir tiga puluhan dengan berewok lebat berjalan mengambil cangkul itu dan membetulkan kembali posisi mayat. Dia mendesah. Pandangannya menyapu tubuh-tubuh tak bernyawa lainnya yang tergeletak berjajar tak kurang dari dua puluh. Sekawanan lalat mulai berterbangan dan mendengung di sekitar mayat-mayat itu.“Jangan mengeluh, Rion! Kalau mayat-mayat ini tak
Read more

99: Terombang-ambing di Tengah Lautan

“Aku tahu ini hanya halusinasi. Jika saja aku belum bertemu dengan orang-orang Kalingga, mungkin aku akan berpikir bahwa ini sebuah ingatan yang memang aku lupakan,” ujar Rion. Tubuh Rion berayun-ayun. Dia terbuai antara kesadaran dan halusinasi. Panas matahari mengeringkan tubuh dan pikirannya. Mata pemuda itu terpejam. Di sampingnya, kondisi Silver tak kalah mengenaskan meski dia masih sadar seutuhnya. Karena terbiasa berada di lautan, Silver masih mampu menjaga kewarasannya. “Jangan sampai kau tertidur atau selamanya tak akan bisa bangun!” bisik Silver. “Kita berada di atas air. Kutukan sihir hidup abadi yang kita miliki hanya berlaku jika kita terus menapak tanah.” Rion bergumam meski matanya masih terkatup. Bibirnya memucat dan pecah-pecah. Kerongkongan terasa perih. Dia tersenyum tipis sekali. “Meski hanya halusinasi, tapi aku sangat bahagia. Setidaknya, aku akan mati denga
Read more

100: Elang Penunjuk

“Kita tak akan selamat!” bisik Karuna putus asa di antara gejolak perutnya yang kembali ingin muntah. Di depan kemudi, sang nelayan tua sebagai kapten kapal berjuang keras untuk mengendalikan kapal agar tak terseret arus badai di samudra pasifik. Haridra bergelantungan di tiang kapal bersama awak yang lain untuk mengendalikan layar. Aoi berdiri di buritan kapal dengan kedua pedang tergenggam sambil memperhatikan bayangan gelap yang semakin lama semakin mendekat ke arah mereka. “Para perompak!” teriak salah satu awak kapal yang mulai menyadari bayangan gelap yang muncul di balik badai dan petir itu. Aoi menggeram. “Di saat seperti ini?” Sebuah kapal super besar melaju dengan kelincahan luar biasa menerjang badai. Seolah-olah kapal hitam dengan bendera yang bergambar dua bilah pedang tersilang itu adalah kapal hantu yang muncul dari kedalaman laut. Ukuran kapal itu t
Read more
PREV
1
...
89101112
...
17
DMCA.com Protection Status