“Kita tak akan selamat!” bisik Karuna putus asa di antara gejolak perutnya yang kembali ingin muntah.
Di depan kemudi, sang nelayan tua sebagai kapten kapal berjuang keras untuk mengendalikan kapal agar tak terseret arus badai di samudra pasifik. Haridra bergelantungan di tiang kapal bersama awak yang lain untuk mengendalikan layar. Aoi berdiri di buritan kapal dengan kedua pedang tergenggam sambil memperhatikan bayangan gelap yang semakin lama semakin mendekat ke arah mereka.
“Para perompak!” teriak salah satu awak kapal yang mulai menyadari bayangan gelap yang muncul di balik badai dan petir itu.
Aoi menggeram. “Di saat seperti ini?”
Sebuah kapal super besar melaju dengan kelincahan luar biasa menerjang badai. Seolah-olah kapal hitam dengan bendera yang bergambar dua bilah pedang tersilang itu adalah kapal hantu yang muncul dari kedalaman laut. Ukuran kapal itu t
PROLOGTanah di sepanjang jalan setapak hutan Suci terasa bergetar dengan debu-debu kekuningan mulai berterbangan. Burung-burung yang tengah bertengger di sekitaran lebat hutan Suci jadi terusik dan berterbangan. Suara kaokan dan kepakan sayap mereka menggema ke hutan terdalam. Suara bekantan-bekantan jantan menguak panjang saling bersahutan di kejauhan.Entakan berpasang-pasang kaki kuda membuat jalanan setapak kering itu menjadi diselimuti debu. Di punggung kuda-kuda itu terdapat sejumlah pria dalam balutan penutup wajah. Masing-masing dari mereka membawa senjata beraneka rupa. Satu penunggang kuda terdepan berhenti tepat di persimpangan jalan setapak. Kuda-kuda di belakangnya ikut berhenti dan meringkik. Kedua kaki depan mereka terangkat tinggi.Pria terdepan mengangkat satu tangan memberi perintah agar pasukan di belakangnya tenang. Pria itu menelengkan kepala mendengarkan dengan saksama sua
Aroma wangi dupa dari pohon gaharu mengusik indera penciuman Rion. Dia tersengal dan tersedak oleh udara wangi yang tiba-tiba membanjiri paru-paru dan otaknya. Matanya berkunang-kunang. Dia menatap langit-langit dengan lampu gas tergantung di sana.“Malam?” bisiknya.Rion terduduk dengan cepat sambil memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. “Di mana aku?” Dia gelagapan.Pemuda itu tak mencium aroma asin air laut lagi. Dia tatap tubuhnya yang terbalut kimono dan selimut kapas super tebal. Seketika tubuhnya menggigil hebat. Dia tak pernah merasa sedingin ini. Perapian di dekat kasur hangatnya masih menyala. Arang penghangat air juga masih menyala.Sraak! Pintu geser di sudut ruangan terbuka. Seorang perempuan duduk di luar pintu sambil menyorongkan sebaki makanan. Perempuan itu terlihat sedikit aneh. Wajahnya pucat dengan rambut yang dibentuk seperti gelungan super besar.
“Kenapa kau tidak membunuh mereka? Mereka melihat semuanya!” protes Saito sambil mengejar langkah Hiji yang berjalan cepat di depannya.“Kita akan putuskan nanti saat kita pulang,” jawab Hiji dengan datar dan terus berjalan.Saito berdiri di tengah jalan di bawah guyuran butiran salju. Dia tatap punggung Hiji yang berbalut haori berwarna biru muda dengan aksen putih. Rambut hitam panjangnya dikuncir ekor kuda dengan ikat kepala putih. Gadis itu selalu berwajah dingin dan bersikap praktis.“Aku harap kau akan membuat keputusan yang tepat, Hiji-san,” bisik Saito pada dirinya sendiri. Dada gadis itu naik turun dengan napas yang beruap.Matahari pagi berkilauan saat menimpa permukaan salju yang putih. Burung-burung berkicau di dahan-dahan pohon yang membeku. Atap bangunan, tembok, pagar, dan seluruh permukaan tanah berselimutkan salju putih.Bruuk!
“Jangan bicara sembarangan!” tegur Isami pada anak buahnya. “Pejabat negara tidak bisa membunuh orang yang tidak bersalah seperti itu!”Dengan wajah tenang dan senyum masih terkembang di bibirnya, Okita menjawab, “Jangan berwajah seperti itu, Isami. Aku hanya bercanda.”Rion tidak merasakan keuntungan apa pun jika membuat keributan atau bermusuhan dengan para gadis-gadis shinsengumi itu. Dia mengulurkan tangan ke tengkuk Silver dan mendorongnya agar menunduk bersamaan. “Kami mohon, kami tak akan mengatakan apa pun! Kami... Kami hanya orang asing yang tersesat di sini!” pinta Rion.Silver kesal karena dipaksa menunduk di hadapan para gadis aneh itu. Tapi, dia tak bisa melawan karena tak ingin membuat suasana menjadi semakin buruk. Dia sama sekali tak memahami arah pembicaraan Rion dan para gadis yang ada di sana.“Sudah cukup! Bawa mereka pergi!&rd
“Kalian!” teriak Isami. “Tentu saja aku tak akan menginginkan mereka telanjang. Tutup kembali pakaianmu, Pemuda!” pintanya pada Silver yang baru membuka bagian atas kimononya.“Isami, tolong tenanglah!” bujuk si gadis berkacamata. Dia menatap pada Silver. “Kalian bilang datang dari negeri Jawa Dwipa? Beberapa minggu yang lalu aku mendengar kabar ada sekelompok pendatang juga dari negeri asing. Mereka singgah di utara Tokyo dan membuat keributan di sana.”Rion sangat antusias. “Apa kau tahu siapa mereka?”Rion sangat berharap jika itu adalah salah satu anggota dari Mahapanca atau anak buah Raja Ragnart. Jika memang mereka juga singgah di Tokyo, maka akan ada kesempatan bagi Rion dan Silver untuk mengejar Nara dengan lebih cepat.“Hei, seberapa banyak yang kau tahu?” tanya Saito pada Rion.“Seberapa banya
Di sebuah gang yang sempit dan gelap, dua sosok berpakaian hitam menunggu kedatangan Okita. Rion memperhatikan dari kejauhan.“Apa mereka musuh? Atau kawan? Tapi, itu bukan urusanku, bukan?” Rion memilih mundur dan hanya mengawasi.Okita kembali ke markas. Dia berjalan melewati Rion begitu saja. Gadis itu terlihat murung sampai-sampai tak sadar Rion sudah ada di sana.“Kau baik-baik saja, Okita-san?”Gadis itu menatap Rion dengan muak dan berlari kembali ke markas shinsengumi.Silver duduk di ruang makan dikelilingi oleh gadis-gadis shinsengumi. Ada Okita si rambut sepundak yang suka melipat rambutnya ke atas, Heisu yang paling muda dengan rambut panjang sepantat, Saito gadis berambut ungu panjang yang disampirkan ke pundak, dan Shin gadis yang suka bercanda dengan dada berisi dan penuh.Sraak!Okita menggeser pintu ruang makan dan berdiri di sana dengan wajah pucat. Di tangannya ada selembar surat yang baru di
Okita dan Silver sama-sama mendapat hukuman. Mereka harus membersihkan markas sampai ke titik debu paling kecil sekalipun. Hal itu terjadi karena baik Okita maupun Silver menolak mengakui kesalahannya. Mereka berkeras bahwa mereka tidak bersalah. Silver akhirnya mengalah dan ikut menerima hukuman meski dengan jelas Okita yang salah memasuki kamarnya saat sedang mabuk semalam.Di halaman depan, para pasukan shinsengumi yang lain terlihat sibuk. Mereka menyambut kepulangan Asami, Hiji, dan Shana yang katanya terluka. Gadis berkacamata yang menjabat sebagai ketua shinsengumi itu terlihat baik-baik saja. Dia masih menampilkan senyum hangatnya meski tangan kanan diperban dan tak bisa beraktivitas seperti biasanya.“Aku tak apa-apa. Ini bukan cedera serius.”Akan tetapi, semua orang menatap Shana dengan pandangan mengiba dan kasihan.“Aku baik-baik saja, astaga, ada apa dengan kalian? Ini
“Untuk seseorang yang tak pernah memegang pedang katana, kau cukup lumayan Rion,” puji Okita menyerahkan kembali pedang Rion yang terlempar.“Saito adalah master pedangnya sendiri. Tapi dengan begini, kami tidak perlu khawatir kau akan menghambat kami saat patroli nanti, kecuali....” Okita melirik pada Silver.“Kami berjanji tak akan merepotkan kalian,” tunduk Rion.“Baiklah, kami akan meminta izin Wakil Kapten untuk membawa kalian berpatroli pagi ini,” janji Okita.Silver dan Rion membungkuk untuk memberi hormat.“Kau sengaja bermain-main, Penyihir Merah?” sindir Silver.“Apa aku harus membunuhnya?” sentak Rion.“Itu kesempatan yang bagus untuk kabur, bukan?”“Tapi, mereka bukan musuh kita, Silver.”&l
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany